Mubadalah.id – Tahun ini tidak seperti tahun-tahun yang lain sebelumnya. Selain karena pandemi covid-19 yang masih terus meningkat di Indonesia, dan total 99,4 juta kasus covid-19 di seluruh dunia, bulan pertama tahun 2021 bagi Indonesia dibuka dengan rentetan tragedi dan bencana. Mulai dari jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, sampai rilis data per tanggal 1-23 Januari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) memperlihatkan telah terjadi 197 bencana di Indonesia.
Serasa berat sekali mendengarnya. Seakan tahun ini akan dipenuhi oleh berbagai ujian kelam yang menerpa. Ditambah lagi sejak 26 Januari kemarin, Indonesia resmi menjadi satu-satunya negara ASEAN yang kasus covid-19-nya menembus angka 1 juta dengan 13.094 kasus baru positif dalam sehari. Mungkin ini juga yang menyebabkan pemerintah memutuskan untuk memperpanjang PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang awalnya hanya sampai 25 Januari, diperpanjang sampai tanggal 8 Februari yang akan datang.
Yang akan terkena dampak dari PPKM ini bukan hanya sektor publik, tetapi sektor domestik pun terancam terkena imbasnya lagi seperti tahun lalu, ketika PSBB diberlakukan. Data dari lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia (LBH APIK) menunjukkan bahwa ada peningkatan kasus KDRT yang menimpa perempuan sejak pemberlakuan PSBB dari tanggal 16 Maret sampai 20 Juni yang mencapai 110 kasus. Dalam kurun waktu tiga bulan itu, Indonesia telah mencatatkan setengah dari angka kasus selama tahun 2019.
Kini, dengan kembali diberlakukannya pembatasan kegiatan masyarakat, utamanya di daerah Jawa dan Bali, bukan tidak mungkin KDRT masih akan terus marak. Apalagi banyak kasus kekerasan yang justru ditutup-tutupi untuk menjaga nama baik keluarga, atau para korban berada di bawah tekanan pelaku.
Secara spesifik, para perempuan menikah berlatar belakang ekonomi bawah atau yang berpenghasilan kurang, berstatus sebagai pekerja sektor informal, berusia 31-40 tahun, memiliki anak lebih dari 3 orang diidentifikasi sebagai kelompok paling rentan menjadi korban KDRT.
Selain itu, perlu dicermati juga bahwa KDRT tidak semata mengenai fisik, tapi juga bisa berbentuk body shaming, pelecehan seksual verbal, hingga bentuk kekerasan yang berdampak pada kesehatan mental. Dalam melakukan tindakan kekerasan sendiri, para pelaku KDRT biasa menggunakan beragam taktik, yang mengerucut pada pola dominan, yakni menciptakan ketakutan secara konstan pada korban. Dalam kata lain, para pelaku selalu menempatkan diri pada posisi mengendalikan seluruh keadaan dan merasa memiliki hak penuh untuk membatasi gerak serta kuasa korban.
Kondisi tersebut akhirnya membuat sebagian korban tidak berkutik, bahkan memilih untuk menyembunyikan apa yang mereka alami. Oleh karena itu, meminta langsung para korban KDRT untuk mengakses bantuan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, bisa saja ketika korban langsung berbicara, justru akan memperburuk keadaan. Karenanya, orang-orang di sekitar korban harus berusaha untuk memperluas empati dan simpati.
Dan, bila kita mengenal orang yang menjadi korban KDRT, perkenalkan cara-cara terbuka untuk menawarkan bantuan. Caranya bisa berupa menjadi tempat curhat atau berada di sisinya ketika ia perlu didampingi untuk melaporkan kejadian yang mereka alami.
Ini penting untuk dilakukan karena rata-rata korban merasa bahwa mereka menghadapi kekerasan seorang diri, hopeless, dan khawatir untuk dicap sebagai orang yang tidak becus melayani/membahagiakan pasangan. Dampaknya, banyak kasus KDRT tak terlaporkan ke pihak berwajib. Sehingga data jumlah kasus pun, angkanya terkesan semu karena diduga sebagian kasus belum terlaporkan.
Bagaikan puncak gunung es di lautan luas, kita mungkin tahu bahwa ada banyak kasus KDRT yang terjadi, namun kita hanya tahu di permukaannya saja. Tanpa pernah benar-benar memahami secara pasti seberapa banyak kasus dan tingkat keparahannya. KDRT juga tak pandang bulu. Korban KDRT bisa dialami oleh siapa saja, tetapi secara spesifik perempuan memiliki risiko lebih besar dari laki-laki untuk terdampak, baik secara langsung ataupun tidak oleh krisis pandemi ini. serta tak mengenal kelompok usia, dan latar belakang.
Beberapa waktu lalu, seorang istri Wakil Ketua DPRD Sulut pun menjadi korban KDRT. Ia diseret mobil oleh suaminya yang terindikasi selingkuh. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa KDRT bukan masalah kelompok ekonomi menengah ke bawah, tapi masalah semua pihak. Terlebih bila pasangan suami istri telah memiliki keturunan.
Di sisi lain, dengan tingginya kasus covid-19, dan perumahan karyawan plus sistem pembelajaran daring bagi anak sekolah, dikhawatirkan akan semakin tinggi pula tingkat stress tiap pasutri karenanya. Akibat tak langsungnya, bila orangtua tak dapat mengontrol emosi dan justru berbuah konflik, perkembangan kognitif anak mereka pun turut terganggu.
Dari sini, prinsip mubadalah dalam membangun komunikasi sangatlah dibutuhkan agar riak-riak akibat pembatasan aktivitas masyarakat terkait meningkatnya kasus covid-19, tidak memperkeruh harmoni dalam keluarga. Pertanyaannya, kalau tiap-tiap rumah tangga sudah bersiap, bagaimana dengan pemerintah? Mau kah berkomitmen untuk lebih mubadalah pada rakyatnya? []