Mubadalah.id – Sebagaimana kita tahu, kepergian Gus Dur menjadi duka yang mendalam bagi banyak kalangan. Tidak hanya kalangan muslim, namun kalangan non-muslim juga turut merasakan duka atas wafatnya Gus Dur, termasuk tokoh lintas agama Cirebon.
Wafatnya Gus Dur menjadi fenomena. Berbagai kalangan dari seluruh lapisan masyarakat mengiring dan berta’ziyah pada saat pemakamannya.
Bahkan di berbagai daerah menyampaikan penghormatannya melalui berbagai cara, yakni dengan do’a bersama, seminar, bedah buku, istighosah, pameran seni, menyalakan lilin, renungan suci, dan tapak tilas pemikiran dan perjuangan Gus Dur semasa hidupnya.
Sebagai orang yang dilahirkan dari keluarga yang taat keagamaannya serta tempaan pendidikan keluarga dan lingkungan pesantren, Gus Dur mencerminkan sosok agamawan.
Gus Dur menjadi sosok yang memiliki pemahaman agama yang kuat, terutama tentang pemahaman Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, Islam sebagai agama yang melindungi sekalian alam.
Ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam telah Gus Dur tunjukkan melalui sikap dan perbuatannya, salah satu wujud nyatanya adalah kedekatan Gus Dur dengan umat dan para tokoh agama lain.
Selain membangun tatanan kehidupan demokrasi, Gus Dur juga membangun rasa toleransi dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia dengan pandangan pluralis.
Sikap dan rasa toleransi, pengakuan sekaligus perlindungan terhadap agama minoritas, telah membuktikan dirinya sebagai seorang pluralis.
Maka tak heran, jika para umat dan tokoh agama di luar Islam menaruh rasa hormat terhadapnya.
Seperti yang dikatakan salah satu umat Katolik Cirebon dan aktifis forum lintas agama Cirebon, Yohanes Muryadi.
Dalam tulisannya pada buku Gus Dur di Mata Wong Cirebon, Yohanes mengenang Gus Dur ketika menghadiri acara yang digelar oleh teman-teman Tionghoa Cirebon pada 2003 lalu, sebagai tanda ucapan terima kasih kepada Gus Dur atas perjuangannya kepada minoritas.
Beliau mengagumi Gus Dur dengan kharismanya yang luar biasa, sehingga para tamu yang hadir kala itu rela berlama-lama menunggu kedatangan Gus Dur tanpa seorang pun pulang.
Kekaguman beliau bertambah saat selesai acara pada malam itu, Gus Dur masih harus melanjutkan perjalanannya ke Pekalongan, Rembang, dan Jombang.
Ketika ditanya oleh salah seorang tamu, mengapa ia mampu melakukan perjalanan sejauh itu? Gus Dur menjawab dengan sederhana, “Ya niat!”
Sontak membuat semua orang yang hadir pada saat itu menggelengkan kepala.
Betapa semangat Gus Dur untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu telah tertanam di dalam hati. Sehingga dalam keadaan apapun ia masih terus melanjutkan perjalanan demi tujuan-tujuan kemanusiaan.
Kini, gagasan, pemikiran, dan teladan hidupnya adalah wasiat yang harus dilanjutkan perjuangannya. Tugas dan tanggung jawab kita adalah membangun kerukunan dalam kehidupan beragama di Bumi Pertiwi Indonesia.[]