Mubadalah.id – Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat setidaknya ada 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan baik dalam ranah personal ataupun publik sepanjang 2011 hingga 2019. Bahkan Komnas Perempuan menyebut setiap dua jam sekali setidaknya ada tiga perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual.
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, sejak 2011 hingga 2019 pihaknya sudah menerima 23.021 kasus kekerasan seksual di ranah komunitas. Sebagiannya merupakan pelaporan kekerasan dengan jenis perkosaan. Perkosaan 9.039 kasus adalah jenis kekerasan seksual terbanyak. Demikian yang diungkapkan Andy yang dilansir dari laman suara.com.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa Indoneisa yang mayoritas muslim, masih abai terhadap ajaran dasar Islam untuk melindungi perempuan dari kekerasan. Hal itu ditandai dengan pembahasan RUU PKS yang masih berlarut-larut, sementara korban kekerasan seksual setiap hari terus berjatuhan. Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana sikap Islam terhadapnya? Bagaimana seharusnya para ulama Indonesia bersikap? Adakah ulama yang memiliki sikap tegas terkait hal ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, empat ulama perempuan, yakni KH Husein Muhammad, Ibu Nyai Hj. Badriyah Fayumi, KH Imam Nakha’I dan dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, berbicara tentang kekerasan seksual dari berbagai sudut pandang. Profil dan latar belakang empat ulama tersebut sudah tidak diragukan lagi, yang memiliki otoritas pengetahuan dan sosial di satu sisi, dan konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan di sisi yang lain.
KH. Husein Muhammad, merupakan Pengasuh Ponpes Dar al Tauhid Arjawinangun Cirebon, yang juga menjadi founder dari beberapa lembaga dampingan untuk perempuan, Ibu Nyai Badriyah Fayumi Ketua Pengarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), dan pengasuh Ponpes Mahasina Bekasi, KH Imam Nakha’i alumni Ma’had Aly Situbondo, dan peserta Forum Pendidikan Kader Ulama Majlis Ulama Indonesia atau PKU-MUI. Dan terakhir, Dr. Nur Rofiah Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) Jakarta dan pengampu lingkar Ngaji KGI.
KH Husein Muhammad
Melalui situs pribadinya, KH Husein Muhammad mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut: “setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.”
Maka, kekerasan seksual terhadap perempuan berakar lebih pada adanya ketimpangan relasi kuasa berbasis gender yang mengakar dalam budaya masyarakat. Ia adalah sistem sosial-budaya patriarki: sebuah sistem/ideologi yang melegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas, menguasai, kuat, pintar dan sebagainya.
Dunia dibangun dengan cara berpikir untuk kepentingan laki-laki. Keyakinan bahwa perempuan secara kodrat adalah makhluk yang lembut dan lemah, posisinya di bawah laki-laki, inferior, melayani hasrat seksual laki-laki dan sebagainya telah menempatkan perempuan seakan-akan sah untuk ditaklukkan dan diperlakukan secara seenak laki-laki, termasuk dengan cara-cara kekerasan.
Ideologi patriarkis ini mempengaruhi cara berpikir masyarakat, mempengaruhi penafsiran atas teks-teks agama dan juga para pengambil kebijakan-kebijakan publik/politik. Pengaruh ini melampaui ruang-ruang dan waktu-waktu kehidupan manusia, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik. Ketimpangan yang didasarkan atas sistem social/ideologi inilah yang berpotensi menciptakan ketidakadilan, subordinasi dan dominasi atas perempuan. Dan semuanya ini merupakan sumber utama tindak kekerasan terhadap perempuan.
Pertanyaan yang sering muncul di tengah publik adalah apakah hukum-hukum dalam teks-teks Islam yang partikular yang dipandang diskriminatif, seperti “laki-laki adalah pemegang otoritas atas kaum perempuan”, (Q.S. al-Nisa, [4]:34), tidak mengandung nilai-nilai moral di atas. Jawabannya adalah bahwa aturan-aturan hukum yang bersifat khusus (partikular) yang terdapat dalam sumber-sumber autentik dapat dipandang sebagai aturan yang mengandung moral.
Akan tetapi ia dianggap demikian karena aturan tersebut lebih diterima sebagai solusi yang bersifat ketuhanan atas problem partikular yang ada dalam kondisi tertentu. Dengan berubahnya kondisi, aturan-aturan hukum yang bersifat khusus, tersebut bisa saja gagal memenuhi tujuan moralnya dan karena itu harus ditinjau ulang, direvisi atau dicabut sama sekali.
Ibu Nyai Hj. Badriyah Fayumi
Dalam sebuah forum bersama DPR RI, Ibu Nyai Hj. Badriyah Fayumi menyampaikan bahwa, dalam perspektif agama, pengesahan RUU PKS adalah bagian dari misi kenabian untuk membebaskan perempuan dan kelompok rentan lainnya dari ketidakadilan. Menurutnya, sangat jelas dipaparkan betapa kaum mustadh’afin (kaum tertindas) korban kekerasan seksual di Indonesia hari ini masih menggapai-gapai payung hukum yang bisa memberikan mereka perlindungan, jaminan keadilan, dan pemulihan. Payung hukum itu ternyata masih jauh dari cukup.
Badriyah menegaskan bahwa gagasan RUU PKS merefleksikan Surat An-Nur ayat 33 yang berbicara tentang pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual. Ia menyayangkan ayat ini justru “jarang muncul di publik”. Ayat yang keluar di masa perbudakan itu berbunyi, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada mereka yang sudah dipaksa itu.”
Ayat ini ada relevansinya dengan definisi kekerasan seksual. Bahwa memang ada unsur pemaksaan yang kemudian berdampak luar biasa. Al-Qur’an memandatkan bahwa setiap korban kekerasan seksual dibebaskan dari kriminalisasi. Dan tidak hanya itu, memperlakukan mereka dengan kasih sayang. Bahwa mereka perlu pemulihan. Menurut Badriyah, ini spirit ayat yang sangat penting.
Lebih lanjut, Badriyah secara khusus menyorot bagaimana konsep “Ma’ruf” yang menandakan bahwa pernikahan mesti dibangun atas landasan saling menyayangi, saling menghormati, dan pengertian. Hal ini mengacu pada surat An-Nisa ayat 19 yang berbunyi, “Dan pergaulilah istri dengan cara yang ma’ruf.”
Ma’ruf adalah satu kata yang mengandung satu kebaikan pada tiga level. Level pertama adalah syariat, level kedua adalah akal sehat, dan level ketiga adalah kepatutan sosial. Jadi ini kebaikan dari Tuhan yang berkaitan erat dengan kearifan lokal. Itulah pengertian ma’ruf secara singkatnya. Sehingga, hubungan suami istri harus melihat kepantasan, kepatutan, kemudian kerelaan, kenyamanan, dan kesiapan istri.
Jadi, Badriyah menekankan, sesungguhnya tidak benar ketika RUU PKS dianggap menghancurkan ketahanan keluarga. Justru kita ingin membangun keluarga di atas landasan saling menyayangi, menghormati, pengertian, juga meminimalisir terjadinya kekerasan seksual. Sayangnya nilai-nilai ini belum banyak tersuarakan sehingga, dijelaskan Badriyah, KUPI memilih untuk menyuarakan ini.
KH Imam Nakha’i
Dalam pandangan Islam, menurut KH Imam Nakha’i, kejahatan dan kekerasan seksual terjadi akibat lunturnya nilai-nilai kemanusiaan yang Allah lekatkan dalam setiap diri manusia. Sejatinya, nilai kemanusiaan itulah yang justru membuat seseorang disebut sebagai manusia. Melalui kemanusiaannya pula manusia saling mencintai, mengasihi, melindungi, menghormati, dan tolong menolong.
Jika seorang melakukan kekerasan, termasuk kekerasan berbasis gender, berarti kemanusiaannya sedang bermasalah. Sebab itu setiap kali seseorang melakukan tindakan yang merugikan dan membahayakan orang lain, Islam mengajarkan agar ia “bertaubat” dan ber “islah”. Islam menyerukan tobat dan islah bukan hanya pada pelaku, tetapi lebih utama pada korban.
Tobat secara bahasa memiliki makna -antara lain- kembali atau mengembalikan (raja’a). Kembali dan mengembalikan kemana? Bagi pelaku, taubah bermakna kembali kepada kemanusiaannya, sebab kemanusiaannya luntur setiap kali ia melakukan tindakan yang merugikan dan membahayakan orang lain. Namun bagi korban, tobat berarti mengembalikan korban kepada kondisi sebelum ia menjadi korban dan di sinilah makna pemulihan korban.
Pemulihan korban berarti mengembalikan ia kepada kondisi sebelum ia menjadi korban baik secara fisik, mental, dan sosial. Setelah korban kembali kepada kondisi semula, maka Alquran menganjurkan agar pelaku melakukan “islah”. Islah adalah tindakan atau upaya untuk menciptkan rekonsiliasi dan perbaikan.
Islah penting dilakukan, sebab umumnya korban terhambat baik secara fisik, mental dan ekonomi, sepanjang ia menjadi korban dan ketika menjalankan proses pemulihan, termasuk di dalamnya korban KBGO. Sebab itu rekonsiliasi dan perbaikan (islah) harus segera dilakukan pasca pemulihan korban untuk menyusulkan kerugian baik materi maupun non materi. Ishlah meniscayakan taubah, tidak ada islah tanpa tobat.
Sebab itu, dalam beberapa ayat Alquran, Allah kerapkali menyertakan rekonsiliasi dan perbaikan setelah pertobatan. Ayat 5 surat An-Nur mengisahkan bahwa menuduh perempuan-perempuan baik berbuat zina adalah dosa besar, bahkan lebih besar dari dosanya berzina itu sendiri. Sebab menuduh perempuan baik-baik berzina berarti merendahkan dan menghancurkan martabat kemanusiaan perempuan.
Menuduh perempuan baik-baik berbuat zina adalah pelecehan seksual verbal yang diharamkan. Alquran menegaskan bahwa pelaku harus segera melakukan pertobatan dengan mengembalikan korban pada kondisi sebelum menjadi korban dan selanjutnya melakukan rekonsiliasi dan perbaikan pada korban. Demikian halnya dengan korban kekerasan berbasis gender yang kini semakin marak terjadi, korban harus mendapatkan pemulihan dan setelah itu memperoleh ishlah.
Rasulullah SAW memberikan contoh nyata bagaimana beliau melakukan pemulihan baik secara fisik, terutama mental, sosial, dan ekonomi terhadap korban kekerasan seksual. Disebutkan dalam banyak hadis bagaimana Rasulullah menshalati perempuan yang diduga menjadi korban kekerasan seksual setelah ia dihukum rajam berdasar pengakuannya.
Beberapa sahabat pada awalnya mempertanyakan kenapa perempuan yang berzina itu dishalati? Namun Rasulullah tetap menshalatinya yang dapat dimaknai Rasulullah sedang melakukan pemulihan mental dan sosial bahwa korban kekerasan seksual tidak boleh mengalami reviktimisasi dan stereotipe/pelabelan. Kitab-kitab fiqih juga menegaskan bahwa perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan seksual, sebagai contoh “wathi’ syubhat” misalnya, maka pihak pelaku harus memberikan kompensasi (mahar) yang senilai dengan posisi sosial perempuan yang menjadi korban.
Di akhir tulisan, Imam Nakha’i menyampaikan Informasi Alquran, As-Sunnah dan juga pandangan Fuqaha yang menegaskan bahwa korban kekerasan seksual wajib dipulihkan baik secara fisik, mental, dan sosial serta berhak untuk mendapatkan perbaikan ekonomi dan kehidupan sosialnya.
Dr. Nur Rofiah, Bil, uzm
Nur Rofiah, dalam salah satu artikelnya di mubadalah.id menuliskan tentang bagaimana mengenali bentuk kekerasan terhadap perempuan. Ia memulainya dengan catatan sejarah panjang adanya norma sosial yang menjadikan laki-laki sebagai pemilik mutlak perempuan. Pertama ayah, lalu suami, lalu anak atau kerabat laki-laki lainnya. Perundangan Romawi bahkan pernah membolehkan ayah menjual anak perempuan kandungnya dan perundangan Inggris juga pernah membolehkan suami menjual istrinya.
Sebuah pertanyaan yang menggelitik, ia cetuskan. “Bayangkan, menjual perempuan saja boleh, apalagi melakukan kekerasan seksual pada mereka, kan?” Meskipun demikian, ternyata Nur Rofiah tetap terkaget-kaget membaca implikasi relasi kepemilikan laki-laki atas perempuan pada cara pandang atas kekerasan seksual pada perempuan yang ia ungkap berdasarkan tulisan Yuval Noah Harari di buku Sapiens.
Pertama, mengatakan adanya marital rape (pemerkosaan dalam perkawinan) atau suami memperkosa istri itu sama anehnya dengan mengatakan suami mencuri uang dari dompetnya sendiri.
Kedua, perkosaan seorang laki-laki atas perempuan yang bukan miliknya dipandang sebagai sebuah kejahatan, tapi bukan kejahatan atas perempuan korban perkosaan melainkan pada laki-laki yang menjadi pemiliknya. Karena itu, kompensasi atas kejahatan tersebut tidak diberikan pada perempuan, melainkan pada laki-laki.
Ketiga, perkosaan atas perempuan yang tidak memiliki ayah atau suami atau laki-laki yang memilikinya tidaklah dipandang sebagai sebuah kejahatan seperti seseorang menemukan koin di jalan bukanlah sebuah kejahatan.
Nur Rofiah meminjam kalimat Hassan Hanafi, yang mengingatkan bahwa pesan al-Qur’an seringkali tidak terlihat jelas karena tertutup oleh debu-debu ideologis. Barangkali salah satu debu yang sangat tebal nempel di mata adalah ideologi patriarki. Debu ini tidak hanya membuat kita susah melihat pesan-pesan dahsyat Islam tentang penghapusan kekerasan seksual tapi juga susah mengenal bentuk-bentuk kekerasan seksual.
Penutup
Melalui penjelasan yang telah diuraikan oleh empat tokoh ulama perempuan tersebut, maka akan jelas bagaimana nilai-nilai Islam menolak secara tegas, dan bahkan mengharamkan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan. Sehingga jika syariat Islam adalah soal keadilan dan kemaslahatan, sebagaimana dikatakan Ibnu al-Qayyim al-Jawzi (w.751/1350), pada konteks kontemporer Indonesia hari ini, tiada lain kecuali dengan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini adalah bentuk kongkrit dari pemberlakukan ajar dasar syari’ah Islam tentang keadilan dan penghapusan segala bentuk kezaliman. Wallahu a’lam. []