Mubadalah.id – Indonesia kembali berduka, bencana tsunami yang terjadi di beberapa lokasi di Provinsi Baten dan Lampung menjadi cerita pilu dalam penghujung tahun 2018 ini. Ratusan nyawa melayang, pemukiman rusak dan puluhan perahu pun turut hancur dalam musibah tersebut. Anggapan bencana sebagai azab sungguh keterlaluan.
Seperti yang dilansir tirto.id, Kepala Pusat Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat tsunami di Selat Sunda pada hari Minggu 23 Desember 2018 pukul 16.00 WIB sudah mencapai 222 orang yang meninggal dunia, 843 luka-luka, dan 28 orang yang belum ditemukan.
Tidak hanya itu, kerusakan material pun meliputi 556 unit rumah, 9 unit hotel, 60 warung kuliner dan 350 kapal serta perahu semuanya rusak berat. Bahkan jumlah tersebut menurut Sutopo masih akan terus bertambah, mengingat belum semua korban berhasil di evakuasi dan masih ada beberapa puskesmas yang belum melaporkan korban.
Bencana tsunami ini memang bukan yang pertama kalinya terjadi di tahun 2018, sebelumnya di tahun yang sama, tsunami juga teradi di Palu.
Melihat hal itu, tidak ada yang paling menyejukan kecuali doa yang dipanjatkan bersama ketika menyaksikan dan mendengar pilunya bencana. Juga hal yang paling menenangkan ialah dukungan tulus dengan saling menguatkan, meski hanya sebatas ungkapan pesan lewat media sosial.
Sebab bencana alam yang terjadi di mana saja selalu menyisakan duka yang mendalam bagi korban. Selain kehilangan nyawa orang-orang yang tersayang, mereka juga kehilangan rumah sebagai tempat berlindung.
Namun sayangnya dalam situasi yang sedemikian pilu masih banyak netizen yang kurang bijak berkomentar di media sosial. Alih-alih memberi ungkapan bela sungkawa terhadap korban justru mereka malah menyalahkan.
Salah satunya yang terjadi pada Herman Sikumbang gitaris band Seventeen yang meninggal dunia akibat tsunami di Banten. Saat itu seperti dalam sebuah video yang beredar di sosial media, ia tengah mengisi acara family gathering PLN, di Tanjung Lesung Beach Resort Banten.
Mendengar kabar duka tersebut netizen justru memberikan komentar yang begitu jahat seperti “syukurin, Allah itu benar-benar sudah murka, makanya lagi senang-senang gitu Allah datangkan bencana, udah tau main gitar itu haram masih aja dilakukan. Ini lah yang disebut dengan azab Allah.”
Kalian bayangkan saja, bahwa yang menjadi korban bencana adalah kalian atau saudara kalian. Lalu disebut sebagai orang yang kena azab. Benar-benar keterlaluan, bukan? Sungguh TERLALU.
Di samping itu ada juga yang mengaitkan keselamatan Riefian Fajarsyah atau biasa disapa Ifan (vokalis Seventeen) dengan pilihan politik sebelumnya. Misalnya saya menemukan salah satu netizen di status Facebooknya yang mengatakan:
“Secara logika Ifan tidak akan bisa selamat dalam tsunami di Banten, tapi Allah masih menjaganya karena bang Ifan kemarin ikut aksi bela Tauhid 212”.
Menurut saya kedua komentar di atas sangat menyebalkan. Bagaimana tidak, saat orang lain dalam keadaan duka, sebagian netizen justru malah menambambah beban tersebut dengan tanggapan-tanggapan yang menyakitkan.
Bukankah lebih baik diam daripada harus berkata hal-hal yang tidak bermanfaat. Dan seharusnya kita sebagai makhluk sosial memberikan bantuan kepada saudara yang sedang dalam kesulitan dengan cara apapun. Mereka yang menjadi korban tsunami di Selat Sunda saat ini pasti tengah mengharapkan uluran tangan, bantuan, dan dukungan kita semua.[]