• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Perempuan dalam Kiprah dan Pemikiran Zainab Al-Ghazali Part I

Islam telah memberi kemerdekaan perempuan setidaknya dalam tiga pilar, yakni ilmu, penghambaan, dan finansial.

Ayu Rikza Ayu Rikza
14/06/2021
in Figur, Rekomendasi
0
Perempuan

Perempuan

384
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebagai seorang mufassir perempuan, nama Zainab Al-Ghazali tidaklah asing dalam sejarah gerakan kaum perempuan muslim. Ia tak hanya dikenal sebagai seorang intelektual Islam, tetapi juga seorang aktivis perempuan yang berhasil membentuk sebuah organisasi perempuan muslim terbesar di Mesir untuk pertama kalinya.

Zainab Al-Ghazali lahir di Mesir pada 2 Januari 1917 dari keluarga religius yang nasabnya bersambung kepada Sayyidina Umar bin Khattab RA dari jalur ayah dan sampai kepada Sayyidina Hasan bin Abi Thalib dari jalur ibu. Ayah beliau, Muhammad Al-Ghazali Al-Jalibi, adalah salah seorang syaikh di Al-Azhar. Sejak kecil, ia telah bermulazamah belajar ilmu-ilmu agama dengan para masyayikh Al-Azhar seperti Syaikh Muhammad Al-Audan, Syaikh Muhammad Sulaiman An-Najjar, dan Syaikh Abdul Majid Al-Lubnan. Ia menguasai ilmu hadis, tafsir, dan fikih yang kemudian ia menuliskan kapasitas intelektualnya dalam karya-karyanya seperti “Ayyamin Hayati”, “Nahwa Ba’thu Jadid”, “Nazarat Fikitabillah”, “Muyskilatu Shabab wa Fatayat”, “Gharizah al-Mar’ah”, hingga “Asma’Allah al-Husna”.

Zainab Al-Ghazali tumbuh dalam didikan seorang ayah yang mengharapkan putrinya menjadi seorang perempuan kuat yang dapat memimpin seperti sahabiyat Nusaibah Binti Ka’ab Al-Maziniyah, salah satu perempuan yang turut berjuang bersama Rasulullah dalam peperangan Islam di era kenabian. Selain itu, sang ayah juga mendidik Zainab agar dapat tumbuh menjadi perempuan yang memilikin prinsip dan semangat mengintegrasikan agama Islam dalam setiap hal yang ia pilih dan jalani.

Malangnya, pada tahun 1928 sang ayah harus kembali ke haribaan Allah Swt. Zainab kecil bersama keluarga harus pindah ke Khaeerah dan memulai hidup baru. Awalnya, Zainab tak didukung untuk melanjutkan Pendidikan karena alasan ekonomi dan situasi keluarga sepeninggal sang ayah. Namun, kakak laki-laki kedua Zainab Al-Ghazali membantunya belajar diskursus-diskursus ke-Islam-an dan mendukung perkembangan intelektualnya dengan memberikan buku-buku dari para pengarang seperti Aisyah At-Taimury.

Kiprah sang ayah sebagai seorang pejuang militer nasional di Mesir menginspirasi Zainab Al-Ghazali untuk memulai karirnya dalam dunia aktivisme. Pada usia 16 tahun—dalam beberapa literatur disebut 18 tahun, Zainab Al-Ghazali memutuskan bergabung dengan Egyptian Feminist Union (EFU), kelompok feminis Mesir sekuler yang memiliki konsentrasi pada isu gender dan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, yang dikoordinatori oleh Huda Sya’rawi.

Baca Juga:

Menyusui Anak dalam Pandangan Islam

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

KB dalam Pandangan Islam

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Karena kecemerlangan pemikiran dan militansi gerakannya, Zainab Al-Ghazali kemudian terpilih mendapatkan beasiswa ke Paris dengan tujuan untuk mempersiapkan diri menggantikan Huda Sya’raawi sebagai pemimpin EFU. Namun, satu bulan sebelum keberangkatannya ke Paris, sang ayah menjumpainya dalam sebuah mimpi dan memintanya untuk membatalkan rencana tersebut.

Aktivisme Zainab Al-Ghazali di EFU mendapatkan banyak kritik dari para syaikh di Al-Azhar. Terlepas dari keputusan-keputusan personalnya seperti melepas hijab, Zainab Al-Ghazali dinilai telah berjalan jauh menuju ke arah jurang liberalisme dan sekularisme. Syaikh Muhammad Al-Najjar bahkan sangat prihatin dengan situasi yang meliputi Zainab Al-Ghazali dan membantunya berdialog perihal apa saja hal-hal yang ia tak pahami.

Dari serangkaian kritik, dialog, dan pengalaman spiritualnya yang menyebabkan Zainab Al-Ghazali hampir meregang nyawa, ia akhirnya menyadari bahwa EFU dan kiprahnya dalam EFU adalah keliru. Ia pun memulai diri untuk membangun sebuah gerakan perempuan baru yang beranggotakan perempuan-perempuan muslimah yang ia namai Jami’ah As-Sayyidah Al-Muslimin/Moslem Ladies Association (MLA) pada tahun 1355 H/1937 M. Sebuah organisasi yang ia harap bisa menjadikan agama Islam sebagai sarana untuk mengaktualisasi agensi personal dan sumber kemajuan (advancement) para perempuan pada khususnya serta umat Islam pada umumnya.

MLA sangatlah berbeda dengan EFU. Zainab Al-Ghazali, melalui MLA, mengkampanyekan isu perempuan dan bangsa dalam terminologi yang Islamis, sedangkan para feminis lain di waktu yang sama bergerak untuk hak-hak perempuan dan manusia dalam bahasa sekularisme dan demokrasi. Banyak feminis waktu itu berpendapat bahwa interpretasi tradisi-tradisi Islam yang tidak tepat menjadi akar dari penindasan perempuan, seperti seklusi perempuan berupa harem yang berubah menjadi sebuah institusi religius.

Namun, gerakan Zainab Al-Ghazali dan MLA meyakini bahwa subjugasi perempuan justru lahir dari kurangnya agama dalam sebuah masyarakat. Sebab Islam telah memberi kemerdekaan perempuan setidaknya dalam tiga pilar, yakni ilmu, penghambaan, dan finansial.

Zainab Al-Ghazali bersuara, “Islam has provided everything for both men and women. It gave women everything —freedom, economic rights, political rights, social rights, public and private rights. Islam gave women rights in the family granted by no other society. Women may talk of liberation in Christian society, Jewish society, or pagan society, but in Islamic society it is a grave error to speak of the liberation of women. The Muslim woman must study Islam so she will know that it is Islam that has given her all her rights.”

(Islam telah menyediakan segala sesuatu untuk laki-laki dan perempuan. Ia memberi perempuan segalanya—kebebasan, hak-hak ekonomi, politik, sosial, publik dan privat. Islam memberikan hak-hak perempuan dalam keluarga yang tidak diberikan oleh masyarakat lain. Perempuan boleh berbicara tentang pembebasan dalam masyarakat Kristen, masyarakat Yahudi, atau masyarakat Pagan, tetapi dalam masyarakat Islam, berbicara tentang pembebasan wanita adalah kesalahan besar. Perempuan Muslimah harus mempelajari Islam agar dia tahu bahwa Islam lah yang telah memberikan semua haknya.) [bersambung]

Tags: FeminisfeminismeislamMesirulama perempuanUlama Perempuan DuniaZainab Al Ghazali
Ayu Rikza

Ayu Rikza

A herdswoman in the savannah of knowledge—but more likely a full time daughter and part time academia.

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Nyai Ratu Junti

Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Nyi HIndun

Mengenal Nyi Hindun, Potret Ketangguhan Perempuan Pesantren di Cirebon

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menyusui Anak dalam Pandangan Islam
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version