Mubadalah.id – Semua hal bermula dari rumah. Bagaimana support sistem antar anggota keluarga itu dibangun, di mana ada orang tua, pasangan suami istri, dan anak-anak yang lahir, tumbuh dan besar didalamnya. Rumah sebagai sumber ketenangan, kedamaian, dan kesejahteraan yang saling berkelindan erat. Saling membutuhkan, dan mempengaruhi antar satu sama lain.
Ketika ketenangan dan kedamaian tak lagi ditemukan dalam sebuah rumah, maka akan mempengaruhi bagaimana keluarga mengupayakan kesejahteraan bagi anggotanya. Bagaimana mau dan mampu melakukan hal-hal besar di luar rumah, jika hal-hal kecil di dalam rumah tak mampu dikelola dengan baik. Seperti membangun komunikasi, dan ikatan emosional yang intens hingga kemudian melahirkan rasa saling memiliki. Sebagaimana tubuh, ketika ada satu yang sakit, maka yang lain akan turut merasakan sakit.
Sedangkan simbol rumah kerap kali diidentikkan dengan perempuan, atau sosok ibu yang begitu lekat. Maka pantas jika rumah juga disebut sebagai rahim peradaban manusia. Bukan untuk mendomestikasi peran perempuan, namun ia juga terkoneksi dengan seluruh institusi kesejahteraan, sistem jaminan kesehatan, pendidikan dan sistem pengambilan keputusan politik yang berpengaruh bagi masa depan peradaban manusia.
Hal ini menjadi bahan perenungan sendiri bagi saya, yang sejauh ini merasakan bahwa keluargaku dalam kondisi baik-baik saja. Seluruh kebutuhan keluarga mampu kami penuhi dengan baik. Ritme kehidupan mampu kami jaga, sehingga meski ada riak-riak kecil yang sempat menghampiri, kami masih bisa mengatasi. Namun ternyata banyak keluarga lain yang masih harus berjuang keras, bahkan untuk memenuhi rasa ketenangan dan kedamaian dalam rumah.
Dalam jumlah angka, lebih banyak perempuan yang mati di dalam rumahnya sendiri, dibandingkan yang meninggal dunia di jalan raya. Kekerasan bersembunyi di ruang-ruang privat, penganiayaan, pelecehan, kekerasan seksual, pemerkosaan, pembunuhan, penyakit, kemiskinan, hujatan, stigma, perbudakan, dan nasib ketakberuntungan lainnya yang masih dilekatkan pada tubuh yang bernama “perempuan”.
Bentuk yang paling mudah diidentifikasi adalah berupa kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga, diantaranya berupa pengekangan istri, pemukulan terhadap istri, karena istri dianggap membangkang (nusyuz), poligami, perceraian sepihak dan sebagainya. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan tersebut tanpa disadari terlembaga dalam institusi keluarga maupun pranata-pranata sosial yang dilegalkan negara.
Kekerasan terhadap perempuan sekecil apapun hendaknya tidak dilihat semata-mata berupa kekerasan langsung, tetapi dibalik kekerasan langsung perlu dicermati adanya akar kekerasan kultural dan kekerasan struktural yang menjadi sumber dari kekerasan itu. Berikut adalah penjelasan tentang definisi kekerasan kultural dan kekerasan struktural menurut Johan Galtung, yang saya kutip dari artikel Maria Ulfah Anshor tentang “Kompilasi Hukum Islam yang Ramah terhadap Perempuan”.
Kekerasan struktural, yakni aspek-aspek budaya, wilayah simbolis eksistensi kita (agama, ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan formal) yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung maupun kekerasan struktural.
Sedangkan kekerasan kultural, yakni proses pembiaran dari pihak yang berwenang terhadap terjadinya peristiwa kekerasan maupun dampaknya baik yang bersifat langsung maupun tidak, baik yang bersifat fisik maupun psikis.
Johan Galtung menggambarkan bentuk kekerasan tersebut dengan menggunakan analogi teori gempa, yaitu antara gempa sebagai sebuah peristiwa (berupa kekerasan langsung), pergerakan lempeng tektonik sebagai sebuah proses (berupa kekerasan struktural), dan alur retakan sebagai kondisi yang permanen (berupa kekerasan kultural).
Ilustrasi Galtung menggambarkan sebuah bentuk segitiga kekerasan yang satu sama lain terkait, dan memiliki arus sebab akibat di semua kaki segitiga tersebut, dan kekerasan dapat dimulai dari kaki yang mana saja diantara ketiga kaki segitiga tersebut. Jadi jika kita menyaksikan sebuah tindakan kekerasan langsung yang dialami perempuan, itu baru menunjukkan pada satu dari ketiga sudut tersebut, dan harus kita kenali sumbernya atau akibatnya pada dua sudut lain.
Saya, meski dalam beberapa hal karena persoalan perbedaan pilihan politik pernah bersebrangan dengan Rocky Gerung, kali ini saya meng-amini catatannya di Kata Pengantar Jurnal Perempuan edisi “Perkawinan dan Keluarga”, bahwa kita kini dituntut untuk berpikir melampaui doktrin-doktrin utilitarian, yaitu kesejahteraan keluarga adalah ukuran keadilan negara. Dengan cara ini, ada kesempatan sejarah untuk mengembalikan rahim peradaban itu dari penguasaan patriarkisme.
Rumah adalah rahim peradaban. Negara ini hanya didirikan untuk menyelenggarakan peradaban. Setiap suara yang menjerit dari dalam rumah, adalah penanda telah terjadi perbudakan. Bukan peradaban. Maka, setiap dari kita bertanggungjawab untuk mewujudkan rumah sebagai rahim peradaban tersebut, jika kelak menjadi nyata, tentu takkan lagi saya dengar curhatan dari para perempuan, tentang kerasnya kehidupan, ketidakadilan berbasis gender yang kerap menimpa perempuan, dan menjadi hantu kemanusiaan. []