Mubadalah.id – Memosisikan perempuan dan laki-laki secara setara dalam fikih Islam sangatlah sulit, sebab doktrin inferioritas perempuan sudah kadung tertanam kuat dalam benak kolektif umat Islam. Perempuan masih dianggap sebagai manusia yang kurang sempurna (tidak sesempurna laki-laki), sehingga mereka tidak diperkenankan untuk menjadi imam salat, tidak diperkenankan untuk bekerja di luar rumah, dan tidak diperkenankan mendapat warisan yang setara, karena semua itu adalah tanggung jawab dan hak laki-laki semata; perempuan tidak diperkenankan mendapatkan semua kesempatan itu dengan alasan bahwa mereka (dianggap) tidak akan mampu melakukannya, “itu adalah fitrah mereka”.
Dalam fikih klasik, perempuan masih diposisikan sebagai makhluk pelengkap bagi laki-laki, karena itu mereka selalu menjadi objek hukum, sedangkan yang menjadi subjeknya adalah laki-laki, dan yang menjadi ahli fikihnya juga selalu laki-laki.
Belasan abad setelah fikih klasik “berkuasa”, para ulama kontemporer mulai meninjau ulang hukum-hukum yang terkesan bias gender dan diskriminatif terhadap perempuan. Telah banyak teori yang mereka ciptakan sebagai pisau analisis dalam melihat sekaligus meng-istinbath hukum.
Salah satu dari teori-teori tersebut adalah apa yang disebut sebagai Qira’ah Mubadalah. Teori yang digagas oleh Kyai Faqih (Faqihuddin Abdul Kodir) ini menawarkan suatu metode pembacaan teks-teks keagamaan yang berkaitan dengan perempuan dengan kacamata kesetaraan dan kesalingan (resiprokal). Metode Mubadalah (kesalingan) ini mengandaikan adanya pesan yang universal pada teks yang dianggap hanya khusus tertuju pada satu gender saja (laki-laki).
Dalam Alquran maupun Hadis, hampir semua kalimatnya berbentuk maskulin (mudzakkar) jika ditinjau dari segi gramatika (nahwu) nya, dan hal ini memungkinkan banyak orang untuk memberi kesan bahwa Alquran dan Hadis sebetulnya hanyalah untuk laki-laki saja, karena itu banyak hukum di dalamnya yang berkaitan dengan urusan kelaki-lakian tanpa melibatkan perempuan.
Memang bahasa Arab adalah bahasa yang sangat sensitif gender; untuk mengucap kamu saja kita dihadapkan pada dua pilihan kata ganti yaitu anta (kamu laki-laki) atau anti (kamu perempuan); kita dipaksa untuk memilih salah satu kata yang bergender berbeda. Begitulah dalam teks-teks keagamaan, Alquran kadang “terpaksa” menggunakan kata bergender karena memang bahasa Arab adalah bahasa yang mengharuskan adanya gender dalam tiap katanya.
Terlalu banyak contoh untuk hal ini, namun kita akan contohkan satu saja dalam surat al-Hujurat ayat 13: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian (inna akramakum ‘inda Allah atqakum).” Membaca ayat ini dengan pendekatan gramatika bahasa Arab yang ketat akan mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ayat ini hanyalah membahas tentang laki-laki, bahwa yang paling mulia di antara para laki-laki adalah yang paling bertakwa di antara laki-laki.
Hal ini dikarenakan kata kalian dalam ayat di atas menggunakan kum yang dalam bahasa Arab merupakan kata ganti maskulin (mudzakkar). Namun mayoritas ulama menggunakan kaidah khusus bernama al-taghlib yang memungkinkan kata bergender laki-laki dapat juga mencakup perempuan. Sehingga surat al-Hujurat ayat 13 di atas bukan hanya ditujukan kepada laki-laki semata walaupun menggunakan kata ganti kum, melainkan juga mencakup perempuan.
Kaidah al-taghlib ini memiliki landasan contohnya dalam Alquran, seperti dalam surat al-Taubah [9]: 71: “Orang-orang yang beriman, laki-laki (al-mu’minun) dan perempuan (al-mu’minat), sebagian mereka (ba’dhuhum) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan (berbuat) yang makruf dan melarang yang munkar…”
Dalam ayat tersebut disebutkan subjek laki-laki dan perempuan, namun untuk menggunakan kata ganti keduanya ayat tersebut menggunakan hum dalam ba’dhuhum yang merupakan kata ganti maskulin. Artinya, walaupun ayat tersebut menggunakan kata ganti yang maskulin namun ia mencakup juga yang feminin (mu’annats) sebab subjeknya jelas-jelas tertulis laki-laki dan perempuan (wa al-mu’minun wa al-mu’minat).
Contoh seperti ini akan banyak ditemukan dalam ayat-ayat Alquran maupun hadis-hadis, yang menunjukkan bahwa teks-teks keagamaan pada dasarnya tidaklah mengabaikan perempuan seperti yang dikesankan oleh sebagian orang, namun ia telah bercampur dengan kata maskulin yang “kebetulan” digunakan sebagai median dalam menyampaikan pesan.
Menurut perspektif Mubadalah, kadiah al-taghlib yang dicontohkan di atas seharusnya lebih dikembangkan sehingga menyentuh ayat-ayat dan hadis-hadis yang selama ini masih terkesan bias gender. Perspektif ini akan memosisikan perempuan sebagai subjek sebagaimana laki-laki, betapapun maskulin (atau feminin)nya kata yang digunakan oleh suatu ayat atau hadis.
Hal ini sebetulnya telah diaplikasikan oleh ulama-ulama klasik, walaupun dalam level yang tidak luas. Sekarang jika perspektif ini akan diaplikasikan secara lebih luas, tentu ia akan memunculkan pertentangan yang keras, khususnya dari para pendukung ekstrem fikih klasik. Padahal perspektif Mubadalah menginginkan penafsiran yang berkesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal, karena hanya dengan begitulah keduanya bisa mendapatkan hak mereka masing-masing dengan adil.
Kalau suatu ayat Alquran menyebutkan bahwa suami wajib menegur istri bila ia membangkang (QS. Al-Nisa’: 34) misalnya, maka secara Mubadalah, perempuan juga wajib menegur suami bila ia membangkang, meskipun tidak terdapat ayat yang tersurat mengenai hal ini. Inilah makna dari analisis kesalingan yang diusung oleh Qira’ah Mubadalah, bahwa ayat apapun dalam Alquran yang menggunakan kata bergender tertentu maka gender yang lain juga seharusnya tercakup.
Contoh lain adalah, kalau suatu ayat Alquran menyebutkan bahwa suami wajib bermuamalah dengan baik kepada istri (QS. Al-Nisa’: 19), maka secara Mubadalah, perempuan juga wajib bermuamalah dengan baik kepada suami. Kalau suatu hadis menyebutkan bahwa sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan (HR. Muslim) berdasarkan perspektif laki-laki, maka secara Mubadalah, sebaik-baik perhiasan dunia adalah laki-laki berdasarkan perspektif perempuan.
Cara membaca teks-teks keagamaan secara Mubadalah ini menjadi penting untuk diketahui dan dikembangkan lebih lanjut, sebab cara membaca mainstream yang digunakan selama ini oleh umat Islam masih mengutamakan kepentingan laki-laki tanpa mempertimbangkan nilai kesetaraan (al-musawah) antar gender.
Maka untuk meminimalisasi kepentingan laki-laki dan untuk memaksimalisasi aplikasi nilai kesetaraan, dibutuhkan teori, metode, dan cara baca yang ramah perempuan dan tidak bias gender. Qira’ah Mubadalah adalah salah satu dari teori, metode, dan cara baca yang dimaksud.
Walaupun Kyai Faqih mengakui sebetulnya secara aplikatif metode kesalingan ini telah dibahas oleh ulama klasik maupun kontemporer, namun ia belum menjadi sebuah terma khusus yang dikaji secara utuh, dan alhamdulillah Kyai Faqih telah menggarap proyek ini dengan baik dan menulisnya dalam bukunya Qira’ah Mubadalah; Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam (2019).
Sekarang, tugas kita sebagai penyeru kesetaraan adalah bagaimana mengarusutamakan teori Qira’ah Mubadalah ini dalam benak kolektif umat Islam, agar tercapai corak penafsiran yang lebih berkeadilan dan egaliter; suatu tugas yang sangat berat namun harus kita lakukan. []