Mubadalah.id – Adanya Bolaang Uki di Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara, saat ini bisa dibilang sebagai sejarah panjang pengembaraan Suku Bolango. Proses migrasi panjang kembali ke tanah impian yang sejak ratusan tahun telah diramalkan oleh Putri Daopeyago (Raja Bolango) akan menjadi tempat bagi sukunya.
Sebagaimana dijelaskan oleh David E.F. Henley dalam Fertility, Food, and Fever: Population, Economy, and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1900, bahwa pada zaman kerajaan: “Bolaang Uki was the main political centre of the Bolango (Bolaang Uki merupakan pusat politik utama Bolango).”
Sebelum akhirnya Orang Bolango menempati Bolaang Uki, mereka telah melakukan migrasi yang panjang.
Beberapa pendapat meyakini kalau Suku Bolango berasal dari Suwawa (daerah Gorontalo), yang kemudian menyebar ke Tapa dan sebagian lain ke Atinggola (kedua tempat tersebut masuk daerah Gorontalo). Di Tapa, mereka mendirikan Kerajaan Bolango, yang sebagaimana dijelaskan oleh Karmin Baruadi dalam Sejarah Kebudayaan Gorontalo, bahwa Bolango menjadi bagian dari perserikatan Limo lo Pohala’a (lima kerajaan yang bersaudara): Kerajaan Gorontalo, Kerajaan Suwawa, Kerajaan Limboto, Kerajaan Bolango, dan Kerajaan Atinggola.
Posisi Kerajaan Bolango dihapuskan dari Limo lo Pohala’a pada 1860, dan digantikan oleh Kerajaan Boalemo. Hal tersebut dikarenakan Suku Bolango telah meninggalkan Tapa (Gorontalo) menuju Bolaang Mongondow. Di pesisir selatan Bolaang Mongondow, mereka sukses mendirikan Kerajaan Bolaang Uki. Pada perkembangannya, kerajaan Suku Bolango tersebut menjadi bagian dari Swapraja Bolaang Mongondow: Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Bintauna, Kerajaan Kaidipang Besar, dan Kerajaan Bolaang Uki.
Mengenai asal usul Suku Bolango ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa mereka bukan berasal dari Suwawa, melainkan dari daerah yang jauh yaitu Pulau Batang Dua di Tarnate. Yang pada awal abad 14 M, Orang Bolango dipimpin Raja Wintuwintu menyeberangi lautan dari Pulau Batang Dua ke Pulau Lembeh yang terletak dekat ujung timur Pulau Sulawesi bagian utara.
Setelah dari Pulau Lembeh, mereka kemudian bermigrasi ke Bolaang Mongondow, menemukan Lembah Molibagu (yang menjadi cikal bakal Bolaang Uki), melanjutkan perjalanan dan mendirikan pemukiman di Tolutu (masih kawasan Bolaang Mongondow bagian selatan), kemudian terus bergerak ke Suwawa, dan mendapat tempat di Tapa. Dan, pada abad 19 M, Orang Bolango kembali ke Bolaang Mongondow menempati beberapa kawasan, salah satunya adalah Molibagu, hingga mendirikan Kerajaan Bolaang Uki.
Suatu proses migrasi yang amat panjang, berlangsung sejak abad 14 hingga 19 M. Karena itu, dalam buku David E.F. Henley, Suku Bolango juga disebut sebagai a small footloose ethnic group (satu kelompok etnik kecil yang bebas mengembara).
Jika kita membahas pengembaraan Suku Bolango sampai di Bolaang Uki (Molibagu), maka seharusnya tidak lepas dari satu nama perempuan pemimpin, yaitu Putri Daopeyago. Sebab, sang putri memimpin pengembaraan Orang Bolango hingga menemukan Molibagu sebagai tanah impian.
Hasanudin dalam Bolango: Kerajaan Tradisional di Gorontalo, menjelaskan bahwa setelah Wintuwintu memimpin Orang Bolango di Pulau Lembeh, tahta dilanjutkan oleh Dotulong, dan kemudian Mogalaing I. Pada 1390, Mogolaing dengan sadar menyerahkan kepemimpinan kepada saudarinya yang bernama Putri Daopeyago, perempuan dengan karisma kepemimpinan yang luar biasa.
Hal ini menjadi satu bukti bahwa dalam peradaban Nusantara perempuan pemimpin bukan sesuatu yang tabu. Sebab, sejarah Nusantara mencatat begitu banyak perempuan yang terbilang sukses sebagai pemimpin pada masa Nusantara masih berupa wilayah-wilayah kerajaan. Satu di antaranya adalah Putri Daopeyago yang menjadi Raja Suku Bolango.
Pada masanya, Putri Daopeyago memimpin rakyat Bolango mencari tanah impian yang lebih baik. Mereka meninggalkan Pulau Lembeh yang dirasa sudah kurang membuat nyaman, dan masuk ke kawasan Bolaang Mongondow.
Tentang perjalanan Putri Daopeyago dikisahkan dalam Syair Danghisa (syair pengiring tarian tradisional Suku Bolango), sebagaimana terjemahan syair dikutip dari Hasanudin:
Pada zaman raja perempuan
Daopeyago puteri bangsawan
Di Lempokoba buat ramalan
Lalu datang satu ubahan
Daopeyago ratu bangsawan
Telah membuat satu kepindahan
Arah Buyat ke Kotabunan
Di Tinempah di perkotaan
Dalam perjalanannya, tatkala rombongan Putri Daopeyago menemukan Lembah Molibagu, sang putri pun mengambil segumpal tanah yang kemudian dijilat olehnya (buta no dirlata), dan bersumpah (meramalkan) bahwa wilayah itu akan menjadi tempat bagi keturunan mereka. Dalam keyakinan Putri Daopeyago, bahwa Suku Bolango akan menempati Lembah Molibagu, namun belum saatnya. Mereka masih harus melanjutkan perjalanan, sebab sebelum menempati tanah impian sukunya terlebih dahulu masih akan berjaya di tempat lain.
Sumpah Putri Daopeyago jelas menggetarkan hati rakyatnya. Sejak itu, kelompok Bolango meyakini bahwa suatu saat mereka akan kembali ke Lembah Molibagu.
Setelah menetap beberapa hari di Molibagu, Putri Daopeyago bersama rombongan melanjutkan perjalanan ke Pegunungan Tolutu. Di sini, mereka mendirikan pemukiman sebelum akhirnya melanjutkan migrasi ke Gorontalo. Bagi Orang Bolango daerah itu kemudian menjadi Lipu Logido (Negeri Lama) Tinempah.
Syair Danghisa menceritakan:
Di Tinempah di negeri lama
Titingio puteri dermawan….
Pada saat di Tinempah, Putri Daopeyago mangkat. Kedudukannya digantikan oleh Pasuma yang adalah suaminya. Dan, Orang Bolango kembali melanjutkan perjalanan menuju Gorontalo untuk mencari tempat baru.
Kesuksesan Putri Daopeyago membawa rakyatnya mencari tanah impian bukanlah sesuatu pekerjaan yang mudah. Pada masa itu, mengatur kelompok besar dalam pengembaraan panjang, menyeberangi perairan dan menerobos hutan, jelas merupakan satu perkara yang sulit. Namun, Putri Daopeyago berhasil melakukannya, bahkan hingga menemukan Lembah Molibagu–yang ratusan tahun pasca sumpah sang putri–tanah impian itu benar-benar menjadi tempat bagi sukunya. []