Mubadalah.id – Kartini merupakan sosok yang mendobrak bias pada masanya, tentunya itu menular kepada para Kartini saat ini. Kartini menolak untuk menikah, sikapnya tersebut menunjukkan bahwa dirinya sebagai perempuan memiliki hak untuk memilih menikah atau tidak, serta berani membuat keputusan. Kartini memang pada akhirnya menikah dengan alasan menuruti permintaan ayahnya yang kondisi kesehatannya menurun.
Kartini menikah pada usia yang relatif muda, yakni 24 tahun. Namun, pada masanya menikah di usia tersebut sudah dianggap sebagai perawan tua. Rata-rata perempuan pada masa itu menikah di usia belasan tahun. Tentu Kartini tidak menikah dengan begitu saja. Kartini mengajukan syarat agar setelah menikah tidak dikekang dan tetap dibiarkan mewujudkan mimpi-mimpinya.
Sayangnya perjuangan Kartini terhenti ketika usia 25 tahun karena meninggal dunia empat hari pasca melahirkan. Dari berbagai sumber yang saya baca, penyebab kematiannya adalah pendarahan dan tekanan tinggi pada saat persalinan. Fenomena ini kerap terjadi, bahkan saat ini istilah tekanan darah tinggi tersebut sering disebut sebagai preeklampsia.
Pada masa RA Kartini, kondisi layanan kesehatan belum memadai seperti saat ini. Angka Kematian Ibu (AKI) terbilang sangat tinggi. Hal ini tertulis dalam surat yang dikirimkan Kartini kepada sahabat penanya yakni Estella Zeehandelaar. Dalam suratnya tersebut, Kartini mengatakan bahwa angka kematian ibu setiap tahunnya mencapai 20.000 jiwa. Tingginya AKI pada masa itu selain disebabkan minimnya akses layanan kesehatan, banyak sekali ibu yang hamil di usia remaja.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada era Kartini, rata-rata perempuan menikah di usia belasan tahun, masih terbilang remaja. Hamil di usia remaja termasuk kehamilan yang beresiko. Dalam berbagai artikel yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), kehamilan remaja berdampak negatif pada ibu dan bayinya. Dampak negatif itu baik dari segi kesehatan maupun sosial.
Kehamilan pada remaja beresiko terjadinya kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), pendarahan persalinan yang beresiko pada kematian ibu dan bayi, serta terjadinya stunting pada anak. Hal ini disebabkan usia remaja masih dalam tahapan tumbuh kembang dimana remaja membutuhkan banyak nurtrisi.
Jika remaja tersebut hamil, maka ia akan berebutan nutrisi dengan bayi yang dikandungnya. Hal ini menyebabkan ibu mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK) dan anemia sehingga bayi yang dilahirkan beresiko stunting. Oleh karena itu, kehamilan pada usia remaja dianggap sebagai kehamilan beresiko, apalagi jika kondisi layanan kesehatan di sekitarnya masih belum memadai.
Saat ini, kondisi AKI memang sudah jauh menurun jika dibandingkan dengan era Kartini. Namun, semasa pandemi AKI di Indonesia terbilang meningkat. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Indonesia, pada tahun 2021 angka kematian ibu mencapai 6.865 orang. Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada angka kematian ibu pada tahun 2019, yakni 4.197 orang.
Tingginya AKI selama masa pandemi terjadi akibat penurunan jumlah ibu hamil yang mengakses layanan kesehatan. Seperti yang kita tahu, selama pandemi ini banyak sekali orang terpapar Covid-19. Penanangan kesehatan terfokus pada pengendalian pandemi Covid-19. Disisi lain, banyak juga ibu hamil yang terpapar Covid-19.
Kartini Rustandi selaku Plt.Dirjen Kementerikan Kesehatan mengatakan meningkatnya AKI selama pandemi disebabkan karena akses dan mutu layanan kesehatan yang rendah, minimnya pengetahuan kesehatan reproduksi, keterlambatan deteksi komplikasi kesehatan, dan regulasi yang tumpang tindih.
Saat ini, fasilitas kesehatan mudah diakses meskipun belum merata, mulai dari Pustu (Puskesmas Pembantu) hingga rumah sakit tersedia di daerah. Jika dibandingkan dengan era RA Kartini, tentu jumlah layanan kesehatan saat ini jauh lebih banyak. Saat ini, jumlah bidan terlatih jauh lebih banyak daripada parajih. Namun, layanan kesehatan seksual reproduksi secara inklusif masih sangat minim. Inilah yang belum berubah dari zaman RA Kartini hingga saat ini.
Oleh karena itu, RA Kartini bagi saya merupakan pahlawan HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) yang menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan terkait kesehatan seksual dan reproduksi. Lebih dalam lagi, Kartini menegaskan bahwa pernikahan anak bukanlah hal yang baik mengingat pernikahan tersebut akan mengantarkan perempuan pada kesakitan dan kematian baik dari segi fisik maupun psikis.
Jika pada masa Kartini pernikahan anak kerap terjadi karena sebuah tradisi, maka saat ini permasalahan menjadi semakin kompleks, tidak hanya soal tradisi. Pernikahan anak kerap terjadi akibat motif ekonomi, upaya menghindarkan dari zina, hingga Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Hal ini mengindikasikan bahwa remaja masih belum mendapatkan perlindungan dan pencegahan dari tindakan beresiko.
Seperti yang dijelaskan oleh Plt.Dirjen Kementerian Kesehatan salah satu faktor AKI adalah rendahnya pengetahuan terkait kespro (kesehatan reproduksi). Ketidakhadiran pendidikan kespro yang komprehensif dan inklusif mulai dari keluarga, sekolah hingga layanan kesehatan, membuat remaja khususnya perempuan kehilangan HKSR-nya.
Sejatinya, pendidikan kespro ini penting diterapkan ke segala usia dan gender, mulai dari remaja hingga lansia. Pemberian pendidikan kespro secara komprehensif ini sesuai dengan 12 HKSR yang telah dirumusukan oleh International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada tahun 1996, yakni sebagai berikut :
- Hak untuk hidup
- Hak atas kebebasan dan keamanan
- Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi termasuk kehidupan keluarga dan reproduksinya
- Hak atas kerahasiaan pribadi
- Hak untuk kebebasan berpikir
- Hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan
- Hak untuk memilih bentuk keluarga dan hak untuk membangun dan merencanakan berkeluarga
- Hak untuk memutuskan kapan dan akankah punya anak
- Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan
- Hak untuk mendapatkan hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
- Hak Kebebasan berkumpul dan berpartisipadi dalam hal politik
- Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.
Jika berefleksi lebih dalam lagi, 12 HKSR ini sejalan dengan apa yang diperjuangkan oleh Kartini meskipun tidak disampaikan secara gamblang. Kartini menentang tuntutan menikah, Kartini juga menolak untuk dikekang dalam meraih mimpi-mimpinya. Kartini secara tersirat menyampaikan kepada kita bahwa pernikahan anak bukanlah solusi dari masalah, justru menambah masalah jangka panjang khususnya bagi perempuan. Secara tersurat, Kartini menyampaikan bahwa perempuan berhak memilih dan mengambil keputusannya sendiri.
Lalu apa yang belum berubah dari era Kartini hingga saat ini? Kesadaran masyarakat dan pemerintah terhadap isu-isu HKSR masih rendah. Pendidikan seksual yang komprehensif sampai saat ini masih dianggap tabu oleh sebagian orang. Hal ini menyebabkan implementasi pentingnya pendidikan seksual sebagai upaya pencegahan dan perlindungan dari aktivitas seksual beresiko terhambat. Idealnya, pendidikan seksual justru membantu kita semua untuk berpikir panjang dalam mengambil keputusan dan tindakan beresiko. []