Suatu saat saya berkomentar di status teman saya. Saya mengomentarinya dengan pertanyaan “kapan wisuda nih?,” niat saya bercanda, diakhir saya bubuhi juga emoticon tertawa. Teman saya lalu menjawab “percuma belajar feminisme.”
Jawaban itu membuat saya tidak bisa fokus mengerjakan aktifitas lainnya. Saya kefikiran. Di satu sisi, saya ingin membela diri saya sendiri. Tapi di sisi lain, saya membenarkan kritik teman saya tersebut. Saya tidak peka, padahal harusnya pertanyaan berawal “kapan” tidak keluar dari jempol saya.
Guru saya, suatu saat pernah bercerita. Dia menyatakan, mungkin jika anak laki-lakinya menikah dengan perempuan, kemudian suatu saat si Ibu main ke rumah anak laki-laki tersebut lalu melihat anak laki-lakinya mengepel dan sang istri memainkan gawai, dia juga akan tetap kaget. Walaupun Guru saya ini juga guru feminisme.
Mayoritas kita semua dilahirkan dan dibesarkan dalam kultur patriarki. Maka meski pun kita mempelajari feminisme, sangat mungkin kita masih memiliki bias, rasis, tidak adil sejak dalam pikiran juga hal-hal lainnya yang bertentangan dengan feminisme.
Suatu kali, saya membaca cerita menarik di media sosial. Seorang guru memberikan pelajaran kepada anak didiknya tentang rasisme kepada kulit hitam dengan bertanya “kalau kalian liat gambar ini (gambar orang kulit hitam, apa yang kalian pikirkan?,” jawabannya kemudian beragam. Ada anak yang bahkan menyatakan bahwa dia mengingat gorilla.
Hebatnya, Ibu Guru itu tidak marah. Dia lalu menjelaskan bahwa jawaban itu adalah salah satu akar rasisme. Dari sana lah dia membangun kesadaran bahwa ada sistem, ada politik, ada budaya yang membuat anggapan itu terkenal dan menjadi legitimasi rasisme yang dilakukan.
Dalam perkembangan kehidupan saya. Saya juga sering sekali bias, rasis dan tidak adil sejak dalam pikiran. Ketika melihat orang yang gendut sekali misalnya, saya dulu ngumpet-ngumpet untuk ketawa. Ketika melihat orang Timur yang hitam, saya membandingkan kulitnya dengan kulit saya. Ketika melihat perempuan bercadar, saya menganggap ilmu agamanya tidak luwes. Ketika melihat laki-laki menangis, saya menganggapnya cemen.
Saya lalu mendapatkan privilege untuk mengakses pengetahuan dan pertemanan yang lebih luas. Cara pandang kehidupan saya lalu berubah. Saya belajar untuk tidak rasis, tidak bias, juga tidak adil. Meski pun tentu saja sebagai manusia yang dibesarkan di kultur patriarki, dan dalam satu sistem, lantas secara spontan saya masih sering rasis, bias juga tidak adil.
Sehingga saya kira, pernyataan dalam bukunya Jessa Crispin sangat relevan. Bahwa kita sebagai feminis, harus terus menerus self-criticise (mengkritisi diri kita sendiri). Sangat mungkin, diri kita yang mengaku feminis ini ternyata juga masih memiliki banyak bias. Misalnya, guru saya yang laki-laki menanyakan: mengapa ya perempuan-perempuan yang belajar gender itu kok ga mau kalau perempuan lain jadi Ketuanya?
Awalnya, saya kira ini semata-mata tentang subjektifitas saja. Tapi kemudian beberapa kali saya menemukan kejadian seperti itu bahkan saya menjadi pelakunya. Melihat perempuan lain yang sukses kok rasanya lebih iri ketimbang melihat laki-laki yang sukses. Tapi kemudian kesadaran feminis coba saya bangunkan. Kalau sesama perempuan saja saling menjatuhkan, bagaimana bisa perempuan maju? Maka lalu saya coba untuk turut mendukungnya.
Mungkin memang budaya patriarki membuat kita tidak terbiasa melihat perempuan menjadi pemimpin. Ketika ada, akhirnya diri kita sebagai perempuan yang terjajah itu tidak rela jika perempuan lain bisa menjadi pemimpin. Ini lah yang saya suka dari menjadi feminis.
Saya bisa menggunakan kaca mata feminis untuk membaca kasus-kasus yang saya alami setiap hari. Saya menganalisanya, mengkritisi diri saya sendiri, lalu memperbaiki perilaku saya. Hingga suatu saat saya berada di kesadaran kemanusiaan perempuan tertinggi (ya meski pun sulit atau bahkan utopis).
Jadi ya, meski pun saya mengaku feminis. Sangat mungkin sekali saya masih bias, rasis dan tidak adil. Saya sedang berusaha untuk mengkritisi diri saya sendiri. Tentu saja saya senang jika teman-teman membantu saya dengan kritik yang membangun. Tulisan ini juga sebagai permintaan maaf, jika ternyata saya pernah melukai hati dengan perilaku atau kata yang bertentangan dengan feminisme. []