“Kapan nikah?” mungkin itu adalah pertanyaan menyebalkan bagi sebagian orang dewasa. Saya pribadi entah sudah berapa banyak ditanya kapan nikah. Tapi pertanyaan itu bagi saya bukan pertanyaan yang menyebalkan, karena saya sudah tahu harus menjawab apa tergantung pada siapa yang bertanya.
Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan tetangga sebaya dan sudah lama tidak bertemu. Pertanyaan pertamanya bukan “Apa kabar?”, tapi justru “Kapan nikah?”. Bagi sebagian orang mungkin pertanyaan itu setara dengan menanyakan kabar, atau sekadar kepo karena lama tak bertemu. Jawab saya adalah “Kapan-kapan”. Kadang saya jawab dengan bercanda, “Kalau gak Sabtu ya Minggu”. Atau jawaban yang lembut, “Mohon doanya ya.”
Teman saya pernah bercerita bahwa Ibunya sampai sedih dan menangis karena anak perempuannya tak kunjung menikah di usia 27 tahun. Teman saya sedih karena membuat Ibunya sedih. Padahal dia sendiri menikmati statusnya sekarang dan tentu saja punya pandangannya sendiri terhadap pernikahan.
Dulu saya sering mendapatkan sebutan “jomblo”, karena saya tidak pernah menampilkan pasangan saya dalam media sosial maupun secara langsung. Ada teman yang juga membantu untuk menjodohkan saya dengan temannya. Saya selalu terbuka dengan itu, meski sebenarnya saya memiliki calon sendiri.
Saya bisa bersimpati bahwa social pressure dan peer pressure dalam perkawinan sungguh besar. Orang tua dan keluarga kita mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang pernikahan. Orang tua menjadi khawatir mengapa anaknya tak kunjung memiliki calon pasangan, terutama jika anaknya perempuan.
Bagi generasi Baby Boomers atau generasi X, mungkin pernikahan adalah keniscayaan. Tapi tidak bagi generasi Milenial. Pernikahan telah mengalami perubahan makna, karena pernikahan adalah pilihan. Ini yang memberatkan gap generasi.
Menjadi minoritas dalam suatu kelompok karena status pernikahan juga pasti cukup melelahkan. Ketika kita tidak bisa mengikuti obrolan tentang pernikahan dan perkembangan anak-anak teman yang seringkali dibicarakan. Saya bisa merasakannya, ketika tak lagi nyambung berbicara dengan teman-teman kita karena topic interest yang berbeda. Ketika kita tak bisa menempatkan kaki pada sepatu mereka karena kita tidak pernah mengalaminya.
Saya tentu tidak membenci institusi pernikahan, saya juga ingin menikah. Pernikahan teman-teman saya tidak membuat saya insecure atau iri. Saya senang saat mereka senang, sungguh. Hanya saja saya ingin tetap bisa ngobrol seru, itu saja.
Orang-orang banyak yang bilang, “Ayo nikah, nikah itu enak”. Ini seperti pedagang mainan membujuk anak TK untuk membeli dagangannya. Jika pernikahan hanya enak-enak saja, tentu tak akan ada kekerasan seksual, kekerasan verbal, kekerasan fisik, penelantaran, hingga perceraian.
Seorang Ibu penggiat sosial yang berusia sekitar 50 tahun pernah bertanya umur saya dan mengatakan, “Wah masih muda, masih bisa sekolah, kerja dan aktif dalam kegiatan sosial. Jangan nikah dulu”. Teman yang sudah menikah juga pernah bilang, “Jangan terburu menikah, nikmati saja waktumu sekarang.”
Lalu, kapan waktu yang ideal untuk menikah?
Apakah saat teman-teman kita sudah menikah dan meng-update foto dan video anak-anaknya di media sosial? Atau saat orangtua gelisah dan mulai menjodohkan kita dengan anak temannya?
Menurut Kyai Faqihuddin Abdul Kodir, hukum menikah bisa wajib, sunnat, mubah, makruh dan haram. Bagi saya sekarang, menikah bukan suatu kewajiban. Jadi ketika ada teman yang memutuskan untuk tidak menikah, itu adalah haknya.
Menikah itu sunnah, meneladani Rasulullah. Bukan suatu kewajiban karena tidak termasuk dalam rukun Islam sehingga yang memilih menikah seolah “berdosa’ atau “bersalah”. Kita tahu dalam tradisi Islam, ada mufasir, mufti dan cendekiawan yang memilih menjomblo seumur hidupnya. Jika pernikahan hanya akan membawa pada kedzaliman dan kekerasan, tentu saja hukum pernikahan bisa jadi haram.
Menurut Kyai Faqih, pernikahan itu bisa bernilai ibadah jika diisi dengan ucapan yang baik, sikap yang ramah dan perilaku yang menyenangkan yang mendorong pada kebahagiaan, ketentraman dan kebaikan-kebaikan. Tapi jika mengisi pernikahan dengan kemarahan, keburukan, kekerasan, pemaksaan bahkan saling membenci, tentu itu bukan ibadah justru berdosa.
“Suami dan istri adalah subyek penuh dalam perkawinan dan dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Menjadi subyek penuh berarti perempuan dan laki-laki sama-sama powerfull. Kedzoliman dalam relasi datangnya dari pemahaman bahwa pihak lain adalah lemah atau dianggap lemah.”
-Ibu Nur Rofiah
Saya pernah terlibat percakapan serius dengan suami senior saya. Dia bercerita bahwa kakaknya kasihan pada adik perempuannya belum juga menikah di usia sekitar 40 tahun karena sibuk dengan pekerjaannya sebagai peneliti. Baginya sang kakak belum sukses karena belum menikah meski secara finansial sudah mapan. Lagi-lagi saya patah hati mendengar hal semacam ini.
Di Twitter beberapa waktu lalu menampilkan seorang perempuan lulusan University of California yang menjabat sebagai Head of Big Data dan masih single di usia 27 tahun. Seorang netizen berkomentar, “Kasihan ya usia segitu belum nikah.” Tentu saja netizen ini menjadi bahan bully oleh netizen lainnya.
Hanya karena belum menikah, seseorang merasa patut untuk mengasihaninya. Itu berarti belum menikah adalah kondisi yang memprihatinkan sehingga layak dikasihani dan dihubungkan dengan usia. Bagi sebagian orang, pernikahan adalah simbol kesuksesan.
Padahal bagi sebagian orang, pernikahan bukan standar kesuksesannya dan bukan merupakan tujuan hidup yang utama. Generasi Milenial memiliki prioritasnya masing-masing, ada yang bekerja, ada yang sekolah tinggi, ada yang merawat orangtua, ada yang mengabdi pada masyarakat, ada yang berkontribusi pada pendidikan hingga jauh ke pelosok, ada yang traveling keliling dunia, ada yang mengejar cita-citanya, dan sebagainya.
Orang tua saya bercerai saat saya kelas 2 SD. Tak banyak teman yang tahu tentang ini, meski saya meyakini ini bukanlah suatu aib. Tapi kehidupan saya jauh lebih rumit dari sekadar memiliki label sebagai anak “broken home” dan tak ada seorang teman pun yang benar-benar tahu kehidupan keluarga saya.
Setelah masa penolakan yang cukup lama, saya menerima fakta bahwa orangtua saya bercerai, saya tahu bahwa perceraian bukanlah suatu hal yang meruntuhkan dunia dan pernikahan bukanlah segalanya. Bahwa keluarga yang orangtuanya bercerai tidak lebih buruk dengan keluarga yang orangtuanya langgeng dalam pernikahan. Teman-teman saya bercerita tentang orangtuanya yang terus hidup bersama tapi toxic namun memilih bertahan. Sebagian lagi menceritakan pedihnya kehilangan sosok ayah atau ibu di dalam keluarga.
Pengalaman menjadi anak dengan orangtua yang bercerai membuat saya sangat berhati-hati dalam berhubungan dengan lelaki. Sebagian orang tentu saja tidak bisa berdiri pada sepatu saya dan tidak bisa memahami mengapa saya begitu pemilih. Lha wong beli buah aja kita milih lho, apalagi suami/istri kan?
Saya hanya ingin mempersiapkan segalanya dengan baik dan matang. Saya juga paham bahwa tidak ada keluarga yang sempurna. Tapi, biarkan saya dan yang lain, menghidupi hidup kami masing-masing-masing. []