Seksualitas dan kontrol adalah dua hal yang sering dikaitkan dalam bahasan budaya agama, tak terkecuali dalam budaya Muslim. Paham yang mengatakan bahwa seksualitas perempuan membutuhkan pengawasan, kontrol, atau bahkan pembatasan, diyakini oleh masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia, meski berbeda dalam praktiknya. Imam Ghazali berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Fatima Mernissi, bahwa seksualitas perempuan tampak sebagai sesuatu yang berlimpah-limpah atau besar sekali.
Menurut Fatima, pendapat ini dapat berujung pada anggapan bahwa seksualitas perempuan adalah sesuatu yang mengancam, dengan deskripsi implisit yang mengarah ke sifat destruktif dan merugikan. Sedangkan Freud, dalam teorinya, menggambarkan seksualitas perempuan sebagai sesuatu yang pasif.
Baik pandangan Imam Ghazali maupun Sigmund Freud tidak ada yang memihak perempuan. Namun demikian, interpretasi Imam Ghazali memberikan ruang elaborasi yang lebih banyak terkait hubungannya dengan pemberdayaan dan hak-hak seksual karena secara tidak langsung memposisikan perempuan di posisi yang lebih progresif.
Annise Helie, seorang peneliti Muslim dari Algeria, dalam pendahuluan antologi esai berjudul “Sexuality in Muslim contexts: restrictions & resistance”, menggugat konsep biner yang memasangkan hak dan kebebasan seksual dengan budaya Barat dan seklusi seksual dengan budaya Muslim.
Baik pendapat Fatima maupun di atas dapat menjadi dasar perspektif dalam melihat fenomena yang sedang ramai diperbincangkan setelah berlalunya peringatan Hari Kartini, yakni cuitan Permadi Arya yang “menuduh” cadar memiliki potensi untuk “memusnahkan” kebaya.
Mari kita telisik lebih jauh dengan menempatkan kebaya sebagai simbol emansipasi perempuan karena identik dengan Kartini, dan cadar sebagai simbol kontrol seksual perempuan Muslim yang mencederai emansipasi perempuan.
Cadar pada konteks masa kini sering dianggap pelengkap hijab sebagai kontrol atas diri perempuan. Menyambung pendapat Fatima Mernissi yang mengutip Imam Ghazali, melimpahnya seksualitas seorang perempuan mengharuskan kesempurnaan kontrol atasnya.
Jika kebebasan ekspresi seksualitas disimbolkan dengan pakaian yang terbuka, maka cadar bisa disebut sebagai simbol kaffah-nya seorang perempuan dalam merepresi dirinya. Dengan tidak menampakkan wajah, seorang perempuan sedang berusaha “menyembunyikan” atau “mempasifkan” diri, di mana kepasifan adalah salah satu indikator kontrol yang sukses. Setidaknya, begitulah yang bisa disimpulkan dari pandangan banyak orang.
Padahal, sebagaimana hijab, motivasi orang mengenakan cadar sangatlah bervariasi. Menyimpulkan bahwa cadar adalah bentuk represi, bahkan opresi, adalah suatu tindakan yang abai, apalagi mengkontraskan cadar dengan emansipasi perempuan.
Berani bertaruh, Permadi Arya pasti tidak tahu, bahwa ada beberapa perempuan yang memilih untuk bercadar sebagai bentuk perlawanan atas tuntutan standart kecantikan masa kini. Mereka sejatinya tidak mau ribet memakai bedak, menggambar alis, dan memakai gincu. Bagi mereka, cadar adalah kepraktisan hidup, sekaligus perlawanan terhadap kapitalisme yang dengan sadis menempatkan perempuan sebagai kelompok rentan.
Sama-sama dipakai oleh perempuan, cadar dan kebaya memiliki tafsiran yang berbeda. Kebaya dan Hari Kartini sudah berjodoh, entah sejak kapan. Sayangnya, peringatan kontribusi Kartini bagi perempuan Indonesia menjadi remeh, dibuktikan dengan sekadar memakai kebaya dalam sehari.
Eksistensi kontes-kontes kecantikan dengan kostum kebaya di tingkat sekolah, RT/RW, kelurahan pun awet. Idenya adalah untuk menemukan siapa yang paling cantik dan anggun berkebaya. Apakah Kartini akan bangga di alam baka sana melihat kontes-kontes semacam ini? Memperingati Hari Kartini dengan cara seperti ini justru lagi-lagi mereduksi eksistensi perempuan, menegaskan kembali bahwa perempuan hadir sebagai objek untuk dipandang.
Membaca fenomena ini melalui refleksi pemikiran Anissa Helie, konsep biner yang disiratkan oleh Permadi Arya menjadi tidak valid: kebaya sebagai produk non-Muslim tidak merepresentasikan emansipasi, cadar sebagai produk Muslim juga bukanlah simbol non-emansipasi.
Cadar dan kebaya bukan dua hal yang berlawanan, bukan pula dua hal yang bisa diadu; mereka sama sekali berbeda dalam praktiknya. Cadar tidak serta merta bisa ditasbihkan sebagai simbol represi ataupun opresi, hanya karena beberapa orang menganggapnya sebagai upaya perempuan “mempasifkan” dirinya.
Kebaya pun sudah jelas tidak sempurna melambangkan emansipasi perempuan. Budaya membenturkan pilihan-pilihan perempuan seperti ini harus dimusnahkan. Tidak seperti cadar pada kebaya, budaya toksik seperti ini berpotensi melemahkan pemberdayaan perempuan, membuatnya macet karena lagi-lagi kita jatuh pada bahasan “bungkus luar”, sementara bahasan eksistensial dan kontribusional terpinggirkan.[]