Mubadalah.id – Mari kita mengenal Al-Qasimi lebih dekat. Ia bernama lengkap Jamāl Ad-Dīn ibn Muhammad Sa’īd ibn Qāsim Al-Hallāq Al-Qāsimi. ia masuk dalam silsilah keturunan al-Hasan bin Ali, cucu Rasulullah SAW melalui Syaikh ‘Abd Al-Qadīr Al-Jailānī Al-Baghdādī. Ia terkenal sebagai ahli tafsir Al-Qur’an yang masyhur pada permulaan abad ke-20 dengan kitab tafsirnya yaitu Mahāsin Al-Qur’ān fi Tafsīr Al-Qur’ān (Usmani, 2015).
Ia berasal dari Syam (Suriah). Ia lahir pada hari Senin bulan Jumadil Ula 1283 H / September 1866 M. Disebutkan bahwa ia lahir di sebuah desa kecil bernama Qasimi, Syam (Suriah) (Ghafur, 2008). Sementara itu, ia wafat pada sabtu malam bulan Jumadil Ula 1332 H/April 1914 M di Al-Bāb Al-Shaghīr, Damaskus (Al-Qasimi, 1981).
Dalam rihlah ilmiahnya, selain belajar kepada ayahnya yaitu Abū ‘Abdillāh Muhammad Sa’īd Abī Al-Khair Al-Qāsimī, ia juga banyak menimba ilmu di negaranya yaitu Suriah kemudian studinya ia lanjutkan hingga ke Mesir dan Madinah dalam kurun waktu 1308 H-1312 H. Setelah itu ia kembali ke Damaskus dan fokus pada Tafsir, ilmu-ilmu syariah Islamiyah dan adab hingga ia wafat (Kuhhal).
Belajar pada Para Imam
Ia belajar kepada para imam terkenal yaitu kepada Al-Syaikh Al-Hafizh ‘Abdurrahmān Al-Mishrī di Damaskus, Syaikh Ahmad Al-Hilwānī. Syaikh Salim Al-‘Aththar dan Syaikh Bakari Al-‘Aththar di Syam. Ia juga telah memperoleh banyak ijazah dari Syaikh Mahmud Al-Hamzāwī, Syaikh Thāhir Al-Āmidī, Syaikh Muhammad Ath-Thanthawi dan lain-lain (Al-Qasimi, 1981).
Al-Qāsimī juga seorang pengagum Muhammad Abduh. Hal ini berpengaruh pada berbagai karya tulisnya. Banyak dari karyanya yang menggunakan gaya bahasa prosa setelah sebelumnya menggunakan bahasa sajak. Perubahan gaya bahasa tersebut ia mulai setelah perkenalannya dengan Muhammad Abduh pada tahun 1904 M. Sementara itu, kitab tafsirnya juga banyak terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir (Al-Muhtasib, 1997).
Selain terkenal dengan seorang mufasir dengan karya tafsirnya yaitu Mahāsin At-Ta’wīl, Al-Qāsimī juga telah menghasilkan berbagai karya tulis yang kurang lebih berjumlah 73 sebagai buah pikirannya. Dan di antara karya tulisnya adalah Ishlāh al-Masājidi min Al-Bad’i wa al-‘Awāidi, Ta’thir al-Masyām fī Ma’ātsir Dimsyaq asy-Syam, Qawā’id at-Tahdīts min Fannin Mushthalah al-Hadīts, Dalāil at-Tauhīd dan lain-lain (Kuhhal).
Menulis Kitab Tafsir Mahasin At-Ta’wil Al-Qasimi
Dalam bidang Tafsir, ia telah menulis kitab Tafsir Mahāsin At-Ta’wīl Al-Qāsimī menulis tafsirnya dengan sangat hati-hati. Untuk memberanikan diri, Al-Qāsimī beberapa kali melaksanakan shalat istikharah sebelum menulis tafsirnya. Pada tanggal 10 Syawal 1316 H, ia mulai menulis kitab tafsirnya dan berakhir pada 1329 H. Penulisan kitab tafsir ini berlatar belakang oleh keinginan kuat Al-Qāsimī untuk memuat karya tafsir yang dapat diterima dan mencerahkan kehidupan umat. Dan pada akhirnya, kitab ini ia selesaikan sebanyak 12 jilid (Ghofur, 2008).
Sistematika yang digunakan Al-Qāsimī dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan sistematika mushafi yang disusun berdasarkan urutan mushaf. Ia menjelaskan ayat diawali dengan Surat Al-Fātihah hingga surat yang terakhir yaitu Surat An-Nās (Nisa dan Hidayat, 2015). Karena keterpengaruhannya dengan Muhammad Abduh, Al-Qāsimī terinspirasi menulis tafsirnya bercorak ilmi (Al-Qasimi, 1957).
Sebenarnya, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Al-Qāsimī tidak memiliki kecenderungan tertentu untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara mutlak. Akan tetapi secara garis besar tafsir ini cenderung mengandung tiga corak, yaitu; corak fiqhi, ilmi, dan teologis (Nasrullah, 2013).
Namun demikian Al-Qāsimī tidak mengabaikan personality dan ijtihad-ijtihad pribadinya. Bahkan selain meng-counter beberapa pendapat para mufasir, ia juga membantah beberapa penafsiran yang cenderung tidak sesuai dengan pemikirannya (Al-Muhtasib, 1997).
Misal ketika ia membantah pendapat Mu’tazilah dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 48 mengenai tidak diterimanya syafaat orang yang durhaka kepada Allah SWT. Ia menjelaskan bahwa konteks ayat tersebut ditujukan dan dikhususkan kepada orang-orang kafir sehingga bermakna bahwa Allah SWT tidak menerima syafaat orang-orang yang kafir kepada-Nya (Al-Qasimi, 1957). []