Mubadalah.id – Dalam beberapa catatan hadis, Nabi Muhammad Saw melarang kepada para suami, bahwa janganlah kalian melakukan praktik ‘azl (penarikan penis dari vagina sebelum terjadi ejakulasi) tanpa izin istri.
Larangan praktik ‘azl tanpa izin istri itu merujuk pada teks hadis yang diriwayat Umar bin Khattab Ra. Isi hadis tersebut sebagai berikut :
Umar bin Khathab Ra berkata, “Nabi Muhammad Saw. melarang praktik ‘azl tanpa seizin (istri) perempuan merdeka. (Sunan Ibnu Majah).
Dalam teks ini, menurut Faqihuddin Abdul Kodir seperti di dalam buku 60 Hadis Shahih, Nabi Muhammad Saw menuntut suami untuk meminta izin kepada istrinya sebelum melakukan praktik tersebut. Sebab, praktik ‘azl bisa mencederai keinginan istri untuk menikmati seks.
Izin tersebut diperlukan karena aktivitas seks tidak hanya menjadi hak suami, tetapi juga hak istri. Dengan demikian, menikmati aktivitas seks adalah hak bersama. Sehingga, istri juga berhak menuntut untuk memperoleh hak ini.
Izin di sini dapat kita pahami secara komprehensif dan resiprokal, adalah ungkapan tentang prinsip kesalingan, yaitu satu pihak dalam sebuah pasangan harus memperhatikan keinginan dan kebutuhan pihak lain.
Jika teks di atas berbicara mengenai kebiasaan ibadah perempuan yang bisa mengganggu kebutuhan seks suaminya, maka teks ini berbicara mengenai kebiasaan laki-laki individualis yang hanya mementingkan aktivitas seksnya untuk memuaskan diri sendiri semata.
Kesalingan Dalam Hubungan Seksual
Terlebih, jika pernikahan kita pahami sebagai pertemuan dua pihak, laki-laki dan perempuan, untuk membangun dan menikmati kehidupan secara bersama. Maka kesalingan dalam hubungan seksual adalah sesuatu yang niscaya.
Prinsip kesalingan ini, sudah al-Qur’an tegaskan, dengan ungkapan “suami adalah pakaian istri dan istri adalah pakaian suami” (QS. al-Baqarah 2 : 187).
Jadi, sangat tidak beralasan jika ada suami yang masih egois dan individualis dalam hal aktivitas seks dengan istrinya. Ia hanya meminta dan menuntut pelayanan seks. Dan ia akan berhenti cepat ketika sudah memperoleh kepuasan. la membiarkan istrinya tidak terpuaskan, bahkan menolak jika istri mintanya.
Anehnya egoisme laki-laki ini seringkali mengatasnamakan fatwa-fatwa agama dalam fiqh klasik yang memandang hak suami adalah seks, dan hak istri adalah nafkah.
Dalam ungkapan lain, kewajiban suami adalah memberi nafkah, dan kewajiban istri adalah melayani seks suami. Tentu saja, pandangan ini harus kita sudahi. Jika kita yakin bahwa pernikahan islami adalah ikatan antara dan untuk dua pihak, laki-laki dan perempuan, untuk saling melayani dan saling menikmati kehidupan perkawinan. Kesalingan ini meniscayakan untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. []