Mubadalah.id – Mubadalah secara bahasa berarti kesalingan dan kerjasama. Dalam relasi gender, perspektif Mubadalah kita definisikan sebagai prinsip yang memandang laki-laki dan perempuan sebagai subjek setara. Di mana kemaslahatan hidup harus kita lakukan, dan kita capai keduanya secara kesalingan dan kerjasama. Begitupun kemudaratan, atau keburukan. Hidup harus kita hindarkan dari mereka berdua, dan keduanya tidak boleh menjadi pelaku maupun korban.
Ketika kemaslahatan zakat adalah untuk memenuhi kebutuhan yang miskin, lemah, dan membutuhkan. Maka baik laki-laki maupun perempuan harus benar-benar bisa berperan dan terlibat secara aktif dan setara dalam pengelolaan zakat. Baik sebagai pemberi zakat (muzakki), penerima zakat (mustahiq), maupun pengelola zakat (amil). Hal ini menjadi niscaya agar kemaslahatan zakat benar-benar terwujud secara kongkrit dalam kehidupan nyata, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
3 Prinsip Mubadalah
Untuk menerjemahkan prinsip mubadalah di atas, yang utama adalah menjamin bahwa perempuan memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam hal pengelolaan dana zakat, pembayaran zakat, penerimaan zakat, dan partisipasi dalam badan pengelola zakat.
Pertama, dalam hal pembayaran zakat, perempuan harus memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam hal bekerja, upah layak, dan kepemilikan harta sebagai syarat berzakat. Begitupun hal-hal teknis pembayaran zakat. Seperti pengetahuan tentang kewajiban zakat, perhitungan zakat, dan kemampuan untuk membayar zakat.
Dalam hal ini, narasi Islam tidak boleh melarang dan menghalangi perempuan bekerja, hanya karena mereka adalah perempuan. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga zakat harus memastikan bahwa informasi dan panduan tentang zakat tersedia dan mudah perempuan akses. Selain itu, memastikan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk menghitung dan membayar zakat mereka sendiri jika mereka memilih untuk melakukannya.
Kedua, dalam hal penerimaan zakat, perempuan yang membutuhkan harus memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam hal mendapatkan zakat. Hal ini harus dilakukan tanpa diskriminasi gender. Perempuan harus kita berikan bantuan yang sama dengan laki-laki jika mereka memenuhi kriteria untuk menerima zakat.
Membaca Kebutuhan Khas Perempuan
Kebutuhan-kebutuhan perempuan, yang nyata ada dan bisa berbeda dari laki-laki, harus kita kenali dan menjadi daftar pembayaran (tasharruf) zakat. Seperti perempuan orang tua tunggal, perempuan pekerja rumah tangga, perempuan korban kekerasan rumah tangga dan seksual, perempuan korban perdagangan orang, perempuan yang terdiskriminasi dari akses beasiswa, dan banyak lagi kondisi sosial yang berpotensi memiskan, atau sudah, memiskinkan perempuan.
Ketiga, dalam hal badan pengelola zakat, perempuan harus memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan dana zakat. Ini dapat dicapai dengan memastikan bahwa perempuan terwakili dalam badan pengelola zakat dan memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam hal informasi, pelatihan, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan tugas mereka.
Hal ini penting agar kebutuhan-kebutuhan khas perempuan, yang bisa jadi tidak ada dalam daftar kebutuhan umum yang biasanya didefinisikan laki-laki, bisa lahir dan muncul menjadi kebijakan badan amil zakat.
Dengan menerapkan ketiga prinsip mubadalah di atas, pengelolaan dana zakat dapat menjadi lebih inklusif dan adil. Memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam upaya untuk membantu mereka yang membutuhkan. Pada saat yang, ketiga prinsip di atas, menjadi implemnetasi dari wasiat Nabi Saw untuk berbuat baik pada perempuan (Sunan Ibn Majah, no. 1924).
5 Kegiatan Kongkrit
Untuk menerjemahkan tiga prinsip mubadalah di atas, beberapa langkah perlu menjadi kegiatan kongkrit untuk memastikan perempuan dan laki-laki benar-benar memperoleh kemaslahatan zakat. Setidaknya, ada lima langkah, sebagaimana penjelasan berikut ini:
Pertama adalah penting sekali kegiatan yang berbentuk edukasi dan informasi mengenai zakat. Kegiatan ini harus menyasar secara jelas dan nyata kepada laki-laki dan perempuan. Karena problem sosial yang sering melupakan perempuan, lembaga zakat harus secara sengaja dan sadar memastikan sejuah mana perempuan telah terlibat dalam kegiatan edukasi dan sekaligus memperoleh informasi darinya.
Pada kondisi tertentu, lembaga zakat harus memberikan edukasi dan informasi yang berbeda dan khas bagi kebutuhan perempuan, yang mudah diakses dan dipahami oleh perempuan mengenai kewajiban zakat, perhitungan zakat, dan cara membayar zakat.
Kedua, melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat para perempuan menjadi pembayar zakat yang aktif. Mulai dari kerja-kerja kultural untuk menghapuskan segala penghalang perempuan bisa bekerja. Memperoleh upah layak, dan dapat memiliki harta kekayaanya secara kongkrit. Termasuk juga, kerja-kerja struktural mengadvokasi kebijakan pemerintah dan perusahaan untuk hal tersebut.
Termasuk juga memfasilitasi pembayaran zakat oleh perempuan. Lembaga zakat harus memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam hal pembayaran zakat. Misalnya dengan memberikan opsi pembayaran zakat online atau melalui transfer bank. Hal ini dapat memudahkan perempuan untuk membayar zakat tanpa harus keluar dari rumah, atau menghadapi kesulitan lainnya.
Ketiga, memprioritaskan kebutuhan perempuan dalam penerimaan zakat. Lembaga zakat harus memastikan bahwa perempuan yang membutuhkan mendapatkan zakat dengan cara yang sama dengan laki-laki, tanpa adanya diskriminasi gender.
Memprioritaskan Kebutuhan Perempuan
Dalam hal ini, lembaga zakat dapat memprioritaskan kebutuhan perempuan. Seperti memberikan zakat kepada perempuan yang menjadi kepala rumah tangga, perempuan orang tua tunggal, perempuan pekerja rumah tangga, perempuan korban kekerasan rumah tangga dan seksual, perempuan korban perdagangan orang, perempuan yang terdiskriminasi dari akses beasiswa, dan yang lain.
Keempat, membuat badan pengelola zakat yang inklusif gender dengan memastikan minimal proporsi 70:30 laki-laki dan perempuan. Lembaga zakat harus memastikan bahwa badan pengelola zakat terdiri dari perempuan dan laki-laki secara proporsional, dan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal pengambilan keputusan dan pengelolaan dana zakat. Proporsi 70:30, laki-laki dan perempuan, adalah langkah afirmasi awal untuk menuju yang lebih proporsial sesuai dengan kebutuhan pengelolaan dana zakat.
Kelima, mendorong partisipasi aktif perempuan dalam pengelolaan zakat. Lembaga zakat dapat mendorong partisipasi aktif perempuan dalam pengelolaan dan penggunaan dana zakat. Dalam hal ini, lembaga zakat harus memastikan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memegang posisi penting dalam badan pengelola zakat, seperti posisi ketua atau bendahara.
Hal tersebut bisa memulai berbagai kegiatan. Di antaranya dengan memberikan pelatihan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan tugas-tugas pengelolaan zakat yang baik, penggunaan dana zakat yang produktif dan konsumtif bagi para perempuan penerima zakat, serta pelatihan sadar zakat bagi para perempuan kaya yang berkewajiban bayar zakat.
Dengan tiga prinsip dan lima langkah kongkrit itu, zakat sebagai lembaga filantropi Islam akan secara nyata memberikan keadilan bagi laki-laki dan perempuan Yaitu, dengan mengambil zakat dari yang berkewajiban, menyerahkan kepada mereka yang benar-benar berhak. Memastikan dana zakat benar-benar sampai kepada mereka yang paling lemah secara sosial dan paling membutuhkan secara ekonomi. Wallahu a’lam. []