Mubadalah.id – “Tapikan bisa mencari nafkah yang tanpa harus melepas cadar”. Ini merupakan sepenggal cuitan dari salah seorang netizen di kolom komentar postingan akun berita. Di mana mereka menarasikan kabar Inara Rusli yang melepas cadar. Cuitan ini sontak memacu ingatan saya pada peristiwa serupa di tahun 2019 silam.
Cadar, Dunia Kerja, dan Titik Balik Kehidupan Saya
Sebagai sarjana baru di tahun itu, saya mulai overthinking dengan dunia kerja seperti apa yang akan saya jalani. Saya lulusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di salah satu perguruan tinggi negeri Islam di kota saya. Yang sudah sejak duduk di bangku semester satu, telah mengakrabkan diri dengan berbagai celotehan orang terkait jenis pekerjaan apa yang sesuai dengan jurusan yang tidak populer ini.
Barang tentu, motivasi orang untuk berkuliah agar bisa bekerja, menghasilkan uang, dan mandiri secara finansial. Tujuan ini tidak buruk. Hanya saja, alasan ini kemudian seolah menjadi tujuan satu-satunya ketika seseorang memutuskan untuk berkuliah. Sementara, menimba ilmu di perguruan tinggi, itu hanya kita anggap sebagai alasan klise yang terlampau idealis dan tidak cukup realistis.
Dan celakanya, tujuan awal saya memilih jurusan ini memang semata-mata untuk menimba ilmu. Sekali-kali tak terpikir soal prospek pekerjaan, terlebih jenjang karir yang jamak teman-teman saya pikirkan ketika memutuskan untuk berkuliah.
Namun, karena kesenangan saya adalah mengajar, sehingga Ibu saya berinisiatif untuk memberi jawaban ketika beberapa orang di keluarga menanyakan pekerjaan saya kelak apa, dengan konsentrasi bidang ilmu yang sedang saya geluti ini.
“Oh iya, nanti Ainun setelah kuliah akan mengajar.” Seperti itulah jawaban Ibu ketika mendapati saya cukup kelimpungan untuk menjawab pertanyaan dari tante, om, maupun sepupu-sepupu saya. Jadilah, jawaban Ibu hari itu saya realisasikan setelah menempuh pendidikan kurang dari empat tahun di bangku kuliah.
Melepas Cadar Bukanlah Keputusan yang Mudah
Mula-mula, saya cukup percaya diri melamar pekerjaan di sekolah ini. Selain karena, spesifikasi keilmuan saya yang dibutuhkan di sekolah ini. Toh, sekolah ini juga berbasis Islam yang tentu bisa menerima identitas berpakaian saya yang seperti ini (cadar). Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Cadarku mereka cegat. Tidak boleh berada di lingkungan sekolah. Ambruk ekspektasiku.
Kurang lebih seminggu waktu yang saya gunakan untuk merenung, dan mempertimbangkan, apakah akan melepas cadar demi pekerjaan yang sesuai dengan yang saya harapkan. Atau tetap menggunakan cadar, tetapi bekerja di tempat yang tidak sesuai dengan harapan. Ya, saya sebenarnya punya pilihan lain waktu itu. Tetapi, mengajar di tempat yang jelas-jelas saya ketahui tidak akan sejalan dengan pola pikirku yang cukup terbuka, sepertinya saya akan lebih kesulitan.
Kuputuskan, tetap memilih opsi pertama yaitu, sekolah yang melarangku bercadar, tetapi jelas tidak akan bersebrangan dengan pemikiranku. Namun, pertanyaan itu tetap menggelayuti pikiranku “lepas atau tidak?”
Hal ini lalu mengantarkan saya pada beberapa bacaan terkait sejarah jilbab yang banyak di tulis oleh Sumanto Al-Qurtuby, salah seorang cendikiawan Islam yang memang banyak membahas terkait sejarah pakaian perempuan sejak pra Islam. Hingga ku-kunyah beberapa artikel dan penelitiannya yang bertebaran di beberapa laman media online.
Refleksi tentang Identitas Pakaian Perempuan
Adapun, judul-judul terkait seperti, “Jilbab Itu Tidak Penting” (2017). “Hijab Itu Syariat Yahudi” (2019) yang ia posting di websitenya sendiri. “Manipulasi Ajaran Islam Perihal Jilbab” (2022). Dan beberapa artikel menohok lainnya tentang jilbab.
Lalu, setelah membaca artikel-artikel di atas saya mulai berefleksi kembali terkait identitas berpakaian yang saya pilih yaitu, cadar. Namun, saya masih saja merasa gelisah. Sehingga, saya kembali mengkonsultasikan hal ini kepada salah seorang guru saya yang juga seorang profesor di bidang pemikiran Islam. Sebelumnya, kami telah banyak berdiskusi tentang sejarah pakaian di masa pra Islam dalam pertemuan di kelas-kelas yang diampuhnya.
Dan, ketika saya menanyakan secara pribadi terkait kegelisahan perihal melepas cadar atau tidak. Dia kemudian menanyakan kembali terkait pemahaman saya tentang cadar yang ia ketahui sudah membaharu sejak bergumul dengan tulisan-tulisan Sumanto Al-Qurtuby, dan beberapa literatur dari cendikiawan Islam lainnya yang sudah sering dipertajam dalam diskusi-diskusi kami di kelas.
Belum juga kujawab pertanyaan yang dilontarkan tadi, ia lalu menimpali dengan kalimat ini, “Kamu tidak perlu menjawab Ainun, biarkan ini menjadi renunganmu. Dan apapun keputusanmu nanti, upayakan itulah yang paling kamu yakini sebagai sesuatu yang tepat untuk dilakukan.
Bekerja itu penting, membantu orang tua itu sangat baik. Jika kamu memahami cadarmu hari ini cukup sebagai model busana yang kamu pilih, tidak lagi terikat pada dogma tertentu, maka tidak mengapa jika harus menaanggalkannya dulu”. Begitualah memori saya ketika menyimpulkan nasihatnya, yang seingatku cukup panjang. Di mana, sebelumnya saya bercerita tentang kondisi keluarga dan beberapa hal terkait cadar.
Dilema Melepas Cadar
Dari situ, akhirnya saya mengambil keputusan yang cukup berat yaitu, menjalani dua identitas yang berbeda. Di mana, ketika di sekolah saya dikenal Ainun yang tidak bercadar. Sedang di luar dari pada urusan sekolah, saya tetap memeluk identitas awal saya sebagai perempuan bercadar.
Kondisi yang cukup berbeda dengan Inara Rusli yang memilih terus membuka. Karena, memang jenis pekerjaan yang digeluti berbeda. Namun, pergumulan kami tentang bertahan dengan cadar, atau melepas untuk pekerjaan bisa dibilang serupa. Ini bukan perkara mudah.
Jika dengan entengnya orang-orang memberi komentar jika yang terpaksa melepas jilbab atau melepas cadar karena alasan pekerjaan, itu merupakan tindakan yang ceroboh, kurang iman, dan dituduh menggadaikan akhirat demi harta dunia. Saya rasa, itu keliru.
Inara Rusli dan beberapa orang yang terpaksa mengambil jalan serupa, tentu merasa berat melakukannya. Terlebih, jika ia menganggap cadar yang ia kenakan sudah menjadi bagian dari diri dia. Meskipun ada hukum yang membolehkan.
Tetapi perasaan berat itu tidak terkait soal boleh atau tidak. Memang ada perasaan khusus yang diderita oleh mereka yang lagi-lagi– saya ulangi adalah orang-orang yang dirinya sudah terlanjur “menyatu” dengan cadar itu sebagai identitas yang ia pilih. (bersambung)