• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Membaca Sastra Novel Kambing dan Hujan: Mengikis Perbedaan demi Kemaslahatan

Membaca Novel Kambing dan Hujan, karangan Kang Mahfud Ikhwan membuat saya sangat penasaran hingga terus membacanya sampai khatam

Shella Carissa Shella Carissa
23/06/2023
in Buku
0
Novel Kambing dan Hujan

Novel Kambing dan Hujan

926
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tersebutlah Mif, seorang anak dari tokoh agama kalangan kaum pembaharu yang mencintai Fauzia. Di mana ia merupakan putri seorang tokoh agama terpandang dari kalangan kaum Islam tradisional.

Namun, perbedaan praktik keagamaan keduanya, serta persaingan antara Masjid Utara dan Selatan menghambat niat baik mereka untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Terlebih kedua orang tua mereka yang sangat bertolak belakang dalam paham keagamaan.

Membaca Novel Kambing dan Hujan, karangan Kang Mahfud Ikhwan membuat saya sangat penasaran hingga terus membacanya sampai khatam. Saya yang biasanya merasa agak bosan dengan novel bertema romansa islami menjadi antusias saat membaca Novel Kambing dan Hujan ini.

Judul novel Kambing dan Hujan yang unik kerapkali menimbulkan tanya, “Kambing dan Hujan? Bagaimana analoginya? Seperti apa ceritanya?” Meski dengan pola sastra sederhana, namun ceritanya ternyata lebih menarik. Di mana para tokohnya berani mengambil resiko dengan mencoba menerima perbedaan demi kemaslahatan bersama dalam satu Desa yang bernama Desa Centong itu.

Dengan alur maju-mundur dan latar yang juga maju-mundur, antara tahun 1960-an dan tahun 2000-an, Kang Mahfud menceritakan secara rinci sejarah mengenai perbedaan akidah dan paham keagamaan yang terjadi di Desa Centong.

Baca Juga:

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

Berawal dari datangnya seorang pemuda asli Desa Centong bernama Cak Ali yang merantau. Lalu pulang membawa pemahaman keagamaan yang terbilang modern, hingga perseteruan dua sahabat karib bernama Muk dan Is. Di mana, satunya masih mengikuti Islam Tradisional dan satunya terbawa ajaran modern Cak Ali.

Islam Modern vs Islam Tradisional

Saya menarik satu kesimpulan bahwa ajaran islam modern memang mulanya ingin memperbaiki apa-apa yang tidak ada di zaman Rasulullah. Yakni dengan maksud meluruskan hal-hal yang kita anggap melenceng dalam praktik keagamaan.

Namun Islam Tradisional lebih rasionalitas, dan masih menerapkan ajaran tradisi nenek moyang terkait dakwah lewat budaya sebagaimana Sunan Kalijaga. Seperti tahlil, pewayangan, dan selawat atau puji-pujian sebelum adzan berkumandang.

Apa yang Is dari Cak Ali ikuti adalah lantaran Is yang tidak bersekolah tinggi atau mesantren. Berbeda dengan Muk yang merupakan keluarga orang berada dan bisa menempuh pendidikan pesantren dengan Ahlussunnah wal Jamaahnya, sehingga tak heran jika pada akhirnya Is beserta rekan-rekan penggembalanya mengelukan ajaran Cak Ali.

Sementara Muk dan sebagian warga centong mengabaikannya karena masih bertekad untuk melestarikan ajaran tradisional dan manut ulama-ulama salafiyah. Yakni dengan kitab-kitab kuning klasiknya. Berbagai pertikaian lantaran perbedaan tersebut pun kerapkali terjadi di Desa Centong yang mulanya damai itu.

Memang sebagian besar novel mengisahkan sejarah antara persahabatan Is dan Muk, hingga keduanya berseteru lantaran perbedaan tersebut. Bahkan dalam waktu singkat keduanya saling bersaing dalam memimpin jamaah masing-masing yang disebut Masjid Utara dan Masjid Selatan, dengan dua hari raya yang berbeda. Keduanya pernah sedekat nadi, sebelum akhirnya sejauh matahari.

Perbedaan Cara Beribadah

Lantaran perbedaan itu, Mif dan Fauzia mulanya menganggap bahwa perbedaan cara pengamalan ibadah keduanya yang menjadi penghambat. Namun ternyata semuanya berdasarkan masa lalu antara Muk dan Is, ayah Fauzia dan Mif. Namun setelah berusaha meluluhkan hati masing-masing bapak mereka, akhirnya benteng itu dapat mereka robohkan.

Yang membuat saya penasaran adalah, ketika keduanya berhasil menikah, hal apa yang membuat Pak Muk dan Pak Is menjadi luluh? Ternyata, setelah terus membaca, semuanya bukan lantaran karena ego masing-masing yang berhasil diluruhkan, melainkan sikap toleran antara Pak Muk dan Is, yang saling mengungkapkan bahwa pada dasarnya, mereka tidak saling mengingkari akidah keagamaan masing-masing. Selain itu, karena lekatnya perbedaan tersebutlah yang memicu pandangan masyarakat Centong tentang siapa yang lebih baik.

Keduanya bersepakat untuk menghancurkan paradigma perbedaan tersebut dengan saling merestui untuk menikahkan Fauzia dan Mif. Meskipun ada perbedaan antara keduanya, bagaimanapun semuanya sama-sama warga Centong, sehingga kedua tokoh tersebut merasa bertanggung jawab terkait perbedaan yang ada, namun sebisa mungkin jangan sampai menimbulkan perseteruan.

Berani Mengambil Resiko

Dari pengungkapan sederhana tersebut saya kemudian merasa takjub kepada Pak Muk dan Pak Is yang berani mengambil resiko. Yakni dengan ngunduh mantu dari orang yang berbeda penerapan keagamaannya.

Kemudian tentunya akan menjadi buah bibir masyarakat terkait, “Lho, jadi gimana, toh, Pak Is, ini, katanya gak boleh Qunut, lha anaknya itu, ikut qunut sama keluarga mantunya?” atau, “Pak Muk, ini, kok ngambil mantu si Mif, yang kalo salat gak baca qunut, gimana nanti ngimamin Masjid Selatannya?”

Nyatanya ketakutan tersebut sifatnya relatif, dalam artian butuh proses untuk memahamkan masyarakat bahwa tidak semua yang berbeda dengan kita itu buruk. Selain itu, karena memang antara Pak Muk dan Pak Is ingin mengembalikan Desa Centong yang tanpa perseteruan seperti puluhan tahun silam.

Meski sekarang ada perbedaan yang terjadi, dalam artian mengaburkan ego dan gengsi masing-masing demi terciptanya kemaslahatan dalam bermasyarakat dan bersikap toleran dalam beragama. Sehingga, ketika akhirnya Mif dan Fauzia jadi menikah, saya pun salut akan perjuangan keduanya untuk memperoleh restu. Tanpa memandang perbedaan yang kentara antarkeduanya, serta berani mengambil keputusan untuk saling mengikat dalam jenjang yang lebih serius bernama rumah tangga. []

Tags: agamakeberagamanMahfud IkhwanmanusiaNovel Kambing dan HujanReview Buku
Shella Carissa

Shella Carissa

Masih menempuh pendidikan Agama di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy dan Sarjana Ma'had Aly Kebon Jambu. Penikmat musik inggris. Menyukai kajian feminis, politik, filsafat dan yang paling utama ngaji nahwu-shorof, terkhusus ngaji al-Qur'an. Heu.

Terkait Posts

Herland

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

16 Mei 2025
Neng Dara Affiah

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

10 Mei 2025
Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Falsafah Hidup Penyandang Disabilitas dalam “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”

25 April 2025
Buku Sarinah

Perempuan dan Akar Peradaban; Membaca Ulang Hari Kartini Melalui Buku Sarinah

23 April 2025
Toleransi

Toleransi: Menyelami Relasi Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagaman

23 Maret 2025
Buku Syiar Ramadan Menebar Cinta untuk Indonesia

Kemenag RI Resmi Terbitkan Buku Syiar Ramadan, Menebar Cinta untuk Indonesia

20 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version