Mubadalah.id – Sudah bukan rahasia lagi, bahwa kekerasan seksual di lingkup organisasi menjadi permasalahan yang sering terjadi. Apalagi, dalam organisasi kaderisasi yang notabenenya memperbanyak jumlah anggota, sangat mungkin terdapat anggota yang masih berpandangan patriarki dan tidak memahami pentingnya perspektif gender.
Hal ini bahkan bisa berlaku pada organisasi yang berbasis keagamaan, karena tidak semua individu yang bergabung dalam organisasi tersebut benar-benar menerapkan nilai-nilai agama dengan baik.
Seperti pengalaman saya, malam-malam saya ditelepon seorang teman, ia memberikan sebuah kabar. Ternyata, ada seorang pelaku kekerasan seksual di dalam organisasi ‘X’, yang menyebabkan korban mengalami trauma dan memilih untuk tidak lagi aktif di dalam organisasi tersebut.
Kebetulan saya sendiri juga merupakan anggota dari organisasi tersebut, sehingga teman saya mengajak untuk membicarakan langkah-langkah yang perlu kami ambil. Yaitu memberikan surat peringatan kepada pelaku dan mengeluarkannya dari organisasi.
Tentu saja, saya sepakat dengan itu! Karena di situasi seperti ini, selalu ada dua pilihan yang harus segera kita putuskan, ‘pilih korban atau pelaku? Tentu dengan tegas kita memilih korban! Karena korban tidak bersalah dan tidak seharusnya mereka yang bertanggung jawab atas dosa-dosa pelaku. Apalagi jika kita kekeh mempertahankan pelaku, resiko kehadiran korban-korban selanjutnya sangat besar.
Tibalah Hari Pembalasan
Suatu malam, di ruangan yang tidak terlalu besar, saya dan empat teman lainnya bertemu dengan pelaku. Ia menunjukan wajah yang tenang, seolah tanpa dosa, bahkan masih bisa tersenyum. Meskipun marah bercampur bingung, saya mencoba menyembunyikan perasaan tersebut di balik wajah yang tenang juga, meski sebenarnya kemarahan telah menguasai pikiran saya dengan pertanyaan, bagaimana bisa dia (pelaku) begitu santai?
“Saya merasa tidak menjadi pelaku kekerasan seksual” tegasnya. Ia berpendapat bahwa Surat Somasi yang ia terima kurang informatif, karena tidak menjelaskan identitas korban yang terlibat. Menurutnya, seperti kasus kriminal lainnya, misalnya pencurian, di mana nama-nama korban terpampang. “Saya jadi tidak bisa mengidentifikasi kesalahan saya, karena korbannya gak jelas” pungkasnya.
Kami terdiam sejenak, kemudian saya bertanya, “Sebelumnya, apakah kamu pernah belajar tentang kekerasan seksual?”, “Pernah sedikit”, jawab pelaku. Saya kemudian menjelaskan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual tidak dapat disamakan dengan kasus kriminal lainnya.
Dalam kasus kekerasan seksual, penting bagi korban untuk memiliki kendali atas pengungkapan identitas mereka. Karena ketika identitas korban terbuka, ia harus siap menghadapi stigma yang ada, yang tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi mental. Dan faktanya tidak semua korban siap menghadapi konsekuensi tersebut. Oleh karena itu, kita harus memberikan dukungan dan penghargaan atas privasi mereka.
“Ok, tapi tetap saya tidak merasa menjadi pelaku” tegasnya untuk kesekian kalinya. Lalu saya bertanya kembali, “memang definisi kekerasan seksual yang kamu pahami seperti apa?”. Pelaku menjawab, “menurut saya, tindakan kekerasan seksual adalah ketika terjadi pemaksaan dalam berhubungan seksual.”
Memahami Definisi Kekerasan Seksual
Dengan penjelasan tersebut, lantas saya merespon, “Ah, jadi begitu! Pantesan kamu tidak merasa menjadi pelaku, ternyata belum sepenuhnya memahami apa itu kekerasan seksual”. Saya pun menegaskan bahwa definisi kekerasan seksual jauh lebih luas, tidak hanya terbatas pada pemaksaan dalam berhubungan seksual.
Menurut Komnas Perempuan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya terhadap tubuh terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa.
Di mana hal itu bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Penyebabnya karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain. Hingga berakibat pada penderitaan atau kesengsaraan terhadap korban secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan/atau politik.
“Intinya, kekerasan seksual adalah kontak seksual yang tidak dikehendaki oleh salah satu pihak”, tegas saya. Pelaku tetap berusaha membela diri, “Tapi kan, saya hanya memegang tangannya, tidak melakukan hal yang fatal”. Seorang teman sontak menanggapi, “memang betul hanya pegang tangan? Karena menurut korban tidak seperti itu”. Seperti biasa, pelaku tetap memasang wajah santai.
Tidak Ada Istilah ‘Cuma’ dalam Tindakan Kekerasan Seksual
Menurut saya, tidak ada istilah ‘hanya’ atau ‘cuma’ dalam konteks tindakan kekerasan seksual. Setiap tindakan kekerasan seksual, apa pun bentuknya, memiliki dampak yang serius, dan melawan hak individu. Tidak peduli seberapa kecil atau seberapa besar tindakan tersebut, penting untuk memahami bahwa setiap pelanggaran terhadap batas-batas pribadi dan integritas seseorang tidak dapat kita remehkan.
Tindakan seperti memegang tangan seseorang tanpa izin merupakan suatu bentuk pelanggaran dan perampasan hak atas tubuh dan privasi seseorang. Apalagi dalam situasi di mana hubungan antara pelaku dan korban masih baru, di mana saling mengenal pun belum sepenuhnya terikat. Dalam setiap bentuk kontak fisik, persetujuan/consent adalah hal yang mutlak kita perlukan.
Consent berarti mendapat izin yang jelas dan sukarela dari semua pihak yang terlibat sebelum melakukan tindakan fisik atau seksual apa pun. Tanpa persetujuan/konsensus, tindakan tersebut dianggap melanggar batas dan kehendak individu, dan dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual.
Kata “Maaf” tidak Bisa Menyembuhkan Luka Korban
“Jadi bagaimana, apakah kamu sudah merasa menjadi pelaku kekerasan seksual?” pungkas pertanyaan saya, “iya saya merasa, dan minta maaf” jawabnya. Lalu saya menjelaskan bahwa ‘kata maaf’ tidak akan menyembuhkan trauma korban, pelaku harus menerima banyak konsekuensi logisnya, salah satunya dikeluarkan dari organisasi ini.
Pelaku akhirnya menerima keputusan kami, namun dengan syarat bahwa pihak-pihak yang mengetahui kasus ini harus menjaga dan membersihkan nama baiknya. Tentu saya sangat kesal! Tidak habis pikir, si pelaku masih memikirkan ‘nama baiknya’, padahal korban masih berusaha sembuh dari trauma dan kesempatan untuk hidup tentram bisa terancam.
Dari sini, kita belajar bahwa ketika pelaku kekerasan seksual tidak merasa bahwa dia ‘pelaku’, bisa jadi karena dia tidak paham kekerasan seksual itu bagaimana. Sehingga dia mengkategorikan tindakan kekerasan seksual yang ia lakukan pada kategori wajar, hal ini sangat bahaya! Maka, edukasi terkait kekerasan seksual ini sangat penting untuk setiap individu. Kapanpun, dam di manapun kita berada. []