Mubadalah.id – Cobalah pergi ke pasar, di sana kita akan sangat mudah melihat ibu-ibu yang berdagang. Di rumah mereka, “mungkin” bapak-bapak juga kadang menyuci baju, dan sesekali ikut membantu memasak di dapur. Dalam realitas di akar rumput, bapak-bapak yang terlampau malas membantu kerja rumah tangga, ya bisa-bisa kena omel sama ibu-ibu.
Fenomena di akar rumput, menunjukkan kalau pembagian kerja suami-istri di ruang domestik dan publik bagi masyarakat Nusantara itu tidak kaku. Perempuan di akar rumput terbiasa mencari penghasilan di luar rumah, dan laki-laki menyuci serta memasak juga menjadi hal yang biasa saja.
Orang-orang di akar rumput terbilang tidak begitu memusingkan pembagian kerja domestik-publik. Sebab, bagi mereka yang utama adalah kebutuhan keluarga terpenuhi.
Sejarah Kekakuan Pemisahan Ruang Domestik dan Publik
Pasca-Perang Dunia II, dalam masyarakat Barat, kembalinya laki-laki dari medan perang memaksa perempuan untuk undur ke ruang domestik. Sebab, para lelaki yang baru kembali dari “membela negara” di garis depan butuh pekerjaan. Maka, perempuan harus rela menyerahkan kerja-kerja publik, yang pada masa perang mereka kerjakan, kepada laki-laki.
Pada masa ini, berbagai takhayul tentang kefemininan perempuan mencuat. Hal itu untuk memuluskan pengharapan agar perempuan kembali bekerja di rumah saja.
Sebagaimana penjelasan Betty Friedan dalam The Feminine Mystique, “In the fifteen years after World War II, this mystique of feminine fulfillment became the cherished and self-perpetuating core of contemporary American culture (lima belas tahun setelah Perang Dunia II, takhayul tentang pemenuhan (peran) feminin menjadi penting dan inti pengabdian diri dari budaya kontemporer orang Amerika).”
“Moving back into the home (kembali ke rumah)” menjadi propaganda, agar perempuan meninggalkan ruang-ruang publik, dan membiarkannya kepada laki-laki saja. Perempuan ya cukup bekerja di rumah. Menjadi istri yang baik yang menyiapkan makanan untuk keluarga, melayani suami, merawat anak, dan berbagai ideal kefemininan bagi perempuan lainnya. Perempuan hanya perlu memenuhi feminitas yang menjadi ideal hidup mereka. Dan, tidak perlu mencitakan karir di ruang publik.
Kondisi tersebut menguatkan konstruksi sosial pembagian kerja ruang publik bagi laki-laki, dan ruang domestik bagi perempuan. Para feminis Barat, seperti Betty Friedan, menyadari bahwa konstruksi sosial yang patriarki ini, menghalangi kebutuhan dasar perempuan untuk tumbuh. Bahkan, juga menyakiti perempuan baik secara personal (jiwa) maupun profesional (aktualisasi diri).
Sejarah memengaruhi produksi pengetahuan. Latar historis pemaksaan perempuan untuk mundur ke ruang domestik, agar laki-laki menguasai ruang publik, menciptakan konstruksi pemikiran Barat yang secara kaku memisahkan ruang domestik dan publik. Dan, dalam kekakuan itu, kerja-kerja domestik terpandang sebagai pembelenggu perempuan, dan kerja-kerja publik nampaknya menjadi privilege bagi laki-laki.
Realitas dalam Sejarah Masyarakat Nusantara
Lantas, bagaimana sejarah pembagian ruang domestik dan publik dalam masyarakat Nusantara?
Semasa perang melawan penjajah, layaknya di belahan dunia yang lain, perempuan Nusantara umumnya memainkan peran menjaga desa. Dan, laki-laki pergi ke medan perang. Jadi, pada masa itu, sudah ada pembagian kerja yang terjadi; perempuan menjaga desa (sebut saja kerja domestik di garis belakang), dan laki-laki ke medan perang (kerja publik di garis depan).
Perlu kita catat, bahwa pembagian kerja tersebut berangkat atas kesadaran bersama. Jadi, bukan atas dasar penundukan pihak satu terhadap pihak lain. Kesamaan nasib terjajah, dan kesamaan cita-cita kemerdekaan, menjadikan dua pihak, laki-laki dan perempuan, menjalankan perannya masing-masing sebaik mungkin.
Namun pembagian kerja siapa yang berjuang di garis depan, dalam sejarah Nusantara, itu tidak kaku. Tidak selalu laki-laki semua yang maju ke garis depan, dan perempuan mempertahankan garis belakang. Perempuan pun dapat maju ke garis depan perjuangan. Oleh karena itu, dalam sejarahnya, kita akan sangat mudah menemukan sosok perempuan Nusantara yang ikut berperang langsung melawan penjajah.
Sedikit contoh di antaranya. Laksamana Malahayati dengan pasukan Inong Balee-nya berjuang melawan penjajah. Nyi Ageng Serang merupakan salah seorang pemimpin pasukan dalam Perang Diponegoro. Nurtina Gonibala Manggo bersama perempuan lainnya mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanah Bolaang Mongondow. Dan, masih banyak lagi perempuan lain yang berjuang di garis depan melawan penjajah.
Jadi sejak dahulu, dalam masyarakat Nusantara, sebenarnya tidak ada ideal baku pembagian kerja siapa di ruang publik, dan siapa di ruang domestik. Pengisian ruang-ruang kerja itu selalu dinamis, dan terjadi secara alami.
Dalam konteks perjuangan melawan penjajah, misalnya, siapa saja yang mampu mengamuk di medan perang, maka dia dapat terjun ke garis depan. Entah itu laki-laki atau perempuan ya maju saja. Yang terpenting adalah tujuan bersama dapat tercapai.
Sifat Paralel Ruang Domestik-Publik dalam Masyarakat Nusantara
Latar historis yang demikian menggambarkan kalau pembagian kerja keluarga, dalam masyarakat Nusantara, itu tidak kaku. Hal ini juga dapat kita lihat pada fenomena masyarakat di akar rumput.
Di mana, suami yang bekerja di luar tidak sepenuhnya terlepas dari beban kerja di rumah. Dan, istri yang bekerja di rumah juga bukan berarti tidak boleh bekerja di luar.
Oleh karena itu, dalam realitasnya di akar rumput, laki-laki lumrah saja kalau menyuci baju, dan ikut membantu memasak untuk makan bersama. Pun, melihat perempuan yang berjualan di pasar, bekerja di ladang, atau menjalankan kerja luar rumah lainnya, sudah menjadi umum dalam realitas di akar rumput.
Orang-orang di akar rumput tidak begitu memusingkan pembagian kerja domestik-publik. Sebab, bagi mereka yang utama adalah kebutuhan dasar keluarga dapat terpenuhi, dan rumah tangga berjalan harmonis. Hal ini menjadikan ruang domestik-publik dalam realitas Nusantara, itu bersifat paralel. Saling terhubung dalam upaya menyukseskan rumah tangga bersama.
Oleh karena itu, dalam konsep Nusantara yang demikian, seharusnya ruang domestik bukan alat untuk menyubordinasi perempuan, dan ruang publik bukan privilege bagi laki-laki. Kedua ruang berjalan secara paralel dan alami berdasarkan prinsip kerja sama dalam berpasangan. []