Mubadalah.id- Stereotype perempuan merupakan bentuk pelabelan secara negatif terhadap perempuan. Di kalangan Muslim Indonesia yang sangat religius, pelabelan ini kerapkali disandarkan pada dalil-dalil agama. Ketika dominasi teks agama yang masih bias bersambut dengan budaya yang masih patriarki, maka semakin menguatlah hal ini.
Pandangan seperti ini seperti halnya yang saya amati dalam lingkungan dan pengalaman selama ini. Saya terlahir dalam keluarga muslim yang sangat memegang kuat tradisi keislaman. Hampir seluruh keluarga besar abah saya merupakan lulusan pondok pesantren salaf dengan tradisi turats-nya yang sangat kental. Hampir semua hal akan berkiblat bagaimana pendapat ulama dalam kitab-kitab kuning, tentu saja yang dinilai mu’tabarah.
Pengalaman Masa Kecil
Ketika SD, saya hampir selalu menduduki peringkat 1 di kelas. Begitu pula dalam kegiatan seperti olimpiade atau cerdas cermat, guru kerap menunjuk saya untuk mewakili sekolah kala itu. Hasilnya, setidaknya saya pernah naik ke tingkat kabupaten mewakili kecamatan.
Berlanjut ke jenjang sekolah menengah pertama. Prestasi menjadi bintang pelajar bisa kuraih saat itu. Hal ini berlanjut hingga menamatkan studi di sana. Kala itu, saya turut aktif dalam organisasi OSIS, dan puncaknya saya diangkat menjadi wakil ketua dua. Pengalaman ini cukup membuatku bersemangat untuk melanjutkan studi. Apalagi di akhir masa studi, nilai terbaik untuk Ujian Akhir Nasional se kecamatan berhasil kuraih.
Dunia Pesantren
Studi selanjutnya cukup membuat saya deg-deg an. Bismillah, saya berangkat mondok di salah satu pesantren di Jombang. Di sana saya cukup bisa beradaptasi dengan lingkungan baru itu. Pesantren ini kebetulan memadukan pengajaran salaf (berbasis kitab kuning) dan pengajaran formal (berbasis kurikulum nasional).
Saya cukup senang belajar di pesantren. Sistem pesantren yang saya tempati masih memberikan akses yang luas bagi pengembangan pribadi santri perempuan. Tidak seseram yang saya bayangkan. Di pesantren lah, saya kemudian berjumpa dengan teks-teks yang saat itu membuat saya terjenak.
Bias Gender dalam Kitab Kuning
Di satu kesempatan, saya menyimak ustadz menyampaikan materi ketika mengaji salah satu kitab kuning, kurang lebih seperti ini “: seorang perempuan yang berjalan di depan laki-laki, maka setan akan duduk di atas kepalanya.”Penjelasan itu begitu terngiang-ngiang dan tak terlupakan, bahkan sampai sekarang.
Berdasarkan hal itu, saya selalu was-was jika sepulang sekolah atau ketika keluar pondok berpapasan dengan santri putra. Akankah setan akan datang untuk menggoda laki-laki yang berjalan di belakang.
Di lain kesempatan, dalam forum Bahtsul Masa’il. Muncul kembali pandangan keagamaan yang membuat saya terdiam. Saya lupa persoalan apa yang dibahas saat itu. Yang jelas masih berkaitan dengan hukum suara perempuan. Hanya satu yang saya ingat, ketika salah satu santri laki-laki yang hadir menyampaikan satu pandangan bahwa suara perempuan adalah aurat. Pandangan ini sangat kuat karena termaktub dalam hadis.
Pandangan-pandangan itu masih berkecamuk dalam pikiran. Tapi saya lebih memilih menerima sepenuhnya, karena itu berasal dari hadis, dari kitab kuning mu’tabarah.
Stereotype “Perempuan Nggak Perlu Sekolah Tinggi-Tinggi”
Segudang prestasi yang selama ini kuraih, tetap saja terasa masih kurang. Satu hal yang kemudian membuat diriku berpikir pesimis. Ada stereotype yang terlontar dari beberapa sanak keluarga, “perempuan setinggi-tingginya bersekolah, pasti ia kembali ke dapur.”
Ada pula yang berseloroh, “kenapa to harus kuliah, di Yogyakarta lagi”. Terlalu jauh mungkin ya, sehingga khawatir jika aku yang perempuan ini tidak bisa menjaga diri ketika di sana.
Sebelumnya, saya juga sempat melontarkan uneg-uneg ingin kuliah ke Mesir. Respon yang muncul, “perempuan kalau sekolah jangan jauh-jauh. Kalau laki-laki tidak apa-apa”.
Pun ketika memutuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang s2. Ada yang berseloroh, “kok sekolah tinggi-tinggi, nanti jodohnya susah loh”.
Islam Agama Ramah Perempuan
Momen ketika menempuh studi S1 di jurusan Tafsir Hadis cukup membukakan mata saya. Teks hadis di atas terkesan bias dalam melihat status perempuan, jika hanya dibaca secara tekstual semata. Maka perlu kiranya mempertimbangkan bagaimana konteks kemunculan hadis.
Bagaimana posisi Nabi ketika men-sabda-kan sebuah hadis. Apa maksud utama dari hadis, dan penting juga mempertimbangkan perkembangan realitas saat ini di mana makna hadis tersebut akan kita aktualisasikan.
Kegelisahan yang saya rasakan selama ini sedikit demi sedikit menghilang. Saya benar-benar meyakini sepenuhnya, bagaimana Islam sangat memuliakan perempuan. Islam juga memberikan posisi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sejalan dengan misi dari Islam sendiri, rahmatan lil ‘alamin.
Jadi pandangan yang meremehkan perempuan, itu bukan dari Islam, tapi dari pemahaman atas Islam yang bisa jadi salah.
Bagaimana Merubah Pandangan Stereotype terhadap Perempuan yang Terlanjur Mendarah Daging di Masyarakat?
Jika kemudian ada yang bertanya, bagaimana merubah pandangan masyarakat yang masih kurang menerima kesetaraan akses pendidikan bagi perempuan, atau masih memandang perempuan dengan stigma tertentu : emosional, kurang rasional, rentan menjadi fitnah, lebih baik di rumah, dan tidak perlu berpendidikan tinggi.
Jawabannya adalah, bersekolahlah setinggi mungkin!! Ikutilah beragam kegiatan yang bisa meningkatkan value kita sebagai perempuan. Abaikan dulu stereotype negatif maupun positif yang sekiranya menghalangi langkah kita untuk maju.
Tidak perlu terlalu ‘ngoyo’ untuk menjelaskan kepada orang lain soal ini. Biarkan mereka menilai dan merevisi pandangan mereka sesuai apa yang mereka lihat. Maka, mari berfokus menjadi pribadi yang lebih berkualitas. []