Mubadalah.id – QS. Al-Ahzab: 33 menjadi salah satu ayat yang kerap dijadikan legitimasi untuk melarang perempuan untuk berlebih-lebihan dalam berhias. Berdasarkan ayat tersebut, bermunculan banyak tulisan, maupun unggahan yang kesemuanya mengarah pada satu pandangan “larangan tabarruj bagi perempuan”.
Bagaimana sebenarnya pemahaman atas tafsir tabarruj ala jahiliyyah dalam QS. Al-Ahzab : 33? Dan bagaimana relevansi atas maksud utama ayat jika kita korelasikan dengan fenomena maraknya penggunaan make up di kalangan perempuan modern?
Fenomena Misrepresentasi Tafsir Tabarruj Di Media Sosial
Larangan tabarruj yang tertuju pada perempuan biasa mengambil titik tekan dari potongan ayat “wa qarna fī buyutikunna wa lā tabarrajna tabarrujal jāhiliyyatil ūlā”( dan janganlah berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu-terjemah kemenag 2019).
Hal ini sebagaimana yang terlihat dalam banyak meme yang memuat pesan mengenai larangan ini. Sebut saja meme unggahan akun instagram @dakwah_tauhid.
Potongan ayat maupun terjemah yang terdapat dalam meme biasanya bersanding dengan gambar ilustrasi perempuan dan ilustrasi benda yang lekat dengan lifestyle perempuan modern.
Ilustrasi benda tersebut seperti: lipstik, bedak, maskara, blush on, parfum, cat kuku, bahkan sepatu high heels maupun pakaian yang tidak sepenuhnya menutup tubuh perempuan.
Sekilas, pembaca meme ini bisa jadi memahami larangan tabarruj dalam QS. Al-Ahzab: 33 dalam meme tertuju pada penggunaan benda-benda yang terilustrasikan. Lebih lanjut, pemahaman yang terbentuk bisa saja membentuk pandangan parsial dalam memahami makna tabarruj ini.
Apakah seorang perempuan yang ber-make up tebal ketika wisuda, menikah, ataupun menghadiri acara tertentu bisa di-labell-i dengan perempuan yang ber-tabarruj. Hanya karena ia memakai high heels, dan ber-make up tebal?
Misrepresentasi tafsir ayat dalam meme terlihat dari adanya kecenderungan ketidakutuhan dalam paparan pemahaman terhadap potongan QS. Al-Ahzab: 33. Keterbatasan penyampaian konten dalam meme menyebabkan tidak terakomodasinya ragam penafsiran.
Tafsir Tabarruj dalam QS. Al-Ahzab: 33
Dalam kaidah penafsiran, makna suatu ayat tidak cukup kita pahami hanya berdasarkan makna literalnya saja. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan selain dari makna tekstualnya semata.
Sebuah ayat memiliki korelasi (munasabah) dengan ayat lain. Konteks historis ayat pun harus kita pertimbangkan. Begitu pula, konteks di mana ayat itu sekarang dipahami juga harus dipahami betul. Yang demikian bertujuan agar tafsir menjadi solusi dan bukan malah membatasi atau menyulitkan.
Potongan ayat di atas harus dikaitkan dengan ayat sebelumnya, QS. Ahzab: 32. Ayat sebelumnya secara khusus memberi peringatan untuk para istri Nabi Saw,
“Wahai istri-istri Nabi, kamu tidaklah seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.”
Menurut Imam Nakha’i, QS. Al-Ahzab: 32-33 menjelaskan bagaimana etika bagi ibu negara dan juga ibu tokoh-tokoh agama agar memberikan teladan dalam bersikap, bertutur, berpenampilan sesuai dengan budaya dan etika yang wajar, dan selayaknya.
Hal ini karena istri-istri Nabi sebagai prototype ibu pimpinan negara, publik figure yang memiliki peran sosial yang berbeda dengan perempuan pada umumnya. Larangan tabarruj dalam ayat ini bermakna larangan mempertontonkan perhiasan dan kecantikan sebagaimana tradisi jahiliyyah.
Gambaran Tabarruj ala Jahiliyah
Quraish Shihab mengutip riwayat Ibn ‘Abbas yang menafsirkan ayat ini dengan mengemukakan kisah.
Dulunya ketika berlangsung sebuah pesta yang menjadi ajang pertemuan laki-laki dan perempuan, banyak di antara para perempuan yang berhias diri dengan tujuan agar laki-laki yang memandangnya terpesona. Hal ini lantas memicu terjadinya perzinahan dan seks bebas di antara mereka.
Berdasarkan hal ini, larangan tabarruj bukan semata-mata karena berhias, tetapi juga melalui tingkah laku yang mereka perbuat. Seperti halnya berjalan berlenggak-lenggok, lemah gemulai, genit, memperlihatkan kecantikan tubuh di hadapan laki-laki selain suaminya.
Selain itu larangan tabarruj di sini mempertimbangkan kemudharatan yang timbul karenanya, yakni perzinahan. Sesuatu yang “mendekati” saja tidak boleh. Sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Al-Isrā: 32, “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk”.
Para ulama memahami khitab larangan tabarruj dalam ayat secara beragam. Imam Nakhai berpandangan bahwa larangan tersebut khusus di tujukan untuk para istri atau keluarga Nabi. Tujuannya adalah untuk menjaga kehormatan keluarga Nabi.
Tetapi ada pula yang memahami bahwa khitab larangan meskipun khusus untuk para istri Nabi. Namun, juga bisa berlaku untuk para perempuan muslimah secara umum.
Kontekstualisasi Larangan Tabarruj di Era Kekinian
Berdasarkan munasabah ayat dan konteks yang mengitari turunnya ayat, pemahaman mengenai larangan tabarruj yang termuat dalam salah satu meme di atas bisa kita nilai parsial.
Ilustrasi gambar lipstik, bedak, maskara, parfum, dan cat kuku tidak bisa kita asosiasikan dengan perilaku tabarruj, kecuali jika memiliki tujuan ingin memamerkan, dan menyombongkan kecantikan.
Begitu pula segala tingkah laku dan perbuatan yang menjurus pada perzinahan, itulah yang masuk dalam sebab dari munculnya larangan dalam ayat tabarruj.
Menurut hasil penelitian Korichi dkk, ada dua fungsi ber-make up secara psikologis : pertama, seduction (untuk meningkatkan penampilan diri); kedua: camouflage (untuk menutupi kekurangan). Hasil penelitian ini menggambarkan bagaimana fungsi make-up oleh perempuan saat ini.
Oleh karenanya, jika ber-make up dengan tanpa adanya kesombongan, riya’, maupun membuat orang lain terpesona, maka tidaklah dikatakan ber-tabarruj.
Dalam perspektif mubadalah, larangan tabarruj – berhias berlebihan dan berperilaku genit, sombong, riya’ dengan tujuan membuat orang lain terpesona dan mengarah pada perzinahan- pun berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan. []