Suatu hari di awal tahun 2018 ketika membaca sebuah buku parenting dari Retno Hening saya tertegun dengan sebuah kutipan pertama di halaman depan buku itu.
“Untuk ibuku yang tidak pernah kuingat kapan ia pernah memasang wajah masamnya.”
Mubadalah.id – Saya jadi tertegun karena menyadari bahwa ternyata menjadi orang tua bukan hanya tentang menjadi polisi kehidupan bagi sang anak. Bukan Birrul Walidain, tapi Birrul Awlaad. Yakni, hanya tentang memberi rambu-rambu tentang benar dan salah. Di mana jika anak salah akan dihukum, dihardik, dimarahi, dan kita beri ekspresi menakutkan.
Tapi pengasuhan adalah tentang memberi rasa sayang yang konstan kepada anak. Membuat anak merasakan sayang itu bahkan di titik terburuk dalam performa kita sebagai orang tua.
Proses pengasuhan rupanya adalah tentang proses menyayangi sepanjang masa. Membuat anak merasa bahwa dia memang disayangi dalam semua proses kehidupannya. Sejak saat itu saya mulai memproyeksikan diri saya sebagai ibu yang ingin diingat karena kasih sayangnya.
Ini menarik, karena sebaliknya bagi kebanyakan anak-anak dengan orang tua yang otoriter, merekam memori bahwa dia disayangi itu akan sangat susah. Karena dalam banyak keluarga dengan orang tua otoriter, anak-anak tidak terlahir untuk disayangi tapi untuk dibesarkan dengan rasa bersalah.
Ada banyak anak yang semestinya mendapatkan rasa aman di rumah, malah menerima bulian yang pertama dari rumah. Ada juga yang dipukuli sampai hampir mati. Tidak semua anak menemukan kasih sayang itu di dalam rumahnya. Kebanyakan anak justru kerap disuruh untuk bungkam.
Orang Tua Otoriter
Dalam ingatan anak dengan orang tua otoriter pendapat mereka selalu tidak penting. Sewaktu kecil misalnya, saat anak penasaran dengan apa yang orangtua bicarakan, lalu ikut bertanya, sang anak akan langsung disuruh diam dengan ekspresi marah.
Atau saat melakukan kesalahan, sebuah cubitan menyakitkan langsung mendarat dirusuk. Bertambah dengan ekspresi menakutkan, atau juga ada yang pernah terikat di tempat tidur untuk kesalahan yang bisa dia ingat. Ya dalam masa kecil anak-anak seperti ini perlakuan serupa itu adalah makanan sehari-hari. Bahkan dalam masyarakat kita, adalah hal yang wajar orangtua lakukan kepada anaknya.
Dalam pola asuh yang otoritatif anak selalu salah. Suara anak selau tidak kita anggap penting. Pembelaan diri anak adalah bentuk pembangkangan. Setiap kata yang anak keluarkan untuk meluruskan ucapan orangtuanya yang keliru tentangnya adalah kedurhakaan. Sehingga kalimat andalan orang tua otoritatif biasanya adalah “Dasar anak durhaka, berani membantah orang tua.”
Kalimat-kalimat yang jelas tidak menyimpan makna kasih sayang sedikitpun. Model pengasuhan otoritatif ini merupakan bentuk pengasuhan orang tua zaman dulu. Di mana dalam relasi mereka dengan anak mengandaikan anak sebagai objek sedangkan orang tua adalah subjek. Sehingga orang tua selalu menganggap anak sebagai sasaran power mereka.
Narasi Teologis yang Tidak Seimbang
Penulis melihat bahwa pola komunikasi seperti ini tidak lepas dari narasi teologis yang tidak seimbang antara birrul walidain (berbakti kepada orang tua) dan birrul awlad (berbuat baik kepada anak).
Narasi teologis yang mainstream dan berkembang hanyalah tentang biruul walidain. Di mana narasi ini mengatakan bahwa surga terletak di bawah kaki ibu, sehingga dalam prakteknya kadang ibu bertindak arogan dengan memaksakan anaknya tunduk dan patuh begitu saja.
Atau narasi tentang larangan anak berkata ah dan ciss, yang dalam prakteknya kadang dimaknai orangtua sebagai tidak bolehnya anak bersuara sedikitpun. Sehingga komunikasi dua arah antara anak dan orang tua adalah hal yang dianggap tabu.
Setiap harapan keinginan dan perintah orang tua kadang dianggap sebagai titah Tuhan. Tampak jelas di sini bahwa dengan hanya mengedepankan narasi teologis tentang berbakti kepada orang tua menimbulkan sebuah ketimpangan. Di mana pada kondisi tertentu dapat saja merugikan perkembangan anak.
Kondisi ini tentu membutuhkan narasi yang yang dapat menciptakan relasi yang saling menyayangi antara orang tua dan anak. Dalam pandangan Islam berbuat baik kepada orang tua, dan berbuat baik kepada anak adalah sama pentingnya.
Jika sebelumya dalam relasi orang tua-anak hanya didominasi oleh tingginya otoritas orang tua dalam mengontrol anak, karena berperspektif bahwa hanya anaklah yang harus menurut, berbakti dan patuh.
Ternyata ini salah, justru orang tualah yang terlebih dahulu harus membangun relasi baik dengan sang anak. Tujuannya agar sang anak dapat dengan kekaguman dan penghormatan mencontoh kebaikan itu, bukan dengan intimidasi dan kekerasan.
Prinsip Kesalingan
Dalam sebuah hadis misalnya nabi menyebutkan bahwa,
“Tidaklah termasuk gologan umatku mereka yang tua tidak menghormati yang muda, dan mereka yang muda tidak menghormati yang tua.” (HR Tirmizi no 2043).
Dalam hadis ini tampak bahwa mesti ada prinsip kesalingan antara kedua belah pihak. Bahkan penyebutan penghormatan orang tua kepada yang muda Nabi dahulukan. Hal ini menyiratkan makna bahwa kunci penghormatan yang muda kepada yang tua adalah dari contoh yang diberikan oleh yang tua kepada yang muda.
Dalam hal ini orang tualah yang semestinya memulai kasih sayang dan penghormatan itu. Barulah kemudian akan diikuti oleh yang muda atau anak. Jika kita tarik kepada relasi orang tua-anak berarti dapat kita maknai bahwa orang tua tidak dapat begitu saja menuntut bakti dan penghormatan dari sang anak, tanpa memberikan kasih sayang dan penghormatan juga kepada sang anak. Kesalingan itu kita mulai dari orang tua.
Demikian juga dalam hadisnya yang lain Nabi SAW pernah berkata “man laa yarham wa laa yurham”. “Siapa yang tidak menyayangi tidak akan disayangi.”
Dalam hadis ini juga memperlihatkan bahwa relasi yang semestinya kita tumbuhkan terutama dalam hubungan orang tua-anak adalah relasi kesalingan. Dan bahwa di atas segalanya hubungan antara orang tua dan anak mestilah kita penuhi memori tentang kasih sayang dan kelembutan. Bukan hubungan yang tuntut-menuntut, baik anak maupun orang tua.
Anak Menjadi Subjek dalam Pengasuhan
Menurut Asma Barlas dalam buku Cara Quran Membebaskan Perempuan, Alquran dalam menjelaskan dasar hubungan orang tua-anak adalah mengedepankan gagasan tentang kewajiban ketimbang gagasan tentang hak. Sehingga dengan demikian dalam prosesnya hendaklah orang tua maupun anak fokus terhadap apa yang mesti mereka lakukan dan berikan. Sebab dalam hubungan itu yang akan memberikan hak kepada mereka adalah Allah, bukanlah anak atau orang tua itu sendiri.
Dengan demikian jika dalam model parenting dengan perspektif birrul walidain, orang tua memposisikan diri mereka sebagai subjek, maka dalam paradigma birrul awlad, anaklah yang menjadi subjek dalam pengasuhan tersebut.
Tampaknya isu-isu pengasuhan masa kini telah memasukkan “birrul awlaad” sebagai fokus pengasuhan. Yakni dengan menempatkan perasaaan dan psikologis anak sebagai tinjauan utama. Sehingga setiap sikap ibu atau orangtua selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap mental dan psikologis anak. []