Mubadalah.id – Sebagai orang yang tidak pernah belajar di pondok pesantren, lalu memutuskan untuk kuliah di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) dan sekaligus mondok di Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, ternyata saya menemukan banyak hal yang menarik, untuk saya bagikan kepada teman-teman.
Di Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina ini banyak kebiasaan dan metode pembelajaran baru yang saya temukan. Misalnya adalah tentang bagaimana pesantren itu mengajarkan untuk hidup sederhana, kerja sama, toleransi, dan menerima segala keberagaman.
Secara sederhana, kalau meminjam pandangan KH. Husein Muhammad dalam buku Islam Tradisional yang Terus Bergerak, pondok pesantren itu memang menjadi tempat untuk melatih, mendidik dan menanamkan nilai-nilai luhur (akhlakul karimah) kepada para santri.
Maka, hal-hal seperti inilah yang tidak pernah saya temukan dalam lembaga pendidikan umum lainnya. Karena pesantren memiliki karakter dan ciri khas dalam metode pembelajaran kepada para santri.
Metode Pembelajaran di Pesantren
Masih menurut pandangan Buya Husein, ada beberapa metode pembelajaran khusus dan khas yang digunakan oleh pesantren.
Pertama, bandongan. Metode ini adalah istilah bagi metode pengajaran dengan guru (kiai) membaca, mendiktekan makna-makna kitab secara harfiah
Kemudian menjelaskan isinya secara luas, sedangkan para santri mendengarkannya, membuat catatan, baik makna kata-kata maupun penjelasan kiai.
Kedua, sorogan. Sorogan adalah metode pengajaran dengan santri membaca kitab di hadapan guru (kiai). Sedangkan guru mendengarkan, memberikan koreksi jika terjadi kesalahan, dan menanyakan maksudnya.
Ketiga, metode diskusi yang dalam istilah pesantren mengenalnya dengan musyawarah atau munazharah.
Metode ini, hampir semua pesantren menyelenggarakannya, terutama di pesantren-pesantren besar, yakni pesantren yang telah memiliki jumlah santri yang banyak dan mata pelajaran yang tinggi.
Metode munazharah (diskusi) pada umumnya terselenggara antara para santri sendiri, bukan antara kiai dan santri. Kiai dalam hal ini, berperan sebagai pengawas, pengarah, dan rujukan (marji) paling akhir apabila semua persoalan menjadi buntu atau sulit memahaminya.
Tiga metode pembelajaran di atas, menjadi metode yang sangat khas dari lembaga pendidikan pesantren. Pesantren menjadi wadah kepada para santri agar mereka menjadi pribadi yang cerdas, bermanfaat dan hidupnya penuh keberkahan.
Hidup Sederhana dan Saling Kerja Sama
Selain metode pembelajaran yang khas, di pesantren juga saya belajar tentang bagaimana para santri dapat hidup sederhana, dan saling kerja sama.
Untuk hidup sederhana, saya merasakan bagaimana ketika makan ala santri itu dilakukan dengan cara makan secara bareng-bareng dalam satu wadah.
Pada awalnya saya sempat menolak untuk makan bareng tersebut. Namun setelah 1 tahun belajar di pesantren, ternyata dengan makan bersama itu membuat sesama santri dapat saling mempererat hubungan emosional, rasa kebersamaan dan menumbuhkan kasih sayang satu dengan lainnya.
Ada banyak nilai dan makna dari kita makan bersama ini. Terlebih tentang bagaimana kepedulian, dan kesederhanaan itu dilatih di pesantren.
Selain itu, dalam melatih untuk saling kerjasama adalah dengan kegiatan roan. Dalam kegiatan roan atau kerja bakti untuk bersih-bersih di pesantren, baik itu kamar, rumah pengasuh itu dilakukan dengan cara bersama-sama.
Dengan kegiatan roan ini, kami para santri benar-benar dilatih bagaimana untuk hidup bersih dan sehat. Harapannya dengan roan, mampu menjadi tradisi yang melekat kepada para santri. Sehingga ketika pulang ke rumah nanti, ia akan terbiasa untuk hidup bersih dan sehat.
Oleh sebab itu, dengan beberapa kekhasan dan karakter yang saya temukan di pesantren menjadikan saya semakin cinta kepada pesantren. Pesantren mampu mengubah karakter saya untuk dapat hidup lebih baik dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi sekitar. []