Mubadalah.id- Berdiskusi toleransi mungkin sudah cukup sering, tapi kadang kita lupa mempraktikannya. Tapi tidak dengan masyarakat di Pulau Lombok, hidup berdampingan dengan keberagaman menjadikan masyarakatnya toleran dengan perbedaan agama. Toleransi akan terasah baik jika kita hidup di tengah masyarakat yang heterogen, pernyataan ini ada betulnya, saya merasakannya sendiri di sini.
November tahun 2022 adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Pulau yang punya Sirkuit Internasional Mandalika ini. Melihat banyaknya Pura di sini, saya serasa dibawa ke daerah-daerah wisata di Bali. Membuat saya kagum, Lombok yang terkenal dengan sebutan “pulau seribu masjid” ternyata banyak juga Pura yang berdiri di sini.
Setelahnya baru saya tau, ternyata agama Hindu merupakan agama kedua di Lombok ini. Salingers akan dengan mudahnya menemukan nama-nama orang hindu dengan ciri khasnya, seperti made, ketut dan lainnya. Pernyataan “anda akan menemukan Bali di Lombok” memang benar adanya
Akar Sejarah yang Unik
Melansir dari berbagai sumber, eksistensi umat Hindu di Lombok tidak terlepas dari sejarah ekspansi Majapahit di bawah Mahapatih Gajah Mada. Namun seiring berjalannya waktu pengaruh hindu tergantikan dengan penyebaran Islam oleh kerajaan Demak. Baru pada tahun 1600-an bersamaan dengan ekspansi kerajaan Bali di Lombok, warga Hindu dari Bali datang ke pulau ini dan berdiaspora.
Akar toleransi pun sudah terbentuk kuat dari zaman dahulu. Contohnya terlihat di Istana Taman Air Mayura yang ada di Kecamatan Cakranegara Mataram. Raja Anak Agung Ngurah Made yang membangun istana ini pada tahun 1744 masehi meminta bantuan Raja Makassar yang beragama Islam. Raja AA Ngurah Made meminta bantuan Raja Makassar untuk mengirim burung merak dengan tujuan menakut-nakuti ular di tempat tersebut.
Bentuk toleransinya dapat kita lihat dari penamaan tempat ini. Semula bernama “klepug” lalu diganti dengan nama “mayura” yang artinya burung merak. Tentu saja untuk mengabadikan jasa Raja Makassar yang beragama Islam. Selain itu, terdapat beberapa patung bernuansa orang Islam yang sudah berhaji. Jadi, jiwa toleran orang Lombok ini sudah dari zaman dahulu.
Ogoh-Ogoh dan Pemusnahan Angkara Murka Manusia
Dua hari menjelang hari raya nyepi, saya mengurus kartu ATM di salah satu bank di kecamatan Cakranegara Mataram. Karena antrian yang cukup panjang dan lama, saya pun tertarik dengan kepulan asap dupa dan sekelompok pemuda yang sedang berkumpul. Sejurus kemudian, saya menghampiri kumpulan pemuda tersebut yang ternyata sedang membuat ogoh-ogoh.
Ingin menggali informasi lebih lanjut, saya menghampiri seorang pria paruh baya yang ternyata merupakan rohaniawan di Pura tersebut. Namanya Pak Nengah, berperawakan tinggi besar, berambut panjang dan terikat, beberapa helai uban mulai menghiasi kepalanya.
Saya banyak bertanya tentang filosofi ogoh-ogoh ini. Beliau menuturkan bahwa ogoh-ogoh melambangkan Bhuta Kala, yaitu simbol kerusakan, ketidakseimbangan dan amarah. Singkatnya ogoh-ogoh ini merupakan perwujudan angkara murka yang manusia beriman harus menjauhinya. “Tidak hanya orang Hindu mas, semua umat beragama harus menjauhi sifat angkara murka ini” tegas Pak Nengah.
Esok harinya, Jalanan protokol di Mataram ramai dengan penonton karena terdapat fastival ogoh-ogoh. Festival ogoh-ogoh tersebut menampilkan ratusan ogoh-ogoh dari berbagai pura. Acaranya cukup lama yaitu dari pagi hingga sore. Yang ikut menyaksikan pun bukan hanya umat Hindu saja, penonton dari berbagai agama dan suku yang ada di Mataram ikut menyaksikannya. mungkin inilah bukti bahwa toleransi selalu membawa kegembiraan. Ya Tuhan Kami…berkahilah negeri ini dengan berbagai keberagamannya.
Nyepi Yang Betul-Betul Sepi
Besoknya adalah hari raya nyepi. Yaitu hari ketika umat Hindu berdiam diri di rumah dan mengintrospeksi kehidupan selama setahun ke belakang. Lombok betul-betul sepi hari itu, lalu lalang kendaraan bermotor berkurang jauh. Meskipun ada, mereka akan mematikan mesin motornya ketika melewati pemukiman umat Hindu. Toleransi yang sangat indah di pulau ini.
Pecalang-Pecalang berpakaian adat itu siap sedia berjaga selama pelaksanaan Nyepi. Tak hanya pecalang, beberapa ormas Islam pun turut menjaga kondusifitas hari raya umat Hindu tersebut. Sebelumnya pada saat takbir keliling Idul Fitri 2023, Pecalang pun ikut andil dalam pengaman acara tersebut. Betul-betul harmonis ya salingers.
Beberapa masjid di Lombok Tengah dan Lombok Timur yang berdekatan dengan pemukiman umat Hindu pun turut andil. Masjid-masjid tersebut tidak mengumandangkan adzan lewat pengeras suara selama hari raya nyepi. Masjid dan Pura yang berdekatan ada beberapa di pulau ini, sebut saja Masjid Nurul Falah yang jaraknya hanya sepelemparan batu dengan Pura Meru di Cakranegara, Mataram.
Perang Topat
Jangan salah paham dulu ya salingers. Tradisi ini tidak semenyeramkan namanya loh, bahkan tidak ada senjata yang dipakai. Perang Topat adalah tradisi lempar-lemparan ketupat antara umat Islam dan Umat Hindu di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat. Dengan kata lain, perang yang satu ini adalah perang perdamaian di antara dua umat beragama.
Perang topat terlaksana setiap tahunnya, yaitu pada bulan purname sasih ke pituq dalam penanggalan Suku Sasak, atau sekitar bulan Desember. Event budaya tahunan ini dimulai sekitar pukul 17.00 WITA, atau orang sasak mengistilahkannya Roroq kembang waru (bergugurnya bunga waru).
Tradisi ini membawa nilai filosofis tersendiri bagi masyarakat. Tradisi ini adalah ekspresi syukur atas kesuburan tanah, berlimpahnya air sehingga alam bisa menyediakan apa yang dibutuhkan.
Uniknya, setelah perang topat, ketupat-ketupat bekas lemparan tersebut dibawa oleh petani untuk diletakkan di kebun atau sawah. Mereka mempercayai bahwa ketupat tersebut membawa berkah. Selain nilai kebersamaan Hindu-Islam di dalamnya, tradisi ini membawa konsep recycle dan ramah lingkungan.
Hidup satu tahun di pulau seribu masjid ini membawa saya pada pengalaman-pengalaman toleransi yang luar biasa. Saya rasa semangat toleransi masyarakat Lombok harus tertanam pada jiwa-jiwa manusia Indonesia dewasa ini.
Seperti inilah toleransi yang kita butuhkan, bersifat partisipatif, berkesalingan dan penuh kerjasama. Kalo salingers masih penasaran tentang Hindu-Islam di Lombok, ada baiknya langsung saja baca buku Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid karya Prof. Suprapto. []