Mubadalah.id – Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) masih memerlukan perhatian khusus. Hal ini Remotivi, SAFEnet, dan Komnas Perempuan sampaikan dalam agenda pers rilis penutupan peringatan #16HAKTP yang telah berlangsung 25 November – 10 Desember.
Remotivi sebagai lembaga kajian dan pemantauan media yang cakupan kerjanya meliputi penelitian, advokasi, dan penerbitan dalam agenda #16HAKTP ini berkolaborasi bersama Komnas Perempuan dan SAFEnet.
Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet adalah organisasi regional yang berfokus pada upaya advokasi untuk memperjuangkan hak-hak digital di kawasan Asia Tenggara yang berdiri pada 27 Juni 2013.
Sedangkan Komnas Perempuan merupakan lembaga hak asasi manusia nasional yang pemerintah bentuk melalui Keputusan Presiden No. 181/1998 yang diperbarui dengan Peraturan Presiden No.65/2005.
Berdasarkan CATAHU LBH APIK 2022, kasus KBGO berdasarkan jenis kekerasan antara lain ada 8 jenis yaitu ancaman penyebaran yang bernuansa seksual, ancaman penyebaran dan pemerasan uang dan seksual, penyebaran konten intim tanpa konsensual, penguntitan online bernuansa seksual, perusakan reputasi dengan menggunakan gambar/tulisan/video yang bermuatan asusila, pelanggaran privasi atau perekaman gambar/video/suara yang bernuansa seksual tanpa izin, pengambil alihan akun untuk tujuan menguasai dokumen/gambar/video yang bermuatan asusila atau seksual dengan total 440 kasus KBGO.
Kasus KBGO Meningkat
Wida Arioka, Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet menyampaikan sejak tahun 2019 hingga 2021 terjadi peningkatan pelaporan kasus KBGO. Semula 60 pelaporan kasus di tahun 2021 telah tercatat sebanyak 2.055 pelaporan kasus. 52,40% aduan di tahun 2021 laporan terbanyak berasal dari penyebaran konten intim non-konsensual.
Sejalan dengan SAFEnet, Komnas Perempuan juga memberikan data laporan CATAHU 2023 terkait kasus KBGO. Di mana dari 2018 semula terdapat 97 pelaporan kasus meningkat hingga 4.736 di 2022. Pelaporan kasus KBGO ini didominasi oleh penyebaran konten intim non-konsensual disertai dengan sextortion (bentuk pemerasan yang dilakukan jika korban tidak memenuhi tuntutan seksual pelaku).
“Kasus-kasus yang sering mendapatkan perhatian publik dan media seringkali figur publik. Akan tetapi, banyak kasus-kasus yang organisasi penyedia bantuan tangani, dan tidak mendapatkan perhatian publik. Pada akhirnya, orang-orang yang mengalami KBGO mencari keadilan melalui jalur viral. Seperti kasus revenge porn yang terjadi di Pandeglang.
Korban KBGO Rawan Dikriminalisasi
Selain itu, korban juga mengalami hambatan ketika kasus masuk ke mekanisme peradilan di Indonesia dan oleh platform media sosial (penyelenggara sistem elektronik) itu sendiri. Oleh karena itu, KBGO perlu kita lihat sebagai sesuatu yang sistemik dan perlu kita selesaikan dari berbagai aspek secara menyeluruh dan komprehensif.” ungkap Bhenageerushtia, Manajer Program Media & Keberagaman Remotivi.
“Sejauh ini, Komnas Perempuan sudah bekerja sama dengan divisi cybercrime di kepolisian. Masalahnya, semakin hari semakin banyak predator yang bermunculan. Ibaratnya, ketika kami dapat menangkap salah satunya, muncul 5 yang baru dengan modus bermacam-macam. Untuk menyelesaikan masalah ini, Komnas Perempuan berharap adanya kerjasama antara kementerian-kementerian dan stakeholder lain yang memiliki kewenangan yang relevan dalam menangani KBGO.” imbuh Bahrul Fuad, Komisioner Komisi Nasional Perempuan.
Selain itu Bahrul menyampaikan di Indonesia belum tersedia badan/lembaga nasional yang secara spesifik dan komprehensif menangani kasus KBGO. Terlebih masih adanya keterbatasan aparat penegak hukum dalam memahami UU TPKS. Sehingga justru dalam beberapa kasus aparat malah mengkriminalisasi korban KBGO dengan menggunakan UU ITE dan UU Pornografi.
Rekomendasi
Dalam agenda ini, Remotivi, Komnas Perempuan dan SAFEnet memberikan rekomendasi kepada pihak media sosial terkait KBGO yang masih memerlukan perhatian khusus antara lain:
Pertama, memiliki community guideline atau aturan komunitas dan panduan keamanan dan kesetaraan. Di mana hal itu sesuai dengan perspektif HAM serta secara khusus anti-KBGO. Lalu mendorong perlindungan terhadap perempuan dan ekspresi gender marginal, serta mengkampanyekannya sebagai informasi dan pendidikan dalam pencegahan KBGO.
Kedua, menyediakan sistem pelaporan/aduan yang memudahkan korban serta user friendly. Kemudian mengakomodasi perspektif anti-KBGO dan perlindungan terhadap korban.
Ketiga, membuka peluang kerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) terkait dengan penanganan konten bermuatan KBGO. Yakni dengan membuat skema pemberitahuan penurunan konten bagi korban yang dapat kita gunakan sebagai bukti untuk memproses secara hukum.
Keempat, merespons laporan/aduan secara cepat dan tanggap dengan segera menurunkan konten KBGO yang terlaporkan. []