Mubadalah.id – Narasi pada isu perselingkuhan yang akhir-akhir ini berhembus cenderung bernada womansblaming/blame the woman. Perempuan menjadi pihak yang bersalah atas perselingkuhan yang terjadi tanpa mempertimbangkan perilaku pihak laki-laki.
Padahal kita sama-sama tau bahwa perselingkuhan tidak akan terjadi jika salah satunya menolak. Masyarakat kita sepertinya tidak benar-benar paham frasa berbahasa inggris “it takes two to tango.”
Dampak dari womansblaming tidak hanya akan merugikan perempuan pelaku selingkuh, namun juga bisa merembet pada perempuan yang tidak berselingkuh/korban dari perselingkuhan tersebut. Tenang saja, artikel ini tak hendak membela perempuan yang berselingkuh. Tapi mari kita lihat lebih dalam kenapa normalisasi perilaku semacam ini harus berhenti.
Apa Itu Womansblaming ?
Pernah mendengar bahwa perempuan adalah sumber fitnah? atau pernah melihat tafsiran surah Yusuf ayat 28-29 menjadi pembenaran bahwa godaan perempuan itu dahsyat dan semua perempuan berpotensi menjadi penggoda? Ayat-ayat di atas seringkali menjadi dalil untuk melakukan womansblaming. Bahkan jika laki-laki juga terlibat dalam kesalahan tersebut, perempuan menerima jatah salah yang lebih banyak.
Dalam bahasa Inggris, womansblaming berarti menyalahkan perempuan. Lebih lanjut, womansblaming adalah sebuah sindrom yang selalu menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. Pelabelan negatif ini menjadikan kesalahan kecil perempuan dianggap sebagai kesalahan yang sangat besar. Sebaliknya, lelaki mendapat keuntungan karena kesalahan besarnya berpotensi “dimaafkan” oleh masyarakat.
Dampak Fatal Womansblaming dalam Isu Perselingkuhan
Sebagian dari kita mungkin secara tidak sadar terkadang setuju atau ikut mengolok-olok perempuan pelaku perselingkuhan, kita merasa pantas kalau perempuan itu mendapat hujatan. Hal ini bisa jadi merupakan bentuk penolakan kita terhadap perbuatan tidak pantas tersebut.
Namun tidak jarang, overexposure pada pelaku perselingkuhan dengan gender perempuan tidak sepadan dengan exposure pada pelaku perselingkuhan laki-laki. Padahal keduanya sama bersalahnya bukan? It takes two to tango, perselingkuhan terjadi karena dua orang yang sama-sama mau.
Persetan siapa yang memulai, kebanyakan respons masyarakat selalu menyalahkan perempuan sebagai pihak yang memulai/”kurang belaian”. Oke lah kalau memang hal ini terasa normal dengan alasan perempuan tersebut juga “mau”, namun bagaimana jika mengkambinghitamkan ini juga merembet kepada perempuan korban perselingkuhan?
Kita dapat dengan mudah menemukannya pada isu perselingkuhan yang akhir-akhir ini berhembus, sebut saja yang menimpa tiktoker Ira Nandha. Atas perselingkuhan suaminya, Ira juga ikut mendapat “penilaian” netizen.
Komentar-komentar seperti “Ira kurang sabar terhadap suaminya” atau “Ira tidak sekalem selingkuhan suaminya” sangat mudah kita temui. Parahnya lagi, bermunculan konten cherry picking yang mengatakan bahwa Ira kekurangan sifat feminim, dan jadi penyebab suaminya berselingkuh.
Saya rasa dampak-dampak di atas sudah terlalu kelewatan. Karena pada akhirnya ada pihak yang diuntungkan dan ditindas. Suami yang berselingkuh, egonya “dimaafkan” dan istri yang menjadi korban perselingkuhan “mendapat hujatan” yang tidak seharusnya. Ranah-ranah privasi menjadi tidak begitu penting karena semuanya terekspos demi memberi makan ego netizen yang menyukai womansblaming.
Perintah Menjaga Diri untuk Semua Gender, Tidak Hanya Perempuan
Lalu bagaimana jadinya jika Al-Quran sendiri juga mengatakan demikian, seperti dalam surah Yusuf, bahwa perempuan memang penggoda?
Perlu kita ketahui bahwasanya surah dalam Al-Quran tidak semuanya bisa dimaknai secara langsung dan serampangan/Cherry picking, sekadar cocoklogi untuk mencari pembenaran atas ketidakmampuan kita menyikapi suatu keadaan.
Jika hanya berkaca pada ayat tersebut, sudah barang tentu kita beranggapan bahwa perempuan adalah makhluk negatif. Padahal berkali-kali pula Al-Quran menegaskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perintah untuk menjaga diri tidak hanya berlaku bagi perempuan, namun juga laki-laki.
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ
Potongan ayat ini merupakan bagian dari Surah An-Nur ayat 30. Penggunaan dhamir mudzakkar, menurut makna mubadalah berarti berlaku untuk seluruh gender tanpa terkecuali. Praktis di sini baik laki-laki dan perempuan mendapat kewajiban untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. Jika mengikuti pola pengarusutamaan laki-laki, ayat ini justru lebih menitikberatkan pada laki-laki bukan?
Kurangnya literasi agama yang mengisahkan perselingkuhan dari sudut pandang perempuan juga menjadi pembenaran bahwa biang kerok perselingkuhan adalah perempuan.
Dalam artikel milik Mas Sholeh Shofier tentang Respons Al-Quran Terkait Perselingkuhan dalam Rumah Tangga, menampilkan hasil serupa yang saya temui di mesin pencarian google. Kisah yang ada adalah sahabat Nabi yang menjadi korban perselingkuhan istrinya. Tetapi kembali lagi karena perselingkuhan terjadi antara dua orang merdeka yang berkesempatan setara untuk bertindak, maka jelas bukanlah kesalahan satu pihak saja. []