Mubadalah.id – Dalam relasi seksual antara suami istri, harus keduanya lakukan secara wajar. Artinya suami menyetubuhinya melalui jalan depan (kemaluan) istri, dan bukan pada jalan belakang (anus atau lubang pantat).
Hadits Nabi Saw menyatakan:
“Adalah terlaknat, laki-laki yang mendatangi (menyetubuhi) istrinya pada dubur (anus).” (HR. Abu Daud)
“Janganlah kamu mendatangi istri-istrimu pada dubur (anus). Sesungguhnya Allah tidak merasa malu untuk menyatakan kebenaran.” (HR. al-Turmudzi).
Para ulama fiqh sepakat mengenai hal ini. Menurut mereka apabila permainan seks ini mereka lakukan dan mereka mengerti mengenai larangan ini, maka mereka harus akan mendapat hukuman. Ini adalah permainan maksiat. Bahkan Ahmad bin Hanbal mengatakan:
“Jika kedua orang itu bersepakat melakukannya, maka mereka harus diceraikan. Jika laki-laki memaksa istrinya melakukan seks anus padahal sudah dicegah, maka keduanya harus diceraikan.”
Hubungan Seksual Menurut Pandangan Madzhab Fiqh
Terhadap masalah hubungan seks, pandangan madzhab-madzhab fiqh Islam berbeda-beda. Madzhab Maliki misalnya, berpendapat bahwa suami wajib menggauli istrinya, selama tidak ada halangan atau uzur. Ini berarti bahwa ketika seorang istri menghendaki hubungan seks, maka suami wajib memenuhinya.
Hal ini berbeda dengan pandangan madzhab Syafi’i. Madzhab ini mengatakan bahwa kewajiban suami menyetubuhi istrinya pada dasarnya hanyalah sekali saja untuk selama mereka masih menjadi suami istri. Kewajiban ini hanyalah untuk menjaga moral istrinya.
Pandangan ini dilatarbelakangi oleh prinsip bahwa melakukan hubungan seks adalah hak seorang suami. Istri menurut pendapat ini disamakan dengan rumah atau tempat tinggal yang disewa. Alasan lain adalah bahwa orang hanya bisa melakukan hubungan seks apabila ada dorongan syahwat (nafsu). Dan ini tidak bisa dipaksakan.
Akan tetapi sebaiknya, masih menurut pendapat ini, suami tidak membiarkan keinginan seks istrinya itu, agar hubungan mereka tidak berantakan.
Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suami wajib menggauli istrinya paling tidak sekali dalam empat bulan, apabila tidak ada uzur. Jika batas maksimal ini suami langgar, maka antara keduanya harus bercerai. Madzhab ini mendasarkan pandangannya pada ketentuan hukum Ila‘ (sumpah untuk tidak menggauli istri). []