“Saya sering memberikan pelatihan, edukasi dan sosialisasi terkait kesadaran gender, tapi saya sendiri adalah korban kekerasan di dalam rumah sendiri. Apa yang harus saya lakukan?”
Mubadalah.id – Pertanyaan di atas muncul dari salah satu peserta Diskusi Publik dengan tema “Pentingnya pendidikan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) untuk mencegah Kekerasan Berbasis Gender pada orang Muda di Kabupaten Indramayu.”
Darwinih, sebagai salah satu nara sumber yang hadir dalam kesempatan tersebut merespons bahwa dengan pengalaman sebagai penyintas satu sisi memang akan lebih menguatkan kita. Tetapi di sisi lain tanpa adanya kesadaran kritis, mengapa kekerasan bisa terjadi, justru akan semakin membuat kita lebih terluka dan mengalami trauma.
“Intinya kita harus selesai dengan diri sendiri. Menerima kenyataan bahwa kita adalah korban. Akan tetapi dengan pengetahuan tentang kesetaraan gender seharusnya mampu membawa kita keluar dari situasi tersebut. Minimal tahu apa yang harus kita lakukan” terang Founder Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu tersebut.
Perempuan yang akrab kita sapa Winy itu menambahkan bahwa kesadaran kritis menjadi penting. Terlebih ketika kita melakukan advokasi atau pendampingan kasus.
“Jika kita tidak selesai dengan diri sendiri bagaimana kita mampu melakukan pembelaan terhadap perempuan korban lainnya?” Ujar Winy yang juga hadir sebagai peserta Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Jepara 2022 silam ini.
Membincang HKSR
Kembali pada tema diskusi publik, Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) sendiri merupakan pembahasan yang cukup sensitif di Indonesia. Alasannya, HKSR seringkali kita anggap sebagai sesuatu yang tabu untuk kita bicarakan.
Bagi sebagian masyarakat, mereka menganggap bahwa persoalan HKSR tidak wajar jika kita bicarakan di depan publik. Begitupun di kalangan orang muda. Pembahasan HKSR cenderung terabaikan karena orang muda kerap kali kita nilai belum cukup matang dan pantas untuk mendiskusikan persoalan seksualitas dan reproduksi.
Ketidaktahuan orang muda terkait persoalan HKSR menimbulkan berbagai dampak negatif. World Health Organization pada tahun 2017 menuliskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka kehamilan tidak diinginkan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Kemudian, sebagaimana hasil Analisis Situasi Yayasan Sapa di Indramayu pada tahun 2021 yang menyebutkan bahwa absennya pembahasan HKSR pada anak muda berdampak pada tingginya kasus kehamilan tidak diinginkan. Lalu berdampak juga pada perkawinan anak, HIV-AIDS dan lain sebagainya.
Padahal HKSR merupakan hak asasi manusia. Setiap individu berhak untuk mendapatkan informasi tentang HKSR. Tujuannya agar mampu membuat keputusan tentang persoalan seksual dan reproduksinya tanpa ada paksaan, diskriminasi, dan kekerasan.
Hak tersebut tertulis dan disepakati dalam International Conference on Population and Development (ICPD). Kegiatan ini terselenggara pada tahun 1994 di Kairo, Mesir, yang diikuti oleh 180 negara di dunia.
Diskusi Publik dan Bedah Buku
Berdasarkan hal tersebut, Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu yang fokus pada pencegahan dan penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan dengan dukungan program Hibah Kompetitif dari pemerintah Provinsi Jawa Barat menggelar diskusi publik pada Rabu, 12 Juni 2024.
Kegiatan ini sebagai bentuk komitmen dan kontribusi Yayasan dalam upaya pencegahan kekerasan berbasis gender di Kabupaten Indramayu. Diskusi Publik menghadirkan Perwakilan dari Dinas PPA DP3AKB Provinsi Jawa Barat Anjar Yusdinar, S.STP, M.Si. Lalu Ketua DPRD Kabupaten Indramayu H. Syaefuddin, SH, MH, dan Founder Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu Darwinih, SPs.I
Kemudian pada sesi siang hari kegiatan berlanjut dengan Bedah Buku “Jihad Melawan Ragu”. Di mana buku ini merupakan karya asli perempuan Indramayu, yaitu Zahra Amin. Penulis menyoroti isu perempuan dengan menggunakan pengalamannya melakukan perjalanan ke 6 negara di Eropa, yaitu Belanda, Jerman, Swiss, Italia, Prancis dan Belgia.
Catatan perjalanan itu menjadi refleksi bagaimana perempuan Indramayu mampu berdaya dan melawan stigma yang selama ini terlanjur melekat, sehingga sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menghilangkan stigma, dan menunjukkan kebanggaan sebagai wong Dermayu.
Adapun para penanggap dalam bedah buku antara lain, Ketua DPRD Kabupaten Indramayu H. Syaefuddin, SH, MH, Editor Buku Dhenok Hastuti dan Founder Umah Ramah Cirebon Asih Widiyowati.
Ketua Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu Yuyun Khoerun Nisa mengatakan bahwa tujuan dari kegiatan ini adalah, pertama, adanya peningkatan pemahaman dari jaringan/komunitas terkait isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Kedua, terbangunnya komitmen antara pemerintah daerah dan jaringan masyarakat sipil dalam pencegahan kekerasan berbasis gender di Kabupaten Indramayu. []