Mubadalah.id – Dalam penjelasan as-Samarqandi, al-Baidhawi dan az-Zamakhsyari bahwa ayat an-Nisa ketiga itu turun pada saat kebanyakan masyarakat hanya takut tidak berbuat adil terhadap anak yatim, tetapi tidak takut terhadap praktik poligami.
Merekapun merasa tidak bermasalah untuk berpoligami sesuka keinginan mereka. Kata as-Samarqandi, semestinya mereka juga khawatir terhadap perilaku poligami, sama dengan kekhawatiran mereka terhadap anak yatim.
Dalam ungkapan az-Zamakhsyari, ketidakadilan terhadap anak yatim maupun terhadap para istri adalah dosa, yang sama-sama berakibat buruk dan nista. Dengan demikian, bukan al-Qur’an yang menginspirasikan mereka terhadap poligami, sebaliknya al-Qur’an lah yang justru datang mengkritik poligami.
Dalam penjelasan Dr. Musthofa as-Siba’i, poligami bukan datang pertama kali dibawa oleh Islam. Jauh sebelum Islam, poligami telah dipraktikkan bangsa-bangsa di seluruh belahan bumi.
Praktik di Bangsa Yunani
Poligami dipraktikkan bangsa Yunani, Cina, India, Babilonia, Syria, Mesir dan tempat-tempat lain. Bahkan, umat Yahudi dan Kristen pada sejarah awal, memperkenankan dan mempraktikkan poligami.
Nabi-nabi yang ada di dalam kitab Taurat, semuanya berpoligami. Nabi Sulaiman As sendiri, diriwayatkan dalam kitab mereka, beristeri 700 orang dari perempuan merdeka, dan 300 orang perempuan budak.
Bangsa Arab, pada masa kelahiran Islam, juga tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa lain dalam hal poligami. Bagi mereka, praktik poligami justru menjadi fumrah dan mungkin menjadi kebanggaan tersendiri.
Poligami dipraktikkan pada konteks sosial di mana masyarakat Arab, pada saat itu, adalah masyarakat kabilah yang menggantungkan pada jumlah anak dan keluarga. Anak-anak dianggap sebagai perhiasan dan penopang hidup.
Melahirkan anak merupakan kebanggaan yang tiada kira bagi keluarga, dan sebanyak perempuan yang bisa melahirkan, sebanyak itu penghargaan keluarga terhadap pasangan suami-istri. Monogami bahkan tidak mereka kenal dan tidak terbiasa. Ia hanya mempraktikkan karena alasan esoteris tertentu, oleh beberapa orang dengan jumlah yang sangat terbatas dan sedikit.
Dalam konteks yang seperti ini, al-Qur’an turun selama dua puluh tiga tahun. Dan al-Qur’an memang tidak melakukan pelarangan sama sekali terhadap poligami.
Masyarakat muslim awal, mempraktikkan poligami lebih karena pengaruh sosial dan budaya yang berlaku pada saat itu. Ketika kita mendengar beberapa sahabat mempraktikkan poligami, mereka sebenarnya tidak sedang memenuhi anjuran al-Qur’an.
Mereka tidak mempraktikkan poligami begitu mereka mendengar ayat an-Nisa diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Tetapi lebih karena budaya pada saat itu yang memandang lumrah terhadap poligami. Bahkan membanggakannya. Seperti dikatakan Umar bin Khattab ra, mereka terbiasa tidak menganggap perempuan sebagai seseorang yang perlu diperhitungkan.
Umar ra berkata:
“Dulu kami pada masa Jahiliyah sama sekali tidak memperhitungkan kaum perempuan, kemudian ketika datang Islam dan Allah Swt menyebutkan mereka di dalam kitab-Nya, kami tahu bahwa mereka juga memiliki hak terhadap kami.” []