Mubadalah.id – Sulit bagi Arkan memanjangkan rambut meski itu adalah cita-citanya sejak SMP. Sebab setiap kali rambutnya, yang padahal baru tumbuh sedikit melebihi tengkuk leher, ibu sudah langsung menegur agar lekas mengikutinya ke Kios Potong Rambut Barokah.
“Potong rambut gaya tentara, Wak. Seperti biasa,” kata ibu ke Wak Idrus, pemilik Kios Potong Rambut Barokah langganan keluarganya. Sejak ia kecil, permintaan gaya tentara itu tak pernah berubah. Kata neneknya, gaya tentara merupakan gaya favorit bapak, yang diturunkan ibu kepada anak sulungnya; Arkan.
“Padahal, aku ingin memanjangkan rambutku, Wak,” keluhnya pada Wak Idrus, “Mungkin kelak, saat aku kuliah, aku bisa memanjangkan rambutku ini. Aku akan gondrong!” tambahnya, bertekad.
“Anak sekolah, tak elok rambutnya gondrong,” sahut Wak Idrus.
“Tapi Ibu itu, Wak, baru pendek sekali rambut tumbuh di kepalaku, sudah menyuruh potong lagi. Selalu begitu. Sebetulnya, aku sangat kesal,” tandasnya mengkal.
Wak Idrus hanya tersenyum mendengarnya.
“Melihat tekadmu ini, Wawak jadi teringat seorang ilmuwan muslim yang tampan dengan rambut pendek rapihnya.”
“Siapakah dia, Wak?”
Kisah Ibnu Sina
Wak Idrus nampak senang mendengar antusias Arkan. Maka, mulailah dia bercerita tentang tokoh muslim yang dimaksud, bernama Ibnu Sina.
“Seorang ilmuwan muslim yang cerdas sekaligus filsuf abad modern.”
Saat mulai bercerita itu, ibu selalu pulang duluan dengan berjalan kaki dan meninggalkan sepedanya untuk Arkan. Ibu mengantar hanya sekedar memastikan jika potongan itu benar-benar gaya tentara. Padahal dia sudah sebesar ini, sudah kelas 3 SMA.
Tapi seakan-akan ibunya, amat begitu menerapkan kedisiplinan dan kerapihan. Sampai mau mengantarnya di sela-sela kesibukannya mengurus kedua adik perempuannya dan adik bungsu laki-lakinya yang masih balita. Dia melihat ibunya, seperti tergila-gila pada militer itu!
Dari rumah Arkan, waktu tempuh ke Kios Potong Rambut Barokah milik Wak Idrus mencapai 10 menit. Letaknya di pinggir jalan di ujung desa. Meski kecil dan sempit, di kios Wak Idrus inilah hampir semua anak laki-laki di desa terpencil itu memotong rambut mereka.
Euforia Gaya Potong Rambut
“Kalau nanti potong rambut lagi, aku mau gaya mohawk. Sedang tren sekarang,” papar Mada. Anak penjual galon itu memang sering membual bisa gonta-ganti gaya rambut meski hanya berakhir di kerongkongan saja lantaran ibunya tak pernah memenuhi keinginannya.
Terakhir kali bocah tambun itu meminta Wak Idrus memotong gaya cepmek, permintaannya justru mendapat protes dari ibunya dan ceramah singkat dari Wak Idrus.
“Selagi masih sekolah, gaya rambut rapih merupakan bagian dari pendidikan karakter,” kata Wak Idrus, “Rambut rapih merupakan ciri siswa yang disiplin dan taat pada peraturan. Tipe siswa yang kelak akan menjadi masyarakat berbudi luhur,” pungkasnya.
Jelas saja Wak Idrus tak akan memenuhi permintaannya karena tak tahu macam apa gaya cepmek itu.
“Baru juga SMA, sudah mau rambut model tak jelas begitu! Mau jadi apa kau, hah?! Anak jalanan?!” hardik Ibu Mada.
Akhirnya, Mada yang dihantam kata-kata melengking ibunya menuruti gaya potongan rambut sebelum-sebelumnya, gaya belahan samping bak aktor Arya Saloka. Seorang pemeran yang sangat digandrungi ibu-ibu zaman sekarang.
“Kalau aku, ingin seperti orang Korea itu, yang ada poni belah tengahnya. Cha Eun-Woo. Kata ibuku, akan cocok dengan bentuk wajahku,” tanggap Saka. Ini pertama kalinya bagi anak mami itu mencoba gaya Korea.
Adalah hal lumrah jika di sekolah, teman-temannya yang juga langganan di Kios Potong Rambut Wak Idrus akan memamerkan gaya rambut baru mereka, atau merencanakan gaya apa yang mereka inginkan. Meski pada akhirnya, gaya yang diinginkan itu akan dimodif mengikuti standar peraturan di sekolah.
“Karena melihat siswa yang berambut awut-awutan dapat menggagalkan fokus belajar orang lain,” kata Bu Yulis, wali kelas mereka saat Nurdin bertanya mengapa setiap hari senin selalu ada pemeriksaan rambut dan menghukum siswa yang berambut panjang.
Tetapi Arkan tak begitu tertarik dengan obrolan itu. Karena sekali lagi, dia hanya ingin memanjangkan rambutnya.
Wak Idrus dan Tutur Kisah-kisahnya
Selain tema rambut itu, ada hal lain yang menarik untuk dipamerkan, tentang cerita-cerita yang dikisahkan Wak Idrus kepada para pelanggannya.
“Kemarin Wak Idrus bercerita tentang Salahuddin Al-Ayubi kepadaku, Sang Penakluk Perang Salib!” kata Mada berapi-api.
“Ah, kau pasti belum dengar, kisah tentang Jalaluddin Rumi. Sangat inspiratif. Aku sampai menangis mendengar kisahnya. Nanti, aku berencana membeli buku syair-syair karyanya di Gramedia!” Saka tak mau kalah. Meski jelas sekali dia baru mendengar kata Gramedia dari Wak Idrus, tanpa pernah tahu di mana letak dan bentuknya. Tentu jauh di kota sana, bukan di sekitaran desa terpencil ini.
“Kalah seru. Kalian pasti belum tahu, kisah tentang Penaklukan Konstatinopel oleh Muhammad Al-Fatih!” Nurdin, yang baru saja memutuskan memangkas seluruh rambutnya dan menyisakan sedikit saja, tak ingin tertinggal menyombongkan cerita yang ia dengar dari Wak Idrus.
Dia sendiri kemarin diceritakan tentang kisah Ibnu Sina yang merupakan seorang dokter, filsuf, dan penulis abad ke-11 Masehi. Bagi orang-orang barat, Ibnu Sina dikenal dengan nama Avicienna. Keren sekali!
Itu adalah salah satu keunikan dari Wak Idrus. Pria tua tukang pangkas rambut itu pandai juga bercerita, terutama kisah-kisah ulama dan orang-orang hebat dari timur tengah yang menjayakan peradaban Islam. Kelihaiannya berkisah menjadi ciri khas yang membuat pelanggannya tidak bosan.
Hanya saja lain cerita kalau pelanggannya laki-laki dewasa, yang diobrolkan adalah keadaan politik, ekonomi, pendidikan, maupun lingkungan. Maklum, pria tua itu rajin membaca koran. Berlangganan sebulan penuh dan tak pernah absen dikirimkan ke rumahnya oleh penjaja koran. Tak heran jika di balik kehidupan sederhananya, dia memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.
Riwayat Wak Idrus
Profesi dan hobinya yang unik itu rupanya cukup menarik perhatian bagi Arkan. Tidak hanya dia rupanya, Ayahnya pun demikian.
“Beliau orang hebat. Akan tetapi keadaan membuatnya merasa cukup dengan menjadi tukang potong rambut.”
Ayahnya bercerita bahwa Wak Idrus dulunya merupakan sarjana di Universitas ternama. Setelah di wisuda, Wak Idrus menjadi guru Sekolah Dasar di rantau. Namun lantaran statusnya yang masih sebagai guru honorer, baru 4 tahun mengajar beliau malah di PHK. Wak Idrus kemudian memulai usaha mandiri dengan membuka kios buku bekas di sekitar kampusnya dulu.
Pekerjaan itu merupakan penyaluran dari hobinya yang gemar membaca. Kios itu berjalan dengan lancar dan cukup banyak pelanggan yang datang. Selang beberapa tahun membuka kios buku bekas, Wak Idrus memutuskan untuk menutupnya dan pulang ke kampung halaman.
Saat pulang itu, Wak Idrus tentunya merencanakan membuka kios baca di desa, namun beliau tahu, bahwa di desa terbelakang ini, usaha itu tak akan berhasil. Akhirnya, buku-buku itu dia sumbangkan ke sekolah dasar tempatnya mengajar dahulu. Tempat yang juga memberhentikannya dari profesi mulia itu.
Wak Idrus banting setir, membuka kios potong rambut. Dua tahun menjalani bisnis tersebut, pria berwajah kalem dan teduh itu kemudian menikah dengan perempuan dari tetangga desa. Selama berumah tangga, usaha itu menjadi satu-satunya mata pencaharian Wak Idrus.
Arkan dan Gaya Tentaranya
Arkan ingat, saat SD dia bertanya pada ibu, mengapa selalu gaya tentara?
Ibunya yang tengah menjahit celana menjawab, “Agar kelak, kau bisa jadi tentara.”
Bagaimanapun, Arkan tahu itu jawaban asal belaka. Sebab sampai kini dia merasa hal itu tak akan pernah terjadi karena ibu dan bapak tidak mungkin sanggup membiayainya sekolah tentara. Untuk membeli buku sekolahnya saja seringnya sulit. Bahkan, untuk membayar potong rambut ke Wak Idrus yang tak seberapa, ibu sampai harus menghitung berkali-kali uang yang ia sisihkan dari berjualan kacang tanah rebus.
Karena itulah, setelah lulus nanti, dia tak akan potong rambut lagi. Dia akan memanjangkan rambutnya. Dia akan merantau dan mencari biaya hidup sendiri untuk kuliahnya. Kelak, penghasilan bapak bisa difokuskan untuk biaya sekolah ketiga adiknya.
Kelulusan tinggal menghitung minggu. Sembari menunggu itu, mungkin akan ada satu kali lagi dia mengunjungi Kios Wak Idrus untuk potong rambut terakhir sebelum merantau.
“Bu, bolehkah Arkan meminta potongan rambut gaya Mohawk? Agar keren di perpisahan nanti,” pintanya memohon.
“Mohawk, mohawk, apa itu! Macam-macam saja. Mau Perpisahan, kok gaya begitu. Harus rapih! Biar potong gaya tentara saja!” sergah Ibunya. Melotot.
Maka, masamlah mukanya kala gunting Wak Idrus mulai merapihkan rambut-rambut yang melebihi tengkuk, membuat gaya tentara seperti biasanya.
“Dalam suatu riwayat Imam Ghozali pernah menceritakan mimpinya. Dia bermimpi bahwa ketika di akhirat, semua amalannya ternyata tak ada yang berkesan, kecuali satu saja, yang menurutnya sangat sepele, tapi ternyata besar di Mata Tuhan.”
Seperti biasa, Wak Idrus mulai menceritakan kisah ulama muslim yang katanya masyhur di kalangan sufi. Imam Ghazali.
“Apa itu, Wak?” tanya Arkan penasaran. Amalan sepele apakah itu sampai menjadikannya masuk surga?
“Saat Imam Ghozali membiarkan tintanya diminum oleh seekor lalat,” jawab Wak Idrus dengan tangan yang masih fokus merapihkan anak rambut di sela-sela telinga Arkan.
“Bagaimana ceritanya, Wak?” tanya Arkan mulai antusias.
“Khusus untuk cerita ini, Wak Idrus memberi kesempatan pada Arkan untuk mencarinya sendiri.”
Arkan menghela nafas kecewa. Wak Idrus tersenyum.
Merantau
Sebelum pulang, ibu bercerita kepada Wak Idrus bahwa Arkan akan pergi merantau ke kota. Ada program beasiswa kuliah dari sekolahnya, meski tak penuh, lumayan untuk meringankan biaya pendidikan Arkan.
“Merantau adalah salah satu klausa yang dipuji Imam Syafi’i. Ia menjadi sebuah perjuangan bagi seorang anak muda untuk menentukan jalan hidupnya. Maka, dikala itu selalu berpegang teguhlah pada jalan yang benar dengan tidak lupa untuk terus memberi manfaat kepada orang lain. Amar ma’ruf nahi munkar. Jajakilah dunia luar dan datanglah kembali dengan cerita-cerita yang menakjubkan,” pesan Wak Idrus pada Arkan sambil memegang erat pundaknya.
Arkan mengangguk tersenyum lalu mencium tangan Wak Idrus.
Sering mengunjungi Kios Wak Idrus, tak pernah sekalipun Arkan melihat kerabat atau keluarga lelaki tua itu. Dia tahu bahwa Wak Idrus memiliki 3 anak, yang tak pernah sekalipun dia temui sosoknya di desa. Sementara istrinya, sudah meninggal 12 tahun yang lalu.
Kini di rantau, Arkan sudah disibukkan dengan kuliah dan bekerja sebagai penjaga Toko Buku Sederhana milik seorang pria asal Medan. Dia ikut tinggal di Masjid kampus dan menyambi sebagai anggota DKM.
Arkan belajar dengan tekun. Dengan semangat mudanya, pemuda yang kini berambut gondrong itu melahap habis semua buku bacaan yang ada di perpustakaan kampus maupun kios itu. Dalam benaknya, ada satu rencana, yaitu ketika pulang nanti, dia ingin mengadu kemampuan bercerita dan pengetahuannya tentang mujtahid muslim dengan Wak Idrus. Dia juga akan memenuhi PR-nya untuk menceritakan kisah Imam Ghazali dan seekor Lalat.
Tentang Pemahaman dan Kesadaran
Setelah kuliah Arkan mengerti bahwa semua kisah-kisah Wak Idrus bukanlah kisah-kisah yang selalu diajarkan di sekolah, melainkan kisah-kisah dalam buku atau literatur klasik timur tengah saat Islam mencapai abad kejayaannya. Bahkan tanpa sengaja, dia menemukan biografi penakluk Konstatinopel dalam sebuah koran.
Koran itu dibelinya dari seorang kakek tua di jalan raya ketika dia hendak menuju kios buku. Tak ayal, melihat kakek tua penjaja koran itu pun, dia teringat sosok Wak Idrus yang gemar membaca koran. Maka, lekas dia menelepon ibunya dan bertanya apakah Wak Idrus masih berlangganan koran.
“Sudah tidak lagi,” jawab Ibu.
Arkan termenung. Tiba-tiba dia merasa iba sekaligus kosong. Lantas hal itu membuatnya ingin membawakan koran-koran yang sempat beberapa kali ia beli di kota untuk diberikan kepada Wak Idrus.
Kemudian, entah mengapa naluri membuatnya memberanikan diri untuk bertanya kemana anak-anak Wak Idrus pergi? Tapi, ibu justru membalas, “Kenapa tiba-tiba tanya tentang anak-anak Wak Idrus? Tidak usah mencampuri kehidupan orang lain!”
“Maaf, Bu,” ketiknya cepat begitu melihat balasan ibunya yang nampak tidak ramah.
“Pulang nanti, potonglah rambutmu di Kios Wak Idrus,” pinta ibu kemudian. Mengakhiri percakapan mereka.
Ibu meminta bukan karena tak tahu bahwa dia sudah gondrong. Tetapi rupanya perintah ibu untuk memotong rambut itu, meski belum satu senti tumbuhnya, menjadikan Arkan menyadari beberapa hal. Bahwa ibunya yang rutin menyuruh potong rambut setiap satu bulan sekali tentunya ingin membantu Wak Idrus.
Di desa sekecil itu, Wak Idrus tak mungkin cukup menghidupi dirinya sendiri dengan penghasilan dari Kios Barokahnya jika pelanggan datang setiap 3 atau 4 bulan sekali.
Orang-orang juga tidak memotong rambut setiap hari. Ibu-ibu yang lain pun sama, ibunya Mada, ibunya Saka, Nurdin dan para ibu dari teman-temannya yang lain, pastilah merasa prihatin dengan Wak Idrus sehingga merencanakan sesuatu yang tak pernah terencanakan, tertulis maupun terucap; membantu Wak Idrus dengan rutin menggunakan jasanya untuk memotong rambut anak-anak desa itu.
Kerinduan
Ingatan itu membuatnya rindu akan sosok Wak Idrus. Cermin yang sedikit retak di depan kursi pelanggan yang mulai lapuk, gunting besar, gunting kecil, sisir besar dan sisir kecil, serta peralatan potong rambut lainnya milik Wak Idrus termasuk cerita-ceritanya, juga nasihat-nasihat singkatnya. Arkan merindukan itu semua.
Dia jadi menyesal mengapa dulu pernah berpikir untuk tidak memotong rambut lagi?
Bayangan sosok Wak Idrus yang telah senja, dengan rambut memutih, kaos putih polos yang lusuh, serta sarung kotak-kotak tua yang dipakainya, telah menyatu dalam benak, berputar dalam ingatan, memeluknya sepanjang Ramadan.
3 hari menjelang Idulfitri, Arkan pulang ke desanya. Sebelum dia pulang ke rumah, dia memutuskan akan singgah ke Kios Wak Idrus terlebih dahulu.
Di tatapnya nanar kios Wak Idrus yang sudah benar-benar rapuh. Tahulah dia bahwa setahun berlalu kios itu memang semakin sepi. Ibunya pernah bercerita bahwa ibu-ibu sekarang lebih memilih kios potong rambut yang lebih modern dengan peralatan yang lebih canggih, bergaya ala-ala salon. Beberapa mengaku khawatir bahwa Wak Idrus yang sudah tua, pastilah matanya rabun sehingga mungkin saja tak sengaja melukai bagian kepala anaknya.
Hal itu tentunya membuat Wak Idrus kehilangan penghasilan. Dan karena sebab itu pula, ibunya sering mengirim makanan atau sembako ke rumah Wak Idrus. Kini dia tahu mengapa Wak Idrus tak lagi berlangganan koran. Tak bisa dia membayangkan, bahwa sosok kutu buku seperti Wak Idrus harus menjalani hari tuanya tanpa membaca.
Membeli Buku untuk Wak Idrus
Arkan menggenggam erat buku berjudul ‘Biografi-Biografi Ilmuan Muslim Abad Ke-7 Masehi’ dengan ketebalan 600 halaman di tangannya. Dia membeli buku itu untuk diberikan kepada Wak Idrus. Meski harus mengorbankan tabungannya, membayangkan binar wajah Wak Idrus saat menerimanya lebih ia dambakan.
“Bagaimanapun, aku gemar membaca dan berpengetahuan adalah karena Wak Idrus,” batinnya. Sehingga menurut Arkan, tabungannya tak ada artinya dibanding ketulusan Wak Idrus saat menceritakan kisah-kisah dari negeri yang jauh.
Selain itu dia sendiri sudah menyiapkan hikayat yang mungkin saja Wak Idrus belum pernah mendengarnya, yakni kisah tentang Ibnu Ajurrumi, seorang ahli nahwu yang melemparkan kitab karangannya ke laut untuk mengukur keridlaan Tuhan atas karnya, Kitab Jurumiyyah.
Ada pula kisah Imam Ibnu Malik, yang bersikap angkuh bahwa dia lebih baik dari gurunya, Imam Ibnu Aqil. Ibnu Malik kemudian menyadari keangkuhannya. Dan untuk menebus kesombongannya, ia membubuhkan pernyataan bahwa sebagai guru, Ibnu Aqil tentu masih lebih unggul.
Semuanya adalah kisah-kisah para pengarang kitab kuning yang masyhur di kalangan pesantren, yang tentunya jarang di dengar orang biasa seperti mereka. Arkan sendiri mendapat cerita itu dari teman sefakultasnya yang pernah mondok. Temannya yang melihat ketertarikan di wajah Arkan, menghadiahinya Kitab karangan Imam Ibnu Malik yang sangat terkenal, Alfiyyah Ibnu Malik.
Pertemuan
Wak Idrus muncul dengan setelan khasnya. Tubuh Wak Idrus terlihat lebih kurus. Wajah keriput pria tua itu memandang samar wajah Arkan sembari menyipitkan matanya yang sudah tidak awas lagi. Dia hendak menyebut nama namun merasa ragu dengan pria berwajah tegas dan berambut gondrong ini. Hanya saja ingatan tentang seorang anak yang berencana untuk memanjangkan rambutnya membuatnya yakin siapa pemuda di depannya, “Arkan?”
Arkan tersenyum lebar lalu segera mencium tangan Wak Idrus. Kemudian tanpa segan memeluk tubuh pria yang telah ringkih dan tinggal tulang-belulang itu. Dia tak menyadari jika pada momentum tersebut, air matanya turut menerjemahkan apa yang selama ini selalu mengguncang hatinya tentang pria tua pemilik kios potong rambut ini.
Banyak pemuda yang pergi merantau dan tak lagi datang ke kiosnya. Mereka pergi untuk kemudian pulang sebentar saat ada acara tertentu dan perayaan keluarga. Namun, Wak Idrus terharu kala Arkan datang menemuinya dahulu dari keluarganya. Yang ternyata langsung menuju kiosnya meski baru saja sampai dari stasiun dengan menaiki ojek.
Arkan melepas pelukannya. Mengusap air mata lalu tersenyum lebar. Sementara Wak Idrus, masih memperhatikan tingkah-polah pemuda itu, yang dengan menggoda, langsung masuk ke kiosnya dan duduk di kursi pelanggan yang menghadap cermin. Menyebut satu gaya potong rambut.
“Gaya tentara!”[]