“Air tak lagi mengalir di kampung kami. Setiap hari kami terbiasa hidup bertemankan asap dan debu, polusi dari PLTU Indramayu.”
Mubadalah.id – Demikian kalimat yang saya dengar dari pertemuan Jurnalis Warga Indramayu Jawa Barat pada Sabtu 12 Oktober 2024 di aula Ponpes Miftahul Huda Segeran Kidul Indramayu.
Kegiatan tersebut bertajuk “Open Mic dan Dialog Publik Seputar Pembangunan Strategis Nasional (PSN): PLTU Indramayu Ruang Aman atau Ancaman untuk (Perempuan)?”
Bersama jejaring komunitas dan lintas organisasi perempuan, Jurnalis Warga mencari ruang aman perempuan di dalam proyek PSN tersebut, terutama di daerah Indramayu.
Dampak lingkungan dari polusi udara, pencemaran air dan penurunan kualitas tanah tidak hanya memengaruhi kesehatan masyarakat, tetapi juga keberlangsungan sumber daya alam yang menjadi sandaran mata pencaharian banyak keluarga. Terutama yang bergantung pada sektor pertanian dan perikanan.
Rebon Semakin Sulit Dicari
Salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut, Pak Mitra yang merupakan perwakilan dari Jatayu (Jaringan Tanpa Asap Batu Bara) mengungkapkan bahwa kini ia dan para nelayan lain semakin sulit mencari ikan rebon sebagai bahan untuk membuat terasi dan olahan hasil ikan lainnya.
“Sebelum ada PLTU Indramayu, di pinggiran Pantai setiap kali kami turun ke laut, mendapat banyak tangkapan rebon (Udang kecil). Tapi setelah ada PLTU, kami harus mencari lebih jauh ke tengah laut, sehingga membahayakan keselamatan para nelayan.”
Tidak hanya itu, limbah dari PLTU Indramayu membuat kondisi air di sekitarnya menjadi panas. Hal itu berdampak pada semakin berkurangnya bibit ikan bandeng. Sementara sejauh ini Indramayu terkenal sebagai penghasil ikan laut dan tambak yang bisa menghidupi kebutuhan ekonomi warga.
Dampak terhadap Perempuan
Sedangkan dampak PLTU terhadap perempuan masih belum mendapat banyak sorotan. Sarifah Mudaim sebagai Ketua Pelaksana kegiatan menyampaikan dalam sambutannya, bahwa perempuan juga terdampak PLTU Indramayu.
“Polusi pada air dapat mempengaruhi kebutuhan santasi perempuan yang banyak kita butuhkan. Terutama di saat menjalani pengalaman khas, atau biologis perempuan. Seperti menstruasi, nifas dan menyusui.”
Selain itu perempuan juga terdampak dari segi ekonomi karena perempuan memiliki peran dalam mengurus lahan pertanian. Baik sebagai buruh tani, maupun petani.
Dampak negatif ini semakin parah sebab minimnya pelibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan terkait Pembangunan proyek PLTU. Suara perempuan seringkali tidak terdengar dan terabaikan. Meskipun mereka adalah kelompok yang paling rentan akibat Pembangunan Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Indramayu ini.
“Jangankan perempuan Mbak, warga lokal saja tidak pernah dilibatkan dalam proses pembangunan PLTU Indramayu ini.” Seloroh Ahmad Sayid Mukhlisin yang mewakili aktivis lingkungan pemerhati proyek PLTU Sumuradem Sukra Indramayu.
Menilik Fatwa KUPI
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sebagai sebuah gerakan untuk mewujudkan visi keadilan relasi laki-laki dan perempuan dalam perspektif Islam dan kerja-kerja masyarakat muslim Indonesia, telah merumuskan dan menghasilkan pandangan keagamaan yang berbasis pengalaman khas perempuan.
Dalam kesempatan pertemuan bersama Jurnalis Warga Indramayu, saya menyampaikan tentang hasil Fatwa KUPI Pertama. Fatwa tentang alam dan lingkungan ini menurut saya relevan dengan situasi yang teman-teman hadapi di Kabupaten Indramayu.
Pada gelaran agenda KUPI I di Ponpes Kebon Jambu Babakan Cirebon, tahun 2017 silam ada tiga pandangan keagamaan atau Fatwa KUPI yang telah dihasilkan. Di antaranya adalah tentang “Hukum Melakukan Perusakan Alam atas Nama Pembangunan.”
Musyawarah memutuskan sikap dan pandangan keagamaan berikut ini:
Pertama, merusak alam yang berakibat pada kemadlaratan dan ketimpangan sosial atas nama apapun, termasuk atas nama pembangunan, hukumnya adalah haram secara mutlak. Alam diciptakan Allah bukan untuk dirusak, tetapi untuk dilestarikan dan kita jaga keseimbangan ekosistemnya.
Kedua, prinsip dasar ajaran Islam (al-kulliyyaat) selain melindungi agama (hifdhu ad-diin), jiwa (hifdhu an-nafs), akal (hifdh al-‘aql), keturunan dan martabat (hifdh an-nasl wa al-‘irdl), harta kekayaan (hifdh al-maal). Selain itu juga melindungi alam dan lingkungan hidup (hifdh al-bii’ah). Perlindungan terhadap alam dapat kita lakukan secara maksimal dengan:
(1). Pengaturan dengan tegas larangan merusak alam dan perhatian besar dalam menjaga dan melestarikan alam. Oleh karena itu, manusia, laki-laki dan perempuan, sebagai khaliifatullaah (wakil Allah) di muka bumi berkewajiban merawat dan menjaga alam dan keseimbangan ekosistem di muka bumi.
Karena fungsi kekhalifahan itu ada dua, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT (‘Ibaadatullaah) dan untuk merawat atau melestarikan kehidupan di bumi (‘Imaarotul ardl). Dua-duanya kita orientasikan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia (mashaalihul ibaad) di dunia dan di akhirat.
(2). Mengembangkan pengetahuan dan membangun kesadaran tentang pentingnya fiqh lingkungan hidup (fiqh al-bii’ah) dan hidup yang sehat, bersih, dan menjaga keseimbangan ekosistem, harus menjadi pembiasaan kehidupan keagamaan, baik dalam lingkup individu, komunitas, masyarakat, maupun negara.
Di antara praktik hidup yang penting kita biasakan sehari-hari adalah membuang sampah pada tempatnya. Mengelola sampah untuk hal-hal yang produktif. Menyayangi pepohonan, tanaman, menyayangi binatang dan makhluk hidup lainnya. Selalu menjaga kebersihan, hemat energi, menggunakan air secukupnya (tidak berlebihan). Tidak sembarang tebang pohon, tidak membakar hutan, dan tidak menggunakan pestisida dan bahan-bahan beracun.
Ketiga, Pandangan agama tentang tanggung jawab negara dalam mengatasi proyek pembangunan yang memiskinkan rakyat, terutama perempuan adalah:
(1). Negara dengan seluruh perangkatnya wajib melindungi alam dari segala kerusakan. Wajib memberikan sanksi hukuman tegas yang menjerakan kepada pelaku perusakan, baik individu, masyarakat, aparat negara, maupun terutama korporasi.
(2). Negara bertangungjawab melakukan pencegahan dari perusakan alam dan pemulihannya dengan cara menyediakan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan, melaksanakan dengan tegas peraturan yang sudah ada, dan melakukan kegiatan-kegiatan nyata bersama masyarakat untuk kelestarian alam.
Dalam upaya tersebut negara wajib melibatkan perempuan sebagai pihak yang paling merasakan dampak negatif dan beban berlebih akibat perusakan alam.
Jurnalis Warga Bersuara
Melalui kegiatan ini, Sarifah Mudaim berharap ada publikasi terkait dampak operasional PLTU terhadap perempuan dan masyarakat yang terdampak dalam berbbagai format seperti karya jurnalis, konten di platform media sosial, artikel popular dan carousel.
“Jurnalis warga ini ke depan semoga akan lebih produktif membuat berita juga di Tempo Witness, dan media lainnya.” Ungkap Sarifah.
Selain itu, komunitas perempuan mampu terlibat aktif dalam advokasi dan forum diskusi. Kemudian ada rencana aksi bersama atau kolaborasi antar lembaga dan komunitas dalam melakukan advokasi hak ruang hidup yang aman dan nyaman bagi masyarakat.
Jadi, jurnalis warga sudah bergerak dan bersuara, saatnya kini kita memastikan ruang aman perempuan dan bagi warga Indramayu lainnya. Karena Bumi Wiralodra ini, adalah milik kita bersama. []