Mubadalah.id – Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama melaporkan bahwa pada tahun 2023, terdapat 42.780 permohonan dispensasi perkawinan yang terdaftarkan di seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Jauh berkurang daripada tahun 2021 yang berjumlah 62.913 permohonan.
Meski belum ada data terbaru terkait jumlah pada tahun 2024, namun tidak salah jika kita berharap tren penurunan ini terus berlanjut. Penurunan jumlah ini tentu merupakan kabar baik bagi upaya pencegahan praktik perkawinan anak.
Namun demikian, perlu kiranya untuk mengingat kembali temuan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) pada tahun 2018-2019. AIPJ2 mencatat lebih dari 95% praktik perkawinan anak perempuan terjadi tanpa adanya permohonan dispensasi perkawinan. Penurunan jumlah pendaftaran permohonan dispensasi perkawinan nampaknya tidak menjamin menurunnya praktik perkawinan anak.
Memang belum ada data terbaru terkait jumlah perkawinan yang kita lakukan tanpa penetapan dispensasi dari pengadilan. Namun fenomena perkawinan anak di bawah tangan patut kita curigai masih banyak terjadi. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa perkawinan anak masih kita terima sebagai hal wajar dan normal di sejumlah kelompok masyarakat Indonesia.
Maslahah Perempuan
Dengan memperhatikan penjelasan umum dalam undang-undang perkawinan, dapat kita pahami bahwa salah satu hal yang menyebabkan terlarangnya praktik perkawinan anak ialah demi mencegah terjadinya kehamilan dan kelahiran pada usia anak. Hamil dan melahirkan kerap disebut sebagai jihadnya seorang wanita.
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak mencatat bahwa perkawinan anak-secara tidak langsung-mengakibatkan meningkatnya angka kematian Ibu. Perempuan yang hamil dan melahirkan di usia 15-19 tahun rentan mengalami komplikasi dan kerusakan organ reproduksi. Bayi yang terlahirkan juga berpeluang meninggal sebelum berusia 28 hari.
Meski anggapannya sebagai suatu bentuk Ibadah, bukan berarti manusia tidak boleh berikhtiar untuk mewujudkan kehamilan dan kelahiran yang lebih aman. Salah satu ikhtiar tersebut ialah dengan memastikan bahwa Ibu yang akan hamil dan melahirkan memang telah siap secara fisik maupun mental.
Mengingat segala resiko di atas, maka undang-undang perkawinan memberikan batasan umur minimal untuk seseorang dapat menikah. Tercapainya batas minimal umur tersebut kiranya dapat kita maknai sebagai kriteria minimal kesiapan diri seseorang untuk menikah. Dalam hal ini negara tengah berupaya menghasilkan satu kebijakan yang memberikan kemaslahatan bagi warga. Khususnya bagi perempuan dan anak.
Perlu pula rasanya untuk kita ingat bahwa kondisi perempuan-secara fisik maupun mental-hari ini mungkin sangatlah berbeda dengan kondisi perempuan di masa lalu. Pengetahuan yang terus berkembang telah memberikan banyak informasi baru seputar kesehatan reproduksi.
Oleh karenanya, tidak relevan rasanya jika perempuan yang mampu menikah, hamil dan melahirkan sebelum berusia 19 tahun di masa lalu. Kemudian kita perbandingkan atau bahkan kita samakan dengan perempuan di masa sekarang. Kondisi saat ini kiranya membutuhkan hukum yang berbeda dengan ketentuan yang berlaku di masa lalu (taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al amkinah wa al-ahwal wa al-‘adat).
Pergaulan Bebas
Jika kita tilik kembali, penyebab kehamilan dan kelahiran sejatinya adalah bertemunya sperma dan ovum melalui hubungan seksual di antara laki-laki dan perempuan. Sayang, saat ini secara nyata hubungan seksual tidak hanya dapat terjadi dalam suatu ikatan perkawinan.
Tidak jarang suatu permohonan dipensasi perkawinan justru pengajuannya karena mempelai perempuan-yang masih berusia anak-telah berhubungan seksual dengan lawan jenis dan bahkan telah dalam kondisi hamil.
Pergaulan yang terlalu bebas, beresiko dan tanpa batas di antara anak nampak kian massif terjadi. Di mana serasa telah kita terima sebagai suatu praktik yang normal di tengah-tengah masyarakat. Tidak jarang hubungan pacaran di antara anak berisikan hubungan layaknya mereka yang telah menikah. Bahkan lebih vulgar dan berbahaya.
Hasto Wardoyo selaku kepala BKKBN pada Agustus 2024 lalu menyatakan lebih dari 50% perempuan dan 70% laki-laki melakukan hubungan seksual di usia 15 hingga 19 tahun. Padahal data menunjukkan bahwa usia rata-rata pernikahan adalah 22 tahun. Artinya hubungan seksual tersebut mereka lakukan dalam kondisi tidak terikat perkawinan
Melalui media sosial kita dapat dengan mudah menonton pernyataan orang yang dengan bangga mengumbar mereka pernah “tidur” dengan lebih dari satu orang laki-laki/perempuan tanpa ikatan perkawinan. Tidak jarang mereka justru menjadi idola di tengah masyarakat, termasuk idola anak dan remaja. Perilaku ataupun pengakuan-pengakuan tersebut saat ini menjadi konten yang dapat diakses dengan mudah dan kemudian dipraktikan oleh anak.
Menaikkan batas usia perkawinan dan mempersulit terjadinya perkawinan tidak lagi dapat menjadi satu-satunya cara mencegah kehamilan dan kelahiran pada usia anak. Tanpa melalui perkawinan pun tidak sedikit anak yang melakukan hubungan seksual dan berujung menjadi Ibu di usia anak. Karenanya, selain membatasi perkawinan anak, perlu pula upaya untuk mengatasi fenomena pergaulan beresiko di antara anak.
Alat Kontrasepsi
Membagikan alat kontrasepsi kepada anak tentu merupakan satu solusi yang mungkin akan sangat efektif untuk mencegah kehamilan. Namun hal ini akan bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan serta nilai agama yang masyarakat yakini. Terlebih jika pembagian alat kontrasepsi tersebut kita yakini justru mempermudah terjadinya perzinahan yang kita pandang sebagai mafsadat dalam hukum islam.
Suatu mafsadat tidak seharusnya kita hentikan melalui mafsadat lainnya (ad-dharar la yuzal bidharar). Upaya mencegah mafsadat berupa kehamilan pada anak tidak berarti membiarkan terjadinya mafsadat lain. Yakni berupa perzinahan hanya dikarenakan persetubuhan di dalamnya menggunakan alat kontrasepsi dan bebas dari resiko kehamilan.
Sebaliknya, penggunaan alat kontrasepsi oleh pasangan anak yang memang telah terlanjur diberikan dispensasi untuk menikah-setelah melalui serangkaian pemeriksaan yang ketat di pengadilan-dapat dianggap menjadi suatu bentuk keharusan. Hal ini demi menghindari kehamilan yang beresiko bagi kondisi kesehatan mempelai perempuan dan juga anak.
Jika perkawinan anak tidak lagi dapat kita hindari, maka setidaknya kehamilan di dalamnya harus dicegah sedemikian rupa. Sebagaimana kaidah fikih bahwa suatu mafsadat (kehamilan beresiko tinggi) harus kita cegah sebisa mungkin (ad-dharar yudfa’u bi qadri al-imkan).
Tantangan Ke Depan
Maraknya konten-konten seksual yang menstimulasi lestarinya pergaulan beresiko di kalangan anak akan menjadi satu ganjalan besar dalam upaya pencegahan kehamilan di usia anak. Jangan sampai negara melalui berbagai kebijakannya sibuk mencegah perkawinan anak, namun justru abai terhadap praktik perzinahan oleh anak, keduanya perlu kita cegah bersama.
Negara perlu memaksimalkan upaya pencegahan melalui pendidikan seksual kepada anak sejak dini. Anak perlu kita jelaskan bahwa perilaku seksualnya dapat mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang tidak dapat kita hindari. Negara melalui berbagai lembaganya-seperti sekolah-perlu untuk memaksa anak sibuk dengan hal-hal positif sehingga Ia tidak mudah terpengaruh untuk melakukan perbuatan zina. []