• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Dari Disabilitas Emosional hingga Kritik Sosial dalam ‘Seberapa Candu Cinta itu’

Novel ini mengkritik bagaimana kita sebagai masyarakat sosial cenderung tidak adil dalam hal kepedulian.

anis.fadia anis.fadia
19/03/2025
in Buku
0
Disabilitas Emosional

Disabilitas Emosional

995
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa hari lalu, saya menamatkan novel ‘Seberapa Candu Cinta itu’ karya Eko Triono. Saya tergugah hingga halaman terakhir novel. Cerita dalam novel ini melesat dari praduga saya  yang  akan menceritakan kisah tragis perjalanan cinta seseorang seperti halnya kisah Zainuddin dan Hayati, Romeo dan Juliet, ataupun kisah fenomenal lainnya.

Kendati kisah cinta tokoh utama dalam novel terbilang nelangsa, namun novel ini fokus pada proses penyembuhan diri orang-orang yang mengalami depresi atau dalam isu disabilitas dapat kita masukkan dalam kategori disabilitas emosional dan menyoroti bagaimana respons kita yang kurang adil dan setara terhadap penyandang disabilitas.

Tokoh Utama dan Obat-obatan Terlarang

Terdapat tiga tokoh inti dalam novel ini yang tidak disebutkan namanya hingga akhir. Namun, tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter yang kuat dan orisinil. Tiga tokoh ini terlibat cinta segitig. A – tokoh utama laki-laki – menyukai seorang perempuan, B.

Naas, B merupakan pacar sahabatnya sendiri, C. sementara C masih gagal move on dari mantannya yang sudah meninggal, D. Sebuah kisah cinta yang terbilang klasik. Tokoh-tokoh ini terjalin dalam hubungan yang rumit secara emosional atau dapat kita sebut memiliki orang-orang sinting yang memiliki masalah dan titik  rendahnya sendiri.

Dalam titik rendah itu, mereka memilih menggunakan obat-obatan terlarang atau nyabu sebagai pelarian. Konflik memuncak ketika A dan C diberangus aparat kepolisian dan menghadapi kehidupan yang berbeda setelahnya. B, di sisi lain, melarikan diri pada saat penangkapan  itu.

Baca Juga:

Senyum dari Jok Motor : Interaksi Difabel Dengan Dunia Kerja

Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

Resident Playbook dan Pentingnya Perspektif Empati dalam Dunia Obgyn

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

Ketiganya memilih jalan berbeda untuk ‘sembuh’ dan kembali bangkit menjalani kehidupan normal tanpa obat-obatan. A menjalani rehabilitasi, B menepi dari kehidupan dan tinggal di ‘Kampung Batin’. C menjalani pengobatan mandiri dibantu keluarganya.

Putus asa terhadap realitas, kesepian yang mencekam, perasaan sakit dan terabaikan barangkali terdengar sederhana bagi orang-orang yang tidak mengalaminya. Namun bagi yang sedang menjalaninya, mungkin hari-hari berjalan seperti neraka. Mungkin saja.

Kritik Sosial

Penulis novel ini menyoroti keterlibatan sosial dalam menambah tekanan emosional bagi orang-orang yang rapuh secara mental dan psikologis atau penyandang disabilitas emosional. Tokoh utama A, dalam sebuah dialog menyatakan bahwa tekanan lingkungan menjadi salah satu faktor yang melatarinya.

“…Dia dibunuh oleh kebencian orang di sekitarnya, yang membuat pikirannya tertekan. Aku hampir saja mengalami waktu keluar dari rehabilitasi…” (h. 24)

Kita rasanya tidak siap menghadapi sedikit anomali dalam realitas keberagaman kita.

Cibiran-cibiran yang kita layangkan pada penyandang disabilitas baik mental, fisik,  maupun sensorik sebagai anomali tersebut  tadi dan dalam novel ini terhadap mantan narapidana pemakai sabu-sabu beserta stigma yang menyertainya, kita sadari atau tidak, banyak mempengaruhi kondisi mental mereka. Mereka juga berhak untuk menjalani hidup normal tanpa cibiran selayaknya orang kebanyakan.

Dari novel ini, kita dapat  belajar dari tokoh utama A yang perlahan mulai berubah pasca rehabilitasi. Dia mulai memiliki kepekaan sosial dan membantu pemulung yang sering mendatangi kontrakannya.

Selain itu, novel ini juga mengkritik bagaimana kita sebagai masyarakat sosial cenderung tidak adil dalam hal kepedulian. Penulis novel ini menyebutkan kita sangat peduli pada tetangga yang berzina dan berlanjut menggerebeknya. Sementara kita tidak pernah menggerebek tetangga kita yang kelaparan di rumahnya atau sedang membutuhkan uluran bantuan  (h. 28).

Sebetulnya yang kita perlukan hanyalah memiliki empati. Menahan diri untuk tidak mencibir dan memberi stigma negatif barangkali merupakan bentuk paling sederhana dari empati itu. []

 

 

 

Tags: DifabelDisabilitas EmosionalempatiKeadilan HakikiNovel Seberapa Candu Cinta ItuPenyandang Dsiabilitas
anis.fadia

anis.fadia

Alumni PP. Annuqayah Sumenep Madura dan UIN Sunan Kalijaga  Yogyakarta

Terkait Posts

Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Novel Cantik itu Luka

Novel Cantik itu Luka; Luka yang Diwariskan dan Doa yang Tak Sempat Dibisikkan

27 Juni 2025
Fiqhul Usrah

Fiqhul Usrah: Menanamkan Akhlak Mulia untuk Membangun Keluarga Samawa

25 Juni 2025
Hakikat Berkeluarga

Membedah Hakikat Berkeluarga Ala Kyai Mahsun

23 Juni 2025
Fiqh Al Usrah

Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

21 Juni 2025
Membangun Rumah Tangga

Membangun Rumah Tangga yang Berdimensi Akhlak Mulia

20 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID