Mubadalah.id – Beberapa hari lalu, saya menamatkan novel ‘Seberapa Candu Cinta itu’ karya Eko Triono. Saya tergugah hingga halaman terakhir novel. Cerita dalam novel ini melesat dari praduga saya yang akan menceritakan kisah tragis perjalanan cinta seseorang seperti halnya kisah Zainuddin dan Hayati, Romeo dan Juliet, ataupun kisah fenomenal lainnya.
Kendati kisah cinta tokoh utama dalam novel terbilang nelangsa, namun novel ini fokus pada proses penyembuhan diri orang-orang yang mengalami depresi atau dalam isu disabilitas dapat kita masukkan dalam kategori disabilitas emosional dan menyoroti bagaimana respons kita yang kurang adil dan setara terhadap penyandang disabilitas.
Tokoh Utama dan Obat-obatan Terlarang
Terdapat tiga tokoh inti dalam novel ini yang tidak disebutkan namanya hingga akhir. Namun, tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter yang kuat dan orisinil. Tiga tokoh ini terlibat cinta segitig. A – tokoh utama laki-laki – menyukai seorang perempuan, B.
Naas, B merupakan pacar sahabatnya sendiri, C. sementara C masih gagal move on dari mantannya yang sudah meninggal, D. Sebuah kisah cinta yang terbilang klasik. Tokoh-tokoh ini terjalin dalam hubungan yang rumit secara emosional atau dapat kita sebut memiliki orang-orang sinting yang memiliki masalah dan titik rendahnya sendiri.
Dalam titik rendah itu, mereka memilih menggunakan obat-obatan terlarang atau nyabu sebagai pelarian. Konflik memuncak ketika A dan C diberangus aparat kepolisian dan menghadapi kehidupan yang berbeda setelahnya. B, di sisi lain, melarikan diri pada saat penangkapan itu.
Ketiganya memilih jalan berbeda untuk ‘sembuh’ dan kembali bangkit menjalani kehidupan normal tanpa obat-obatan. A menjalani rehabilitasi, B menepi dari kehidupan dan tinggal di ‘Kampung Batin’. C menjalani pengobatan mandiri dibantu keluarganya.
Putus asa terhadap realitas, kesepian yang mencekam, perasaan sakit dan terabaikan barangkali terdengar sederhana bagi orang-orang yang tidak mengalaminya. Namun bagi yang sedang menjalaninya, mungkin hari-hari berjalan seperti neraka. Mungkin saja.
Kritik Sosial
Penulis novel ini menyoroti keterlibatan sosial dalam menambah tekanan emosional bagi orang-orang yang rapuh secara mental dan psikologis atau penyandang disabilitas emosional. Tokoh utama A, dalam sebuah dialog menyatakan bahwa tekanan lingkungan menjadi salah satu faktor yang melatarinya.
“…Dia dibunuh oleh kebencian orang di sekitarnya, yang membuat pikirannya tertekan. Aku hampir saja mengalami waktu keluar dari rehabilitasi…” (h. 24)
Kita rasanya tidak siap menghadapi sedikit anomali dalam realitas keberagaman kita.
Cibiran-cibiran yang kita layangkan pada penyandang disabilitas baik mental, fisik, maupun sensorik sebagai anomali tersebut tadi dan dalam novel ini terhadap mantan narapidana pemakai sabu-sabu beserta stigma yang menyertainya, kita sadari atau tidak, banyak mempengaruhi kondisi mental mereka. Mereka juga berhak untuk menjalani hidup normal tanpa cibiran selayaknya orang kebanyakan.
Dari novel ini, kita dapat belajar dari tokoh utama A yang perlahan mulai berubah pasca rehabilitasi. Dia mulai memiliki kepekaan sosial dan membantu pemulung yang sering mendatangi kontrakannya.
Selain itu, novel ini juga mengkritik bagaimana kita sebagai masyarakat sosial cenderung tidak adil dalam hal kepedulian. Penulis novel ini menyebutkan kita sangat peduli pada tetangga yang berzina dan berlanjut menggerebeknya. Sementara kita tidak pernah menggerebek tetangga kita yang kelaparan di rumahnya atau sedang membutuhkan uluran bantuan (h. 28).
Sebetulnya yang kita perlukan hanyalah memiliki empati. Menahan diri untuk tidak mencibir dan memberi stigma negatif barangkali merupakan bentuk paling sederhana dari empati itu. []