Mubadalah.id – Dalam hukum perkawinan, harus fair diakui bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat beberapa pasal yang problematis dari sudut pandang keadilan relasi laki-laki dan perempuan.
Di antara masalah-masalah yang kurang mendukung semangat keadilan tersebut antara lain: batas usia pernikahan, wali nikah, saksi nikah dan kepala rumah tangga.
Pasal-pasal yang dinilai sarat dengan ketidakadilan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, batas usia minimal nikah yang diatur dalam pasal 15 ayat (1). Pasal ini dianggap tidak adil karena telah mematok usia minimal perempuan boleh menikah lebih rendah dari usia laki-laki.
Pasal ini jelas memperlakukan laki-laki dan perempuan secara diskriminatif, yakni semata-mata hanya untuk kebutuhan dan kepentingan laki-laki (ideologi patriarkhis).
Wali Nikah
Kedua, tentang wali nikah. Pembahasan tentang wali nikah tertulis dalam pasal 19, 20, 21, 22, dan 23. Di antara pasal-pasal tersebut, yang cenderung bias gender adalah pasal 19, 20 ayat (1) dan 21 ayat (1).
Hak kewalian dalam pasal tersebut hanya berlaku bagi laki-laki. Tidak ada ruang sedikitpun bagi seorang ibu untuk menjadi wali nikah atas anak perempuannya, misalnya ketika sang ayah berhalangan. Sekiranya ayah tidak memungkinkan untuk tampil menjadi wali, maka hak kewalian jatuh pada kakek.
Jika kakek ‘udzur, maka hak kewalian tidak secara otomatis pindah ke tangan jbu, tetapi turun pada anak laki-laki atau saudara laki-laki kandung dari si perempuan tersebut. Hirarki kewalian ini telah tertulis dalam KHI pasal 21 dengan menutup sama sekali peluang perempuan untuk menjadi wali.
Untuk itu, secara praktis harus kita tegaskan bahwa pasal tentang perwalian dalam KHI hendaknya tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki memiliki otoritas untuk menikahkan hidupnya sendiri dan berwenang menjadi wali nikah, maka seharusnya demikian juga untuk perempuan.
Ketiga, tentang saksi. Ketentuan tentang saksi dalam pernikahan diatur dalam pasal 24, 25, dan 26. Namun, yang dinilai bias gender hanyalah pasal 25 saja yang menutup sama sekali kemungkinan perempuan untuk menjadi saksi pernikahan.
Dengan menggunakan parameter kesetaraan gender, maka semestinya laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk tampil sebagai saksi nikah.
Keempat, kepala rumah tangga hanya disandangkan pada pundak seorang suami, dan tidak pada istri. Pasal 79 KHI mengatakan suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
Sebagaimana fikih pada umumnya, KHI tidak pernah mempertimbangan kapabilitas dan kredibilitas istri untuk memangku status kepala keluarga. Jabatan “kepala keluarga” secara gratis dan otomatis untuk para suami. []