Mubadalah.id – Perempuan adalah korban. Ketika berbicara kasus ekstremisme dan radikalisme, perempuan menjadi salah satu korban—juga menjadi pelaku kekerasan dari kelompok ekstrem ini. Isu ekstremisme dan radikalisme telah mengacak-acak ide negara bangsa (nation state) termasuk prinsip dan nilai nasionalisme NKRI.
Perempuan menjadi sasaran empuk kelompok ekstremis karena tak hanya peran besar mereka dalam berbagai aksi ekstremisme. Perempuan dan ekstremisme mendapatkan kekerasan berlapis. Mereka harus tunduk dan patuh hingga hidup dalam lingkungan patriarki yang menolak keadilan dan kesetaraan gender.
Mereka menanggung beban ganda yang lebih banyak, memiliki keharusan menjadi objek reproduksi untuk melahirkan Jundullah (tentara Allah), hingga dimanfaatkan sebagai pelaku bom bunuh diri.
Kenyataan sampai hari ini, aktivis perempuan khilafah lantang berkoar menyoal cita-cita mendirikan negara islam dan sistem khilafah sebagai solusi dari semua permasalahan negara. Mereka aktif terlibat dalam lembaga kajian dakwah baik secara luring maupun daring dengan bersandar pada dalil otoritas Al-Qur’an dan hadits di dalamnya.
Misal saja, kita melihat kilas balik kasus lama yang sempat terjadi waktu lalu. Kasus Dian Yulia Novi, adalah salah satu perempuan yang mendapat vonis sebagai pelaku bom bunuh diri Istana Negara. Ia mengaku terindoktrinasi oleh calon suaminya saat itu serta melalui propaganda teroris yang banyak dilakukan secara online.
Kasus lain juga banyak terjadi seperti kita tahu pelaku bom bunuh diri oleh anggota keluarga di Surabaya pada tahun 2018 juga menyisakan peristiwa kelam dari mereka yang tergabung aliran radikal dan gerakan jihadisme.
Maka dari itu, masa lalu ini penting untuk kita jadikan pelajaran dalam menjaga diri dari ancaman penyebaran ideologi khilafah kelompok radikal yang tak pernah jelas arahnya. Cita-cita yang mereka usung hanyalah ilusi semata untuk tetap kekeh terealisasi di Nusantara ini.
Perempuan Jadi Fighter Penting Kelompok Ekstremis
Jadi, selain perempuan menjadi korban yang banyak dimanfaatkan kelompok ekstremis, peran mereka dalam aksi ekstremisme juga cukup besar. Praktik yang mereka lakukan berbekal solidaritas dan loyalitas yang tinggi menjadi kekuatan keyakinan berjuang di jalan Allah.
Mereka juga rentan untuk percaya, patuh, dan lantang terhadap aksi yang berbau ajaran agama. Akses media sosial yang sangat dekat dengan perempuan gunakan juga menjadi suatu cara yang mudah untuk menyiarkan ideologi. Bahkan untuk mengelabui masyarakat yang lain untuk ikut bergabung.
Belum lagi, faktor dari permasalahan peliknya hidup yang mereka hadapi. Kekecewaan terhadap berita dari negara sehingga mereka merasa menemukan solusi saat bergabung dengan para aktivis khilafah. Keyakinan kuat terhadap faktor religius misalnya ketika umat Islam sedang diserang seperti kasus Palestina.
Mereka mendapat kekuatan solidaritas mendukung dan berempati tetapi karena secara tidak sadar dan kurangnya pemahaman, mereka tergabung bersama aktivis khilafah. Faktor lain misal, keinginan kuat untuk membangun sebuah masyarakat baru, dan kewajiban perempuan muslim untuk membela Islam.
Salah satu ruang media sosial menjadi alternatif aktivis khilafah untuk berdakwah dan membagikan edukasi keislaman dan kebangsaan dengan melakukan propaganda. Alih-alih para perempuan mendapatkan solusi atas permasalahan dan keresahan dari yang mereka hadapi, justru masuk ke lubang yang salah.
Tak menutup kemungkinan pula, perempuan khilafah memang berperan kuat untuk kepentingan ekstremisme. Solidaritas yang mereka rangkul dan kalangan aktivis perempuan khilafah yang berlatar belakang akademisi, menjadi strategi halus memberi kepercayaan publik atas keberadaan mereka.
Ekstremisme Kontra dengan NKRI
Cita-cita kelompok ekstremis adalah membangun konsep islam kafah pada sebuah bangsa. Tentu saja, ini bertentangan dengan prinsip dan gagasan NKRI selama ini. Maka dari itu, cita-cita aktivis khilafah dalam melakukan aksi sana-sini dan menggaet banyaknya kelompok baru tak cocok untuk negara ini terapkan.
Husein Muhammad dalam buku Perempuan, Islam, dan Negara menjelaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara telah merepresentasikan hubungan yang ideal antara agama dan negara.
Untuk itu, ini menjadi konsensus nasional yang menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, bukan negara teokrasi, tetapi juga bukan negara sekuler. Pancasila dengan sila pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan dengan jelas Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Indonesia sebagai negara majemuk, landasan Pancasila dan UUD 1945 menjadi titik temu paling ideal dari berbagai aspirasi dan kehendak beragam para penganut agama dan kepercayaan yang telah lama hadir di Indonesia.
Kelompok ekstemis ini tidak mengakui dan mempercayai ideologi pancasila karena bertentangan dengan ideologi khilafah. Padahal, sudah sangat jelas bahwa seluruh sila maupun pasal-pasal dalam konstitusi telah sejalan dengan visi dan misi agama, tidak bertentangan.
Solusi dari Relasi Agama dan Negara
Agama hakikatnya hadir untuk membawa visi pembebasan manusia terhindar dari diskriminasi, penghargaan martabat untuk keadilan sosial, menciptakan persaudaraan, perdamaian, dan kesejahteraan umat bersama. Termasuk islam yang membawa visi rahmatan lil ‘alamin dengan prinsip dan nilai kemanusiaan di dalamnya. Telah jelas menentang bentuk pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan terutama untuk para perempuan.
Untuk itu, agama dan negara dapat bersama-sama menjadi entitas yang mendorong visi dan misi perdamaian untuk kemaslahatan manusia. Baik laki-laki maupun perempuan sebagai pelaku dan korban. Visi dan misi dari peran agama dan negara bersifat timbal balik. Artinya, saling mengupayakan prinsip dan nilai kebaikan untuk terciptanya kemaslahatan umum dan mencegah terhapusnya kekerasan.
Daripada perempuan hadir untuk mendapatkan kekerasan berlapis, penting untuk mendorong turut serta melawan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Perempuan perlu memiliki kesadaran untuk melakukan perlawanan melawan gerakan-gerakan yang membahayakan nilai-nilai keindonesiaan dan merusak moralitas bangsa.
Lebih jauh pula, konstitusi Indonesia memang secara eksplisit memberikan jaminan perlindungan serta menerbitkan aturan untuk ekstremisme dan radikalisme. Tetapi, dalam realitas hari ini, jaminan itu tidak secara tegas—seharusnya menolak kehadiran kelompok ekstremis apapun itu. Tentu menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah utamanya mengatasi menjamurnya ideologi khilafah yang mengancam NKRI dan esensi agama sendiri. []