Mubadalah.id – Bulan Syawal sering kali identik dengan momen kebahagiaan dan kemenangan. Setelah sebulan penuh umat Islam menjalani puasa Ramadan dengan segala tantangan fisik dan spiritualnya, Syawal datang sebagai hadiah. Tak hanya identik dengan gema takbir dan aroma opor ayam di pagi hari raya, bulan ini juga memiliki satu fenomena unik yang tidak tertulis dalam kalender resmi, tapi selalu terasa tiap tahunnya: musim nikah.
Iya, betul sekali, musim nikah. Bukan hewan ternak atau serangga yang nikah massal, tapi manusia, lebih tepatnya pasangan muda yang menggelar pernikahan beramai-ramai, seolah sedang ikut lomba “siapa cepat nikah, dia menang”.
Fenomena ini bukan hanya sekadar angin lalu atau kebetulan semata. Setiap tahun, setelah Idulfitri berlalu, undangan pernikahan bermunculan seperti jamur di musim hujan. Ada yang dikirim langsung ke rumah, ada yang lewat pesan WhatsApp dengan gambar pasangan yang diedit bak poster film romantis.
Selain itu ada juga yang viral karena konsep pernikahannya nyeleneh dari naik odong-odong sampai resepsi bertema kebun binatang. Bulan Syawal telah menjelma jadi ladang subur untuk pernikahan. Tapi kenapa bisa begitu?
Jejak Sejarah dan Sunah Nabi: Nikah di Syawal
Masyarakat awam mungkin mengira nikah di bulan Syawal itu cuma soal momen yang pas. Tapi kalau kita gali sedikit lebih dalam, ternyata ada latar historis dan agama yang mendasari kebiasaan ini. Salah satu referensi yang sering disampaikan oleh para ustadz maupun penggiat pernikahan islami adalah kisah Nabi Muhammad SAW yang menikahi Aisyah RA pada bulan Syawal.
Momen itu menjadi semacam “bantahan praktis” atas kepercayaan jahiliah kala itu, yang menganggap menikah di bulan Syawal membawa sial. Dalam Islam, tentu saja segala bentuk takhayul seperti itu tidak dibenarkan. Maka dengan menikah di bulan Syawal, Nabi seakan menyampaikan pesan: “Nggak ada bulan sial, yang penting niat dan tanggung jawabnya.”
Tradisi ini pun diteruskan dari generasi ke generasi. Para ulama bahkan menyatakan bahwa menikah di bulan Syawal adalah sunah yang bisa diikuti, meskipun tentu saja bukan syarat sah atau kewajiban. Jadi, kalau nikah di bulan lain tidak berdosa. Tapi kalau mau “sekalian ikut jejak Nabi”, Syawal adalah pilihan yang mantap.
Terlebih lagi, banyak keluarga yang memang sudah berkumpul karena momen Idul Fitri. Jadi kalau mau bikin hajatan besar-besaran, tinggal kumpulin mereka di satu tempat, nggak perlu repot kirim undangan satu-satu pakai pos.
Menariknya, sunah menikah di bulan Syawal ini belakangan jadi semacam “lisensi sosial” bagi para calon pengantin. Banyak yang merasa lebih afdhol dan mantap menikah di bulan Syawal ini, bukan hanya karena religius, tapi juga karena ikut arus.
Bahkan ada yang sampai rela menunda pernikahan demi menunggu bulan Syawal datang. Alasannya biar barakah, biar ikut Nabi, dan tentu saja biar bisa posting foto nikah bareng caption “mengikuti sunah Rasul” lengkap dengan tagar #SyawalBerkah #AkhirnyaHalal.
Dari Lebaran ke Pelaminan
Kalau dilihat dari sisi logis dan pragmatis, menikah di bulan Syawal juga sangat masuk akal. Pertama, dari segi ekonomi. Selepas Ramadan dan Idulfitri, biasanya orang-orang baru saja menerima THR atau bonus tahunan. Tabungan cenderung lebih terisi, dompet agak lebih berisi.
Ini momentum yang pas buat biaya nikah, dari sewa gedung sampai katering. Apalagi kalau pengantinnya kerja kantoran, bisa manfaatkan cuti bersama Lebaran buat bulan madu sekalian. Hemat cuti, hemat biaya.
Kedua, soal keluarga. Karena Lebaran identik dengan mudik dan silaturahmi, anggota keluarga besar yang tersebar di berbagai kota atau bahkan luar negeri sering pulang kampung di bulan Syawal. Maka tak heran jika banyak orang memilih menikah di bulan ini, karena keluarga besar sudah tersedia.
Bayangkan biaya transport yang bisa dihemat jika semua sudah berkumpul, tidak perlu undang mereka dua kali. Plus, tamu undangan juga cenderung lebih mudah datang karena suasana masih dalam euforia lebaran, belum disibukkan dengan aktivitas kantor atau sekolah.
Ketiga, faktor cuaca. Di banyak daerah di Indonesia, bulan Syawal yang biasanya minim hujan deras sampai banjir. Bayangkan saja kalau nikahnya pas musim hujan—dekorasi basah, make-up luntur, dan tamu jadi kayak habis nyebur got. Di Syawal, semua lebih aman dan nyaman.
Bagi Jomlo, Syawal Adalah Ujian Kesabaran
Sayangnya, tidak semua orang bisa menikmati bulan Syawal dengan hati berbunga-bunga. Bagi para jomlo, bulan ini bisa terasa seperti lomba yang belum bisa mereka ikuti.
Satu per satu teman sebaya mulai mengunggah foto lamaran, prewedding, sampai pernikahan. Grup alumni mendadak ramai dengan ucapan “barakalloh”, dan beberapa orang cuma bisa balas dengan stiker senyum getir. Bahkan keluarga pun tak kalah rajin menagih, “Kapan nyusul, Nak?”
Pertanyaan legendaris itu memang seperti sambal di lontong sayur lebaran yang selalu ada meski kadang bikin perih. Tapi buat para jomblo tak perlu panik. Ingatlah bahwa menikah bukan lomba cepat-cepat, melainkan soal kesiapan. Daripada buru-buru nikah karena “ikut musim”, lebih baik persiapkan diri, mental, dan finansial. Toh, Syawal masih akan datang setiap tahun, dan siapa tahu, tahun depan kamu yang duduk di pelaminan.
Menariknya, banyak jomlo kreatif yang mulai mengalihkan rasa galau jadi hiburan. Ada yang bikin konten lucu soal “survivor Syawal”, ada juga yang bikin meme tentang undangan nikah yang datangnya lebih sering daripada notifikasi gaji. Bahkan, beberapa jomblo mengaku justru lebih produktif di bulan ini karena “tidak terganggu agenda resepsi”. Mereka sibuk kerja, ngumpulin uang, dan… ya, mungkin sambil cari jodoh lewat aplikasi.
Harapan bagi Jomlo
Meski terdengar getir, jomlo di bulan Syawal tetap punya harapan. Karena seperti kata pepatah: “Jodoh tak pernah datang terlambat, tapi ia datang pada waktu dan tempat yang tepat.”
Jadi, Syawal ini jangan hanya kita jadikan musim nikah bagi yang sudah siap menikah, tapi juga musim refleksi bagi yang sedang mempersiapkan diri. Siapa tahu, sambil bersilaturahmi, jodoh malah muncul dari obrolan ringan di ruang tamu dikenalin sepupu, misalnya. Karena jodoh itu kadang datang tanpa undangan, tapi langsung siap ke pelaminan.
Bulan Syawal memang bulan yang penuh berkah, bukan hanya karena Idulfitri, tapi juga karena menjadi momen favorit banyak orang untuk mengikat janji suci. Dari sisi agama, budaya, hingga logika praktis, Syawal menawarkan banyak kemudahan dan keutamaan untuk menikah.
Tapi yang paling penting, menikah itu bukan soal mengikuti tren atau musim, melainkan soal kesiapan dan komitmen. Jadi, mau nikah di bulan Syawal, Dzulhijjah, atau bahkan di musim hujan sekalipun, yang utama tetaplah niat yang tulus dan kesiapan lahir batin. []