Perempuan memiliki aturan berpakaian yang lebih rumit dibanding laki-laki, setidaknya pada masa awal-awal Islam. Perempuan menggunakan kain lebih banyak untuk menutupi bagian-bagian tubuhnya kecuali mata. Menurut Quraish Shihab, dalam Jilbab Pakaian Perempuan Muslimah (2018)—ia mengutip Murthadha Muthahari—bahwa itu bukan monopoli masyarakat Arab dan bukan dari budaya mereka.
Pakaian penutup seluruh tubuh perempuan sudah dikenal di kalangan bangsa kuno dan lebih lekat dengan orang Sassan Iran. Bahkan ada yang menyatakan orang Arab mengikuti agama Zardasyt yang menilai perempuan bukan makhluk suci, sehingga harus menutup hidung dan mulut agar napas mereka tidak mengotori api suci yang merupakan sesembahan agama Persia lama.
Masih menurut Shihab, bangsa Arab juga meniru masyarakat Byzantium yang memingit perempuan di rumah. Bagian ini bersumber dari bangsa Yunani Kuno yang membagi rumah mereka menjadi dua bagian: laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki tempat yang berdiri sendiri.
Sedangkan menurut Etin Anwar, dalam Jati-Diri Perempuan dalam Islam (2017), makna lain hijab adalah pemingitan, dan itu juga menjadi fakta sosial. Menurutnya, hijab lebih mengarah pada makna dimensi ruang, yaitu pembatasan antara ruang privat-publik, terang-gelap, beriman-kafir, aristokrasi-rakyat jelata. Tapi hijab juga merujuk pada pakaian muslimah, dan ini yang menjadi tafsir mainstream dari surat al-Ahzab [33]:53 dewasa ini.
Sebenarnya ada dua makna hijab dalam ayat tersebut, yaitu hijab sebagai tirai pemisah antara laki-laki dan perempuan yang tidak dalam hubungan perkawinan atau sedarah ketika berkomunikasi. Sedangkan makna yang kedua mengacu pada istilah min wara hijab, yang ditafsirkan sebagai perintah kepada perempuan untuk mengenakan hijab. Pada makna kedua, hijab dipandang identik dengan ajaran Islam, dan bagi perempuan yang memakainya dianggap mematuhi aturan Tuhan.
Sedangkan kisah yang melatarbelakangi turunnya surat al-Ahzab [33]:53 antara lain, pertama, Umar bin Khattab mendesak Nabi untuk memerintahkan istri-istrinya menjulurkan jilbab atau memisahkan mereka dari para tamu, sehingga kehormatan mereka tidak terganggu oleh para tamu. Ada juga yang mengisahkan bahwa Nabi mengesahkan hijab setelah tangan A’isyah secara tak sengaja bersentuhan dengan tangan salah satu sahabat saat makan bersama.
Kisah yang terakhir adalah berkaitan dengan pengenalan gagasan privasi sebagai bagian integral dalam kehidupan berumah tangga dan urusan publik. Adalah untuk mengatur etiket tuan rumah dan hak-hak sahabat atau tamu di dalam rumah tangga Nabi. Ini berkaitan dengan arsitektur rumah Nabi yang menyatu dengan masjid, sehingga terbuka untuk diakses oleh publik. Maka, sekat atau tirai diperintahkan untuk dipasang sebagai pembatas antar-ruang untuk menjaga privasi keluarga Nabi (Anwar, 2017).
Berdasarkan beberapa kisah di atas, perintah hijab memiliki landasan etis dan mengandung nilai kesetaraan, yaitu saling menghargai privasi antar-pribadi (baik laki-laki ataupun perempuan). Bagian ini bisa juga dikembangkan menjadi landasan keadilan gender dalam Islam, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama berelasi secara adil, sama-sama menjaga privasi dan kehormatan.
Namun kita juga perlu memahami bahwa nilai kesetaraan yang terkandung dalam ayat tersebut tidak sepenuhnya diimplementasikan secara ideal. Sebaliknya, ayat tersebut berpotensi menjadi alat untuk memingit perempuan dengan maksud mengalienasikannya dari ruang publik. Sebagaimana masa awal Islam, perempuan sangat jarang beraktivitas di ruang publik.
Alasannya, menurut Anwar, adalah—selain tempat tinggal istri-istri Nabi yang berdekatan dengan masjid—situasi politik dan sosial di Madinah saat itu tidak sepenuhnya ramah terhadap perempuan. Tanpa memandang status sosial perempuan, laki-laki sering malakukan ta’arrud—kekerasan di zaman pra Islam, yaitu mencegat perempuan di jalan-jalan untuk mengajaknya berbuat zina—dan mempermalukannya. Ini menjadi alasan yang seolah-olah “rasional” kenapa perempuan dipingit.
Khalil Abdul Karim, dalam Relasi Gender pada Masa Muhammad & Khulafaurrasyidin (2007), memberi contoh peristiwa perendahan perempuan tersebut; yaitu ketika seorang perempuan hendak melaksanakan salat subuh, ia dihadang seorang lelaki yang hendak memperkosanya. Kemudian perempuan tersebut berlari meminta tolong hingga bertemu segerombolan orang. Akhirnya perempuan itu ditemui oleh Nabi, dan lelaki yang meresahkannya dirajam.
Menurut Karim, tidak ada halangan apapun bagi lelaki yang hendak melakukan perkosaan terhadap perempuan, sekalipun di tempat suci. Dan ini juga, menurut Anwar, yang menjadi alasan Nabi menerima saran Umar untuk memingit istri-istrinya.
Namun, pemingitan telah menjelma lembaga yang berfungsi untuk mengontrol perempuan. Pada saat yang bersamaan laki-laki merasa aman karena tidak ada perempuan yang menjadi sumber godaan mereka. Oleh karenanya, laki-laki menganggap pemingitan sebagai langkah yang saling menguntungkan.
Itulah mengapa perempuan luput dari pandangan publik selama berabad-abad. Perempuan dikeluarkan dari dunia dan masyarakat, tidak memiliki akses terhadap perkembangan intelektual, agama, sosial, ekonomi. Perempuan dialienasi dari potensi mereka untuk menjadi makhluk sosial dan otonom. []