Mubadalah.id – Pernahkah kita benar-benar melihat lebih dalam lagi, tatapan seorang ibu yang sedang menggandeng anak difabelnya di ruang publik? Mungkin tampak biasa saja, senyum mereka, langkah mereka, bahkan gaya bicara mereka. Tapi di balik semua itu, sering kali tersembunyi kisah perjuangan panjang melawan stigma yang menempel, tidak hanya pada sang anak, tetapi juga pada diri orang tua.
Di Yogyakarta, kota yang terkenal ramah dan inklusif, ternyata masih menyimpan tantangan tersendiri bagi keluarga yang memiliki anak difabel. Stigma disabilitas bukan hanya soal tatapan sinis di jalan atau bisik-bisik di belakang. Ia bisa hadir dari sistem pendidikan, layanan kesehatan, hingga obrolan ringan antar tetangga.
Dan yang paling menyakitkan, stigma ini sering kali menusuk ke dalam hati orang tua yang memiliki anak difabel, membentuk apa yang disebut sebagai self-stigma atau rasa malu dan bersalah atas kondisi yang sebenarnya tidak pernah mereka minta.
Stigma yang tak Tampak
Konsep stigma sendiri sudah lama dikaji para ilmuwan. Erving Goffman, sosiolog ternama, menyebut stigma sebagai atribut yang “mencacatkan” identitas seseorang di mata masyarakat. Artinya, orang yang distigma akan selalu terlihat berbeda, bahkan lebih rendah secara sosial.
Dalam konteks disabilitas, stigma ini melekat begitu kuat karena perbedaan fisik dan perilaku anak-anak difabel kerap terlihat nyata dan tidak bisa tersembunyikan. Tak jarang, mereka disebut “tidak normal”, “bodoh”, “nakal”, atau label-label kejam lainnya yang memudarkan harga diri mereka dan juga harga diri orang tuanya.
Namun stigma bukan hanya datang dari masyarakat awam. Orang tua anak difabel juga sering menjadi korban stigma karena berelasi dengan individu yang terstigma (anak difabel). Seorang ibu bisa saja dipandang sebagai “ibu yang gagal” atau “ibu yang salah”, hanya karena memiliki anak dengan kebutuhan khusus. Bahkan dalam beberapa kasus, keluarga terdekat pun bisa ikut menjauh. Bayangkan betapa berat beban psikologis yang harus terpikul.
Namun demikian, tidak semua orang tua menyerah pada keadaan. Banyak di antara mereka yang memilih bangkit, belajar, dan melawan stigma tersebut dengan caranya sendiri. Ada yang pada awalnya mengalami penolakan, merasa malu, kecewa, bahkan marah. Tapi seiring waktu, mereka berproses menuju penerimaan. Proses ini tidak mudah, kadang membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Diskriminasi Struktural
Salah satu ibu dari seorang anak difabel di Yogyakarta menyebutkan bahwa dia baru bisa menerima kondisi anaknya setelah satu tahun penuh berjuang secara batin. Ia merasa tercerahkan setelah bertemu ibu lain yang memiliki anak dengan kondisi lebih berat. Perjumpaan itu menjadi titik balik, membuka matanya bahwa menerima kenyataan bukan berarti menyerah, melainkan langkah awal untuk bangkit.
Banyak orang tua kemudian mulai melakukan kegiatan secara aktif seperti membangun komunitas sesama orang tua anak difabel, mendirikan sekolah khusus, menulis buku, hingga melakukan advokasi sosial. Semua itu bukan hanya demi anak mereka, tetapi juga untuk membuktikan kepada dunia bahwa anak-anak difabel punya potensi luar biasa yang selama ini sering terabaikan.
Namun perjuangan ini bukan tanpa tantangan. Bentuk diskriminasi struktural masih sering mereka hadapi. Dari sistem pendidikan inklusif yang belum sepenuhnya siap, hingga layanan publik yang kurang sensitif. Seperti pernah tertolak saat hendak membawa anak autisnya naik pesawat. Padahal mereka sudah terbang pulang-pergi sebelumnya tanpa masalah. Ketakutan dan ketidaktahuan petugas menjadi akar dari diskriminasi itu.
Diskriminasi secara Simbolik
Tak hanya di ruang formal, diskriminasi juga terjadi secara simbolik. Tatapan tajam, gestur jijik, bisikan sinis, semuanya bisa menjadi luka yang dalam. Salah satu anak bahkan bertanya pada ibunya: “Mama, kenapa semua orang melihatku?” Sebuah pertanyaan polos yang menyayat.
Dalam banyak kasus, anak-anak difabel juga menyerap stigma itu, membentuk rasa minder dan rendah diri sejak dini. Itulah mengapa peran orang tua menjadi sangat penting, tidak hanya sebagai pengasuh, tetapi juga sebagai pelindung dan pembela harga diri anak mereka.
Tapi tidak semua label bersifat negatif. Dalam masyarakat tertentu, anak-anak difabel juga diberi label positif seperti “pembawa rezeki” atau “memiliki indra keenam”. Label ini tentu saja bisa membangun semangat, tapi juga berpotensi menjadi beban ekspektasi baru. Yang mereka butuhkan adalah sikap yang seimbang seperti menghargai keunikan anak tanpa membebaninya dengan harapan mistik yang tidak realistis.
Melawan stigma memang bukan hal mudah. Tapi setiap langkah kecil menuju penerimaan dan pemberdayaan adalah kemenangan besar. Ketika seorang ibu berani mengajak anaknya ke arisan, ketika seorang ayah tidak malu memperkenalkan anaknya di acara keluarga, atau ketika sebuah buku tertulis untuk menginspirasi orang lain, semua itu adalah bentuk perlawanan yang layak kita apresiasi.
Melawan Stigma
Yogyakarta sendiri sebagai kota yang digadang-gadang ramah disabilitas telah melakukan banyak upaya inklusif. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa stigma tidak bisa terselesaikan hanya dengan peraturan atau fasilitas fisik. Yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang masyarakat. Bahwa anak-anak difabel bukanlah aib, bukan pula beban, melainkan manusia dengan hak yang sama untuk kita hargai, dicintai, dan berkembang.
Akhirnya, perjuangan para orang tua anak difabel di Yogyakarta dan di seluruh Indonesia adalah kisah tentang cinta tanpa syarat. Keberanian untuk berbeda, dan kekuatan untuk berdiri di tengah badai stigma. Mereka bukan korban, melainkan pahlawan dalam diam.
Dan mungkin, tugas kita sebagai masyarakat tidak hanya memberi simpati, melainkan berdiri bersama mereka. Agar tak ada lagi yang merasa malu hanya karena menjadi berbeda. Agar setiap anak, tak peduli seperti apa kondisinya, punya tempat di tengah masyarakat yang adil dan manusiawi. []