Mubadalah.id – Suasana di Kampung Tangkil, Sukabumi, pada 27 Juni 2025 seharusnya penuh kedamaian. Sebuah rumah di kampung itu tengah digunakan sebagai tempat retret bagi anak-anak dan remaja Kristen. Mereka berkumpul untuk belajar, berdoa, dan mengisi waktu liburan sekolah dengan kegiatan rohani yang damai.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, suasana hening itu berubah menjadi teror.
Sekelompok warga mendatangi rumah tersebut. Dalam waktu singkat, jendela pecah, pagar rumah dirusak, dan perlengkapan ibadah dihancurkan. Ketakutan menyelimuti anak-anak yang ada di dalam rumah itu. Mereka menangis, panik, dan sebagian besar tak tahu mengapa ibadah mereka tiba-tiba menjadi sasaran kemarahan.
Dari 36 peserta yang hadir dalam retret, sebagian besar adalah anak-anak dan remaja kelompok yang paling rentan dan paling membutuhkan perlindungan.
Peristiwa ini bukan sekadar soal kerusakan fisik. Lebih dari itu, ini adalah kekerasan simbolik yang merobek nilai-nilai toleransi dan keberagaman yang selama ini digaungkan. Yang diserang bukan hanya rumah atau barang-barang, tapi rasa aman dalam menjalankan keyakinan.
Kejadian ini menyisakan pertanyaan besar yang terus bergema: apakah seseorang harus meminta izin terlebih dahulu untuk beribadah di rumah sendiri? Apakah hak untuk berdoa kini harus melewati administrasi dan persetujuan pihak tertentu?
Menjamin Kebebasan Beragama
Padahal, konstitusi negeri ini telah jelas menjamin kebebasan beragama. Pasal 28E dan pasal 29 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya. Artinya, selama tidak mengganggu ketertiban umum, setiap orang memiliki hak penuh untuk beribadah—bahkan di ruang privat sekali pun.
Namun realitas berkata lain. Perizinan administratif kerap kali jadi alasan pembenaran untuk membubarkan atau menolak kegiatan keagamaan kelompok minoritas. Keberagaman yang seharusnya dirayakan, malah dianggap sebagai ancaman. Keberadaan rumah ibadah non-muslim di beberapa wilayah pun tak jarang dipersoalkan, bahkan ketika ibadah dilakukan tertutup dan dalam lingkup kecil.
Melansir dari setara-institute.org, serangan di Sukabumi bukan kasus intoleransi pertama di Jawa Barat, tapi bagian dari pola yang kian gamblang. Setara Institute mencatat, sepanjang 2024 terjadi 260 peristiwa, 402 tindakan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia.
Jawa Barat menyumbang 38 peristiwa, tertinggi secara nasional, dan nyaris saban tahun berada di puncak daftar provinsi rawan. Bahkan dalam rentang 2007–2019, provinsi ini mengoleksi 629 kasus, menjadikannya juara kelam intoleransi di negeri ini.
Angka angka itu bukan sekadar statistik. Ia mewakili kelas Alkitab yang bubar di Cianjur, gereja yang tak kunjung mendapat IMB di Bekasi, dan kini retret anak di Sukabumi yang berujung teror.
Trauma Psikologis bagi Anak Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama
Yang paling mengkhawatirkan dari kejadian ini adalah dampak psikologisnya. Bagi anak-anak yang mengalami langsung insiden ini, luka batin yang tertinggal bisa sangat dalam.
Tempat yang seharusnya menjadi ruang aman justru menjadi lokasi trauma. Dalam jangka panjang, trauma ini bisa merusak cara mereka melihat dunia dan memaknai keberagaman.
Dan ketika kekerasan semacam ini terjadi, satu hal yang paling mencolok adalah ketidakhadiran negara. Tak ada pernyataan tegas dari aparat desa. Tak ada perlindungan nyata dari pihak berwenang. Negara seperti diam, atau lebih buruk: membiarkan. Padahal keberadaan negara seharusnya terasa paling nyata justru ketika warganya berada dalam posisi lemah dan terancam.
Perusakan rumah ibadah di Sukabumi harus menjadi peringatan serius, bahwa keberagaman kita sedang diuji. Toleransi yang selama ini diklaim menjadi kekuatan bangsa, nyatanya rapuh ketika dihadapkan pada kenyataan di lapangan. Negara tidak bisa terus-menerus absen. Ia harus hadir, bukan hanya untuk menengahi, tetapi untuk berpihak pada keadilan, pada konstitusi, dan pada rasa kemanusiaan.
Karena bila kita mulai membenarkan kekerasan atas nama mayoritas, maka yang akan hancur bukan hanya rumah ibadah tapi pondasi kemanusiaan kita sendiri. []