Mubadalah.id – Apa yang dulu dianggap sebagai kodrat perempuan, kini sebagian besar telah terbantahkan secara empirik. Fakta-fakta sosial menunjukkan bahwa sifat-sifat dasar yang selama ini kita yakini melekat pada perempuan atau laki-laki. Terutama yang terkait dengan peran sosial, ternyata tidak seperti yang diasumsikan.
Perbedaan itu sejatinya dibentuk oleh konstruksi sosial, bersifat relatif, dapat berubah, bahkan bisa saling dipertukarkan.
Karena itu, hari ini kita bisa dengan mudah menyaksikan perempuan-perempuan yang pintar, cerdas, dan bijak, tampil memimpin sebagai politisi, pebisnis, pendidik, dokter, atau profesional di banyak bidang lainnya.
Realitas ini, suka atau tidak suka, memaksa banyak kalangan dari berbagai disiplin ilmu untuk meninjau ulang pandangan mereka tentang kodrat perempuan. Khususnya dalam relasinya dengan laki-laki. Termasuk para ulama dan cendekiawan Islam dalam kajian fikih.
Sebab fakta sosial ini tak dapat, bahkan tak seharusnya, kita nafikan. Apalagi ketika kita membicarakan kembali persoalan-persoalan keagamaan yang berkaitan dengan pola hubungan laki-laki dan perempuan.
Lebih dari itu, pembedaan peran sosial perempuan yang terbangun atas dasar perbedaan biologis seringkali melahirkan praktik-praktik yang menzalimi perempuan. Ini jelas bertentangan dengan misi utama Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemaslahatan.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah mengingatkan bahwa segala bentuk kezaliman (zhulm) dan kerusakan (dharar) sekecil apa pun harus dihentikan dan dihapuskan.
Pembatasan aktivitas perempuan yang dahulu kerap dengan alasan melindungi, justru menjerumuskan pada ketidakmandirian dan ketergantungan yang merendahkan martabat perempuan. Bahkan, seringkali menempatkan mereka sebagai korban kekerasan, baik fisik, mental, maupun sosial.
Karena itu, rezim sosial yang otoriter dan menindas, dalam bentuk apa pun, patut kita lawan dan hentikan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad:
“Sebaik-baik jihad adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim” (afdhal al-jihad qawl al-haqq ‘inda sultan ja’ir). Termasuk terhadap rezim sosial yang mengekang kebebasan dan keadilan bagi perempuan. []