Mubadalah.Id– Masyarakat di tempat saya tinggal masih beranggapan bahwa pendidikan tinggi itu untuk anak laki-laki saja. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana pesan yang disampaikan oleh orang tua, keluarga, guru ngaji, masyarakat sekitar ketika saya masih kecil dulu (era tahun 90-an). Faktanya pendidikan tidak hanya untuk laki-laki.
“Deddih oreng bhinik jek asakolah ghi tenggih, deggik oreng lakek takok se nyandhereh, anak bhinik cokop taoh ngajih al-Qur’an ben paham ka essenah kitab Sullam Safinah lah sampornah deddih oreng bhinik, apah ghunah asakola tenggih mun ghik mulenah negguk chobik ben kochek”.
“Menjadi anak perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi, nanti para lelaki akan takut yang akan mendekat. Anak perempuan itu cukup bisa membaca al-Qur’an dan paham isi kitab Sullam Safinah. Maka dia sudah sempurna menjadi perempuan, apa gunanya anak perempuan sekolah tinggi jika sampai di rumah dia memegang cobek dan ulekan.”
Secara sederhana, persepsi umum tersebut berisikan pesan yang berkebalikan dan tidak terkatakan bahwa “pendidikan tinggi itu adalah hak prerogatif laki-laki”. Mengenaskan bukan?
Baca juga: Islamisasi bukan Arabisasi
Disadari atau tidak, persepsi umum dalam masyarakat sekitar tempat tinggal saya tersebut tidak lahir dengan sendirinya. Ada teks agama yang ikut menggiring pandangan umum masyarakat.
Ada tokoh agama yang terus mengecas pengetahuan agama umat dengan pandangan-pandangan yang memarginalkan perempuan. Menempatkan anak perempuan di posisi yang inferior dalam struktur sosial budaya.
Kembali kepada teks yang seringkali dijadikan pijakan dan seringkali terdengar di telinga ketika acara pengajian-pengajian. Pada saat ceramah agama di masjid-masjid desa atau di mushola kampung.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: bahwa “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (Riwayat Ibnu Majah).
Baca juga: Tidak Hanya Lelaki, Perempuan Juga Harus Berpendidikan
Kata “muslim” pada hadist di atas seringkali dimaknai mereka “laki-laki.” Kata “muslim” dalam bahasa Arab menunjukkan mudzakkar (laki-laki), dan hadist tersebut tidak berbunyi teksnya “muslimah” yang mana kata muslimah itu menunjukkan makna mu’annats (perempuan).
Dengan menggunakan kritik bahasa, seperti yang seringkali disampaikan oleh Dr. Nur Rofi’ah bahwa kita harus mengetahui jika bangsa Arab utamanya struktur bahasa Arab itu kental dengan nuansa “gender”.
Seringkali ucapan bahasa Arab itu sudah menunjukkan apakah dia itu untuk laki-laki (mudzakkar)-huwa, hum, anta, atau kepada perempuan (mu’annats)-hiya, hunna, anti.
Pembedaan struktur kata dan ucapan dalam bahasa Arab lebih mengedepankan perbedaan gender. Hal itu menjadikan teks al-Qur’an dan hadits lebih bernuansa perbedaan gender.
Baca juga: Dilema Muslimah Jomblo: Pendidikan Tinggi atau Nikah?
Pengetahuan bahasa Arab yang termanifestasi dalam teks al-Qur’an dan teks hadits kemudian diperjelas ulama fiqih. Ulama menuliskannya dalam kitab-kitab menggunakan bahasa Arab.
Hal itu menjadikan umat Islam yang membaca dan mempelajari pengetahuan keagamaan Islam melalui teks-teks Arab terkontaminasi pengetahuan bangsa Arab yang lebih bias gender.
Sehingga ketika mereka yang dianggap sebagai ulama ahli dalam ilmu agama mendakwahkan Islam secara literal, rigid, kaku, dan beku akhirnya tanpa adanya ruang untuk saling menyapa kepada mereka yang dianggap berbeda.
Dan ironisnya, pengetahuan keagamaan itulah yang sampai kepada umat Islam sehingga sampai kepada masyarakat di kampung kelahiran saya.
Kondisi inilah yang disebut oleh Fazlur Rahman, tokoh reformis pemikiran Islam sebagai “pembekuan” dalam pengetahuan keagamaan umat Islam.
Karenanya, melihat teks tidak hanya melihat secara literal dan membacanya seperti yang dibaca oleh bangsa Arab. Tapi mulailah untuk membuka ruang berbagi, bahwa teks tidak lahir dengan sendirinya.
Sebagai akhir kata dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa sudah tidak sesuai dengan kebutuhan zaman jika membedakan pendidikan kepada anak laki-laki dan kepada anak perempuan. Pendidikan adalah untuk semua, untuk anak laki-laki dan untuk anak perempuan.
Demikian pada hakikatnya pendidikan tidak hanya untuk laki-laki. Sebagai anak bangsa, baik laki-laki, maupun perempuan berhak mendapatkan akses pendidikan. Sebagaimana dikatakan oleh UUD 1945.[]