Mubadalah.id – Dunia maya kini diramaikan oleh viralnya seorang pria tendang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur pada Senin 11 Januari 2022. Kejadian memprihatinkan tersebut diberitakan oleh berbagai media masa dan membuat masyarakat resah.
Kejadian tersebut sontak membuat beberapa tokoh berkomentar seperti MUI melalui twitter KH Cholil Nafis, kemudian Direktur Wahid Foundation, Yenni Wahid.
Penulis akan mengurai tentang Sesajen baik dari sisi historis maupun filosofis, karena Sesajen memiliki sejarah panjang mengapa hingga saat ini masih di lestarikan.
Dari sudut akademis dalam riset berjudul Sesajen: Menelusuri Makna dan Akar Tradisi Sesajen Masyarakat Muslim Banten dan Masyarakat Hindu Bali yang diterbitkan oleh LP2M UIN SMH Banten pada 2021 inti dari sesajen adalah warisan budaya tradisional yang bertujuan untuk mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan.
Sesajen menjadi budaya masyarakat Indonesia yang hingga saat ini masih dilestarikan. Awalnya budaya sesajen pada masa lampau dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan, dan lain – lain) yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan, seperti upacara menjelang panen yang mereka persembahkan kepada Dewi Sri (dewi padi dan kesuburan) yang masih dipraktikkan di sebagian daerah Jawa, Banten dan Bali.
Di Cirebon Jawa Barat misalnya ada Tradisi Nadran, yaitu upacara sedekah laut, dengan memberikan sesajen kepada alam. Ritual ini dilakukan oleh nelayan dengan melarungkan sesajen itu menjadi wujud syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki lewat laut.
Nadran dilaksanakan sekali setahun di wilayah pesisir Cirebon, seperti Gunung Jati, Gebang dan Losari. Tujuan membuang sesajen atau nglarung (membuang kesialan) ke laut yang masih banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir pantai Selatan pulau Jawa dan juga di beberapa pesisir Banten.
Sama halnya para penduduk di lokasi Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur membuat sesajen sebagai bentuk membuang sial dan berharap bencana cepat selesai. Warga disana membuat ruwatan sebagai salah satu ritual penyucian untuk membebaskan atau melepaskan seseorang yang diruwat dari hukuman atau kutukan dewa yang menimbulkan bahaya.
Dalam hal ini sesajen sedang dilaksanakan di Gunung meletus Semeru di Lumajang Jawa Timur.
Salah satu unsur sepiritual yang melekat di tanah Jawa adalah sesaji yang digunakan untuk persembahan kepada Dzat Ilahi dan juga makhluk-makhluk halus lainnya. Akan tetapi ritual ini dipandang sangat aneh ketika dihadapkan dengan modernisasi dan globalisasi.
Para leluhur menciptakan ritual sesajen merupakan pemikiran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan di setiap masa, simbol yang tetkandung di dalam sesajen merupakan pelajaran yang harus di pelihara di setiap generasi.
Dalam konsep self sosial menurut Baron dan Byrne (2005) Baron, A. Robert & Bryne Donn. (2005) bahwa Sesajen mengandung makna berkelanjutan demi menjaga nilai dan norma di masyarakat, yang di harapkan oleh para leluhur. Sesajen memiliki makna setiap manusia lebih mendekatkan diri pada Tuhan Yang maha Esa, serta tanpa henti berdo’a. Identitas ini sangat melekat dan dijadikan suatu ciri khas oleh masyarakat tradisional.
Suatu tradisi memiliki nilai waris yang sangat tinggi untuk di masa depan, keharmonisan antar makhluk menjadi sangat damai dan dapat terpelihara. Sampai sekarang, banyak penulis membahas nilai warisan budaya, termasuk definisi dan teori, serta, metode untuk mengevaluasi nilai warisan budaya dalam praktek.
Munculnya kebudayaan ini tidak terlepas dari unsur budaya Hindu yang melekat di masyarakat Indonesia khususnya di wilayah Jawa dan Bali, dan menjadi akulturasi dan bercampurnya budaya dengan budaya yang baru masuk ke Indonesia, seperti sesajen akulturasi dari budaya Hindhu-Islam.
Jadi secara historis dan filosofis bahwa Tradisi sesajen memiliki fungsi adat dan sosial yang berdampak positif, sehingga masyarakat terus melestarikan. Tak heran kejadian seorang pria menendang dan membuang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur menjadi perhatian.
Pengurus MUI, KH Cholil Nafis melalui akun Twitternya @cholilnafis, Senin 10 Januari 2022 mengatakan sesajen di Gunung Semeru bisa saja ditaruh sebagai budaya atau keyakinan warga setempat. Namun terkait hal itu, menurutnya, aksi tendang sesajen tidak dibenarkan. Karena tindakan tersebut dinilai merendahkan keyakinan dan kebudayaan orang lain.
“Soal sesajen itu bisa karena keyakinan, bisa karena budaya. Tapi apapun alasannya, tak dibenarkan merendahkan keyakinan atau budaya orang lain. Saya menyesalkan perilaku menendang sesajen di gunung itu atas nama apapun,” cuit Kiai Cholil dalam akun Twitternya.
Sementara Direktur Wahid Foundation Zannuba Arifah Chafsoh Rahman Wahid atau Yenny Wahid menilai perbuatan menendang dan membuang sesajen di Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur, adalah perbuatan yang mencederai keyakinan. Yenny mengatakan, setiap orang boleh memiliki keyakinan yang berbeda. “Yang tidak boleh itu adalah mencederai atau menyakiti keyakinan orang lain. Itu tidak boleh,” kata Yenny dikutip kompas.com pada 12 Januari 2022.
“Jadi, kalau ada yang menendang atau membuang sesajen, itu mencederai kepercayaan orang lain. Berarti harus menunjukkan bahwa harus lebih meningkatkan lagi rasa saling menghormati di antara masyarakat,” ungkapnya. Dia menilai, setiap orang memiliki perbedaan dan boleh berbeda dalam hal apapun.
Komentar KH Cholil Nafis dan Yenny Wahid mewakili masyarakat terkait dengan viralnya anak muda yang tidak menghargai kearifan lokal budaya masyarakat di sekitar Gunung Semeru. Kejadian tersebut benar sangat mencederai nilai arif dan bijak masyarakat Jawa khususnya di Lumajang Jawa Timur.
Dari berbagai data, penulis menyimpulkan bahwa sesajen merupakan identitas budaya, akulturasi dan kearifan lokal masyarakat tradisional di Indonesia, dengan menunjukkan daerah yang masih kental akan budaya sesajen ialah, Jawa dan Bali.
Kejadian viral seorang pria menendang dan membuang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur menunjukkan bahwa budaya sesajen mulai luntur seiring berkembangnya zaman, serta tidak diminati oleh kalangan muda. Hal tersebut menjadi tantangan bagaimana generasi muda bisa belajar dan memaknai nilai arif dan bijak dalam tradisi sesajen khususnya di Jawa dan Bali.
Kemudian, penampilan sesajen pun sangat sederhana dengan balutan kopi, rujak, rokok, bara api dan lainnya. Berbeda dengan zaman dulu yang dimana isi sesajen begitu variasi dan memiliki makna dan simbol yang positif untuk kehidupan bermasyarakat.
Saat ini yang terpenting adalah bagaimana kita bisa membuat model pelestarian dengan cara menurunkan ilmunya ke generasi selanjutnya. Sebagai wujud untuk menjaga dan melestarikan kearifan lokal yang sarat akan nilai dan makna untuk kehidupan manusia itu sendiri. []