Mubadalah.id – Mengenai nikah mut’ah sebenarnya mayoritas ulama telah menyepakati keharamannya. Dalam kitab Fiqih Islam wa adilatuhu, Wahbah az-Zuhaili mengatakan keempat madzhab dan mayoritas para sahabat telah bersepakat bahwa nikah mut’ah dan sejenisnya merupakan pernikahan yang haram dan batil.
Menurut para ulama Hanafiah, pernikahan semacam itu batal, hanya saja Imam Zafar berpendapat bahwa pernikahan temporal tersebut sah, dan syarat tempo (waktu) itu dianggap rusak atau batal. Namun Syiah Imamiah berpendapat berbeda, mereka memperbolehkan menikah mut’ah atau nikah temporal dengan perempuan Muslimah atau ahli kitab, dan dimakruhkan dengan perempuan pezina.
Jika merujuk pada dalil yang dipaparkan Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab tersebut, Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ semuanya menyepakati dilarangnya nikah mut’ah. Adapun jika menemukan dalil atau pernyataan pengecualian terkait produk hukum di masa lalu, sebagai pembaca, kita harus mempertanyakan kebenarannya jika tidak sesuai dengan nilai universal ajaran agama.
Begitu pun dengan nikah di bawah tangan, atau yang sering dikenal dengan istilah nikah sirri. Pernikahan ini masih populer di beberapa kalangan masyarakat, bahkan ada yang menamainya dengan istilah ‘Kawin Kiai’, sebuah istilah yang lahir bahwa pernikahan tetap dianggap sah asalkan rukun dan syaratnya terpenuhi walau tidak tercacat di KUA.
Lantas bagaimana hukum nikah mut’ah dan nikah sirri? Mengapa nikah mut’ah itu dilarang? Apakah niat nikah mut’ah yang akad temporalnya tidak diucapkan saat ijab qabul bisa dihukumi mut’ah? Apa pandangan dan alasan masyarakat yang masih melakukan praktik nikah sirri? dan apa alasan penting mengapa pernikahan itu harus tercatat di KUA?
Untuk memperoleh jawaban dari kegelisahan-kegelisahan tersebut, silakan kunjungi program ngaji malam sabtu bersama KH. Husein Muhammad di kanal youtube Mubadalah, dengan link berikut ini: