• Login
  • Register
Kamis, 2 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Apa yang Salah dengan Kemanusiaan Kita?

“Cintailah kepada manusia sebagaimana kamu mencintai untuk dirimu sendiri”

Habibus Salam Habibus Salam
06/10/2020
in Kolom, Personal
0
stigma negatif janda

stigma negatif janda

133
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

November 2019 silam, sepulang dari menghadiri Indonesia Sharia Economic Festival di Jakarta, saya duduk menunggu jadwal penerbangan saya ke Semarang di bandara Soekarno Hatta. Saya sengaja datang 3 jam lebih awal dari jadwal penerbangan, di samping karena ingin tidak terburu-buru dan kepepet dengan arus lalu lintas ibu kota yang padat, saya juga memang ada janji temu dengan seorang kolega yang seharusnya satu penerbangan dengan saya, kalau saja dia tidak harus bertolak ke Yogyakarta dikarenakan satu dan dua hal.

Akhirnya kami bertemu, membicarakan banyak hal terkait pengembangan ekonomi pesantren dan dagelan-dagelan ringan. Singkatnya, ternyata bukan hanya tujuan penerbangannya yang berubah, tetapi jadwal penerbangan kolega saya ini ternyata juga berubah dan maju 1 jam lebih awal dari jadwal keberangkatan saya. Alhasil, tinggallah saya sendiri, menunggu giliran jadwal keberangkatan.

Memang benar kata kebanyakan orang, bahwa menunggu itu ternyata membosankan, belum 20 menit sejak kolega saya berangkat, saya sudah harus berkali-kali menggeser posisi duduk saya, membuka buku, dan sesekali melihat jam di handphone saya untuk melihat seberapa lama lagi saya harus duduk gabut seperti ini.

Di seberang deretan kursi tunggu, saya melihat ada smoking room yang tengah dimasuki oleh beberapa lelaki, saya pun kemudian berinisiatif untuk memakai fasilitas umum itu untuk mengisi kekosongan waktu. Tak lama, saya mulai merogoh tas tangan untuk mencari sebungkus rokok yang tadi saya beli sebelum berangkat ke bandara.

Belum sempat sempurna saya berdiri, tiba-tiba saya dikagetkan dengan tangisan bayi yang kencang sekali, saking kencangnya, tidak hanya saya saja yang teralihkan perhatiannya, hampir semua orang yang awalnya sibuk denga urusannya sendiri-sendiri pun juga demikian. Semua mata tertuju pada sumber suara tangisan itu.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja
  • Perempuan, Patah Hati, dan Krisis Percaya Diri
  • Kisah Saat Perempuan Menawarkan Diri Untuk Menikah Pada Masa Nabi Saw
  • Benarkah Perempuan Makhluk Pengganggu?

Baca Juga:

Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja

Perempuan, Patah Hati, dan Krisis Percaya Diri

Kisah Saat Perempuan Menawarkan Diri Untuk Menikah Pada Masa Nabi Saw

Benarkah Perempuan Makhluk Pengganggu?

Saya menoleh ke arah tangisan bayi yang ternyata berada tiga kursi tepat di belakang tempat saya duduk. Saya lihat si Ibu mulai tidak nyaman dengan banyaknya mata yang tertuju ke arahnya, ia mencoba meninabobokan anaknya yang tengah kehausan dan butuh disusui itu. Dan tetap saja, si bayi tidak kunjung berhenti menangis.

Akhirnya, mungkin karena tidak nyaman telah menjadi pusat perhatian, si ibu sepertinya menyerah dan mulai membuka kancing bajunya untuk memberikan ASI untuk anaknya. Saya lihat ada kecanggungan ketika dengan hati-hati si ibu mengeluarkan payudaranya sambil menoleh kanan dan kiri untuk memastikan bahwa tidak ada mata yang tengah tertuju pada aktifitasnya itu. Saya buru-buru memalingkan wajah dan duduk kembali, takut menambah rasa canggung si ibu.

Saya melihat bungkus rokok yang sedari tadi saya genggam, kemudian  saya alihkan pandangan saya ke arah smoking room yang sekarang bertambah banyak penggunanya. Entah kenapa, niat saya untuk merokok jadi hilang. Mungkin karena sempat teralihkan oleh suara tangisan bayi tadi, mungkin juga karena smoking room tadi sudah lumayan penuh, atau mungkin karena malu. Malu kepada seorang ibu yang harus merasa tidak nyaman, canggung, dan takut bagian tubuhnya terekspose hanya karena ingin memenuhi kewajibannya sebagai seorang ibu; menyusui anaknya.

Alasan yang terakhir ini cukup menyita pikiran saya bahkan sampai pesawat saya landing di Semarang, yakni perihal fasilitas publik bagi ibu dan anak di Indonesia yang masih minim sekali. Bahkan secara umum kebutuhan perempuan acap kali masih dianggap klise dan tidak terlalu penting.

Untuk mewujudkan lingkungan yang ramah perempuan memang merupakan upaya yang tidak hanya butuh kesadaran kolektif, tetapi juga butuh upaya sistemik, karena ini menyangkut kepentingan kapital yang ujung-ujungnya adalah “cuan”. Kita masih harus terus berproses dan memproses hal itu.

Padahal, isu solidaritas sebagai sesama manusia adalah hal yang tidak kalah penting. Jika kita selalu mengedepankan alasan bahwa kita tidak punya cukup amunisi untuk mengupayakan apa yang kita sebut dengan ‘pengarustamaan gender’ secara sistemik ke dalam kebijakan publik kita secara umum, paling tidak kita masih bisa memulainya dari diri sendiri. Namun, sejauh ini pun saya rasa belum maksimal.

Ngomong-ngomong, ibu dan anaknya yang menangis karena meminta ASI tadi tidak duduk sendirian. Ada beberapa perempuan lain di sampingnya yang saya lihat hanya sebentar saja menoleh ke si bayi dan kemudian beralih ke gadget masing-masing. Tidak ada tanya bahkan menyarankan hal lain. Mereka hanya diam.

Saya ingat beberapa waktu yang lalu, saya menonton video beberapa atlet perempuan luar negeri sedang bertanding sepak bola, salah satu pemainnya ada yang memakai hijab. Ketika beradu skill merebut bola, ada insiden yang membuat hijab si atlet terlepas. Seketika kawan dan lawannya mengitarinya, memberinya ruang tertutup untuk membenahi hijabnya dan kemudian melanjutkan permainan.

Loh, kok beda ya? Kenapa atlet-atlet perempuan itu, yang saya yakin berbeda agama dengan si atlet berhijab tadi, sebegitu pedulinya sampai melupakan bahwa mereka sedang dalam pertandingan, hanya untuk membentuk lingkaran agar si atlet berhijab tadi punya ruang tertutup untuk membenahi hijabnya tanpa harus khawatir auratnya terekspose?

Kenapa perempuan-perempuan di samping si Ibu dan bayinya yang sedang menangis di bandara tadi memilih masa bodoh, dan memilih membiarkan si ibu menyusui anaknya dengan perasaan insecure bagian intim tubuhnya akan terekspose di bandara yang berkapasitan lebih dari seribu orang itu? Saya yakin perempuan-perempuan tadi masih seagama dengan si ibu, melihat mereka sama-sama memakai hijab.

Apa yang salah, ya? Bukan kah selain ikatan darah,  agama, dalam hal ini Islam, adalah alasan yang lebih dari cukup untuk menyebut orang lain sebagai saudara? Seperti yang dipesankan Nabi Muhammad Saw. yang terekam dalam Shahih Bukhari hadits ke-2262;

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti, siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari qiyamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari qiyamat.

Bahkan, jika pun bukan karena seagama, bukankah perempuan-perempuan tadi adalah sama-sama manusia, sama-sama perempuan. Bukankah Nabi Muhammad Saw. juga mewasiatkan hal ini? sebagaimana terekam dalam Musnad Imam Ahmad hadits ke-1605;

“Cintailah kepada manusia sebagaimana kamu mencintai untuk dirimu sendiri”

Khazanah kita sebagai umat muslim sudah lebih dari cukup untuk memberikan tuntunan bagaimana seharusnya kita membangun hubungan kesalingan dan kepedulian kepada sesama manusia, terutama dalam kasus ini kepada mereka yang sesama permpuan. Lalu, apa yang salah? []

Tags: agamakemanusiaanKesalinganperempuan
Habibus Salam

Habibus Salam

Alumni Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Al-Anwar dan Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang, Penulis Lepas, Pegiat Literasi dan Kajian Keislaman, Dewan Pengurus Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (HEBITREN) Wilayah Jawa Tengah

Terkait Posts

Nikah di KUA

Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA

2 Februari 2023
Wasiat Buya Husein

Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad

1 Februari 2023
Patah Hati

Perempuan, Patah Hati, dan Krisis Percaya Diri

31 Januari 2023
Kesehatan Calon Pasangan

Pentingnya Mengetahui Kesehatan Calon Pasangan Sebelum Menikah

31 Januari 2023
Pengelolaan Sampah

Bagaimana Cara Melakukan Pengelolaan Sampah di Pengungsian?

31 Januari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nyadran Perdamaian

    Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Tradisi Nyadran Perdamaian di Temanggung Jawa Tengah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Saat Nabi Saw Tertawa Karena Mendengar Cerita Kentut dari Salma

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA
  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja
  • Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist