• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Apakah Inferior Sifat Alami Perempuan?

Wanda Roxanne Wanda Roxanne
28/10/2020
in Keluarga, Kolom
0
227
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Baru-baru ini netizen di media sosial membicarakan tentang angkat galon. Hal ini diawali oleh cuitan tentang perempuan yang mandiri dan kadang tidak membutuhkan laki-laki, tetapi laki-laki tetap butuh perempuan sebagai pelengkap. Kemudian netizen lain merespon itu dan mengatakan “sebagian dari perempuan ada yang encok saat angkat galon”, lalu mempertanyakan apakah ada perempuan yang menjadi Nabi.

Di sini yang dipersoalkan adalah gender mana yang lebih superior, yang mana mengacu pada laki-laki yang lebih superior dan kuat. Di posisi ini, tentu saja perempuan adalah pihak yang inferior. Sebenarnya tentang galon ini, gampang sekali apalagi dengan bantuan alat tanpa harus encok. Sekarang sudah ada dispenser yang tidak perlu mengangkat galon atau bisa menggunakan pompa. Dari garasi ke dalam rumah juga bisa pakai trolley.

Selama di perantauan sekitar delapan tahun, saya mengurusi semua kebutuhan saya sendiri termasuk mengangkat galon dari lantai satu ke lantai dua. Saat tinggal bersama orang tua, saya kebagian tugas untuk membeli dan mengangkat galon ke dispenser. Sebenarnya ini hanya tentang pembagian kerja kok. Di dalam rumah tangga tentu butuh kerjasama semua anggota keluarga. Untuk memudahkan, maka ada pembagian tugas domestik.

Dalam buku “Apakah Takdir Perempuan Sebagai Manusia Kelas Dua?”, Evelyn Reed mengatakan bahwa dalam sejarah manusia pemburu dan mengumpulkan makanan, perempuan tidak dianggap cacat atau lemah karena kondisi biologisnya (mensturasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Perempuan juga tidak dipinggirkan dalam masyarakat akibat peran keibuannya sebelum terbagi dalam kelas-kelas sosial.

Saat itu perempuan tidak dianggap inferior karena kondisi biologisnya dan kerja domestiknya. Lebih berat mana pekerjaan laki-laki pemburu atau perempuan yang menjaga anak-anak, tempat tinggal, dan mencari bahan makanan di sekitar tempat tinggalnya?

Baca Juga:

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Tentu saja tidak bisa dibandingkan karena itu adalah pembagian kerja dalam rumah tangga atau lebih besar lagi dalam kelompok. Tapi, jika memang tidak bisa dibandingkan perannya, mengapa posisi perempuan seringkali di bawah laki-laki?

Jika mengangkat galon dipandang sebagai hal yang superior dan butuh kekuatan, bagaimana dengan perempuan yang hamil selama sembilan bulan, melahirkan, nifas, menyusui, menggendong dan mengasuh anaknya sampai besar? Tanpa kekuatan fisik, apakah mungkin tugas itu dilakukan dengan baik?

Jangan lupa kepada perempuan-perempuan dengan kondisi biologisnya dan masih bekerja. Ibu-ibu pedagang dan petani yang membawa barang dagangan atau membawa puluhan kilogram hasil panen di kepalanya. Juga Ibu-ibu yang keluar-masuk kereta, naik-turun tangga, dan tetap memompa ASI. Kemudian saat pulang ke rumah mereka harus dihadapkan dengan tugas domestik.

Beban ganda ini seringkali dianggap sebagai “biasa saja” atau bahkan “bukan kodrat perempuan.” Tapi jika laki-laki yang melakukan hal yang sama, tentu orang lain akan menganggapnya pahlawan.

Dalam buku Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith, Katrine Marcal berkata, “Melahirkan bayi, membesarkan anak, merawat kebun, memasak makanan untuk saudara-saudara, memerah susu sapi keluarga, menjahit pakaian untuk kerabat, atau mengurusi Adam Smith agar ia menulis The Wealth of Nations. Tak ada satu pun dari semua itu dihitung sebagai ‘aktivitas produktif’ dalam model ekonomi standar.”

Masyarakat seringkali mengecilkan peran perempuan dalam kerja domestik karena pekerjaan itu tidak bisa menghasilkan uang. Padahal kerja domestik perempuan tentu saja mempengaruhi kondisi ekonomi keluarga. Padahal bisa saja suami dan isteri sama-sama bekerja dari jam 8-17.00, isteri tidak ingin memiliki anak dan melakukan hal-hal yang sama seperti yang dilakukan suaminya. Kemudian siapa yang membereskan rumah, menyiapkan makan, mencuci baju hingga urusan memesan galon dan mengangkatnya?

Tentu bisa saja membayar orang lain untuk itu. Tapi, apakah tujuan pernikahan? Salah satunya adalah agar memiliki keturunan. Maka konsep pembagian kerja adalah hal paling masuk akal. Siapa yang berperan dalam kerja keluarga, dan siapa yang melakukan kerja sosial. Kemudian keduanya berkolaborasi untuk mengerjakan tugas tertentu seperti pengasuhan anak.

Saya ingat, ada seorang brand ambassador yang mengatakan bahwa kodrat perempuan itu dipimpin dan kodrat laki-laki memimpin. Seolah perempuan terlahir dengan sifat inferiornya yang pasif dan tidak bisa mandiri. Jika manusia tidak bisa menjadi tuan atas dirinya sendiri, tentu manusia akan terus-menerus menjadi korban kedzoliman. Jangankan membantu orang lain, membantu diri sendiri saja tidak mampu.

Simone de Beauvoir mengatakan bahwa perempuan adalah “the second sex” dalam sistem patriarki. Memiliki jenis kelamin kedua berarti perempuan menjadi penghuni kelas dua yang kepentingannya selalu dinomorduakan. Selain itu ada juga istilah “perekonomian kedua” yang secara turun-temurun dilaksanakan oleh laki-laki yang membuat kerja perempuan sebagai “yang lain”, “the other”, atau liyan.

Katrine Marcal mengatakan bahwa perempuan dibebani tugas untuk mengurus orang lain, bukan untuk memaksimalkan perolehannya sendiri. Masyarakat meyakini bahwa perempuan tidak bisa rasional karena fungsi biologisnya (hamil, melahirkan). Karena kerja keluarga tidak menghasilkan uang, maka kerja perempuan berada di bawah posisi laki-laki.

Jika pernikahan adalah institusi untuk bekerjasama, bukankah harusnya posisi laki-laki dan perempuan itu setara? Jika superioritas adalah milik anggota keluarga yang menghasilkan uang, maka anggota keluarga lainnya juga berhak untuk memiliki kemandirian ekonomi bahkan meninggalkan pekerjaan domestiknya.

Tapi, sekali lagi, pernikahan dan keluarga adalah hubungan kesalingan dan kerjasama. Tanpa kerja domestik, pekerjaan sosial tidak akan berjalan lancar. Begitu juga sebaliknya. Karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki sifat interior dan superior, sekaligus harus tahu kapan mengatur dan diatur. Siapa yang mengangkat galon, siapa yang memasak, siapa yang menyuapi anak, siapa yang memandikan anak, dan seterusnya. []

 

Tags: keluargaKesalinganlelakiorang tuaperempuanRelasi
Wanda Roxanne

Wanda Roxanne

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID