Mubadalah.id – Beberapa waktu terakhir ini, algoritma tik-tok merekomendasikan kepada saya video-video tentang kritik terhadap agama Islam. Seperti tentang kebolehan suami untuk memukul istri, superioritas muslim atas non-muslim. Hingga persoalan larangan muslim untuk berhubungan atau berteman dengan non-muslim serta hal-hal lain yang pada dasarnya mempertanyakan keadilan di dalam ajaran Islam.
Menariknya, dalam salah satu video-video tersebut muncul komentar bahwa teroris adalah muslim yang sebenarnya. Muslim yang damai justru adalah muslim yang tidak mengetahui agamanya (terrorist are the true muslim, the peaceful muslim do not know their religion).
Komentar tersebut tertuju pada satu video yang menampilkan percakapan seorang muslim yang ditanya mengenai hukum mengucapkan salam kepada orang non-muslim. Ia menjawab bahwa pada dasarnya seorang muslim boleh untuk menyampaikan kedamaian kepada setiap orang.
Jawaban ini kemudian penanya bantah dengan membacakan hadis “janganlah kalian awali mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka di jalan, maka desaklah hingga ke pinggirnya”.
Hadis ini kemudian menjadi dasar dalam video tersebut untuk menyatakan bahwa kedamaian yang seringkali umat muslim klaim tidaklah berasal dari ajaran Nabi Muhammad. Melainkan dari ketidaktahuan umat muslim dengan agamanya sendiri.
Tantangan Untuk Memahami
Harus kita akui bahwa tidak mudah untuk memahami dengan tepat makna-makna dalam berbagai sumber hukum Islam. Untuk menemukan hukum yang tepat dan benar, metode yang kita gunakan haruslah dapat kita pertanggungjawabkan.
Penemuan hukum tersebut pun harus dilakukan oleh seseorang yang kredibel dan dapat kita percaya. Oleh karenanya kita kenal ilmu ushul fiqh, ulumul hadits dan berbagai disiplin ilmu lainnya yang kita tujukan sebagai jalan untuk menemukan hukum dalam Islam.
Saya kira rumitnya proses penemuan hukum tersebut harus benar-benar kita pahami dan kita terima. Tujuannya agar kita sebagai seorang muslim yang damai tidak tergesa-gesa untuk menilai suatu hal sebagai hukum dalam Islam.
Pemahaman yang setengah-setengah terhadap hukum Islam juga berpotensi memunculkan pendapat yang kurang tepat. Seseorang yang hanya mengenal konsep talak misalnya, akan mengatakan bahwa hanya suamilah yang dapat memutuskan perceraian.
Padahal dalam fikih masih ada konsep fasakh dan tafriq qadha’i yang memungkinkan putusnya perkawinan tidak dari pernyataan talak suami.
Kaidah Fikih
Nampaknya karena memahami kerumitan-kerumitan tersebut, ulama-ulama kemudian merumuskan metode-metode yang mempermudah proses penemuan hukum. Salah satunya ialah kaidah-kaidah fikih (qawaidhul fiqhiyyah).
Kaidah fikih merupakan suatu rumusan hukum yang bersifat menyeluruh dan merangkum berbagai permasalahan furu’iyyah yang tidak terhitung jumlahnya. Hal ini juga menjadi cerminan atas hakikat dari fikih serta secara tidak langsung menunjukkan landasan pemikiran dari suatu hukum fikih (Haq et al., 2009).
Di mana kaidah fikih dapat membantu kita untuk menemukan jawaban atas sejumlah persoalan-persoalan pelik yang kerap kita ajukan dalam agama Islam. Seperti ketika kita harus menjawab hukum perkawinan anak yang mana seringkali bersandar pada perkawinan antara Rasulullah dengan Siti Aisyah.
Seyogyanya kita butuhkan sejumlah disiplin ilmu seperti ulumul hadits dan ushul fiqh untuk dapat memberikan makna serta menarik kesimpulan hukum dari riwayat tersebut. Sehingga kita membutuhkan waktu dan proses tertentu untuk dapat sampai pada satu kesimpulan hukum.
Proses penemuan hukum dalam persoalan tersebut dapat lebih mudah dan sederhana jika kita gunakan kaidah fikih. Dengan menggunakan kaidah Ad-Dharar Yuzal (Bahaya Harus kita hilangkan) atau dengan sub kaidahnya. Yaitu Dar’ul Mafasid Awla Min Jalbil Mashalih (Mencegah Bahaya Lebih Utama Daripada Menarik Datangnya Kebaikan) maka perkawinan anak seharusnya tidak serta merta kita anggap boleh untuk dilakukan.
Hal ini karena perkawinan anak di masa sekarang membahayakan bagi kondisi psikis dan fisik anak. Risiko kematian akan semakin besar karena kondisi fisik perempuan yang masih berstatus anak cenderung belum siap untuk hamil dan melahirkan.
Sementara itu, untuk menjawab persoalan mengapa atau benarkah Rasulullah menikahi Aisyah saat masih berusia anak, kita membutuhkan kajian lebih lanjut. Yakni dengan menggunakan sejumlah pendekatan lainnya. Namun demikian, kesimpulan yang kita hasilkan melalui penggunaan kaidah fikih setidaknya dapat menjadi pegangan awal sebelum melakukan penelitian lebih lanjut atas masalah hukum tersebut.
Tidak Perlu Kaget
Dengan mengingat adanya sighat nahi (kata larangan) di dalam hadis mengenai salam di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya mengucapkan salam kepada non-muslim kita anggap sebagai perbuatan terlarang.
Namun demikian, jika ditinggalkannya pemberian salam kepada non-muslim akan menimbulkan kemudharatan, maka dapat kita terapkan kaidah Ad-Dharuratu Tubihul Mahdhurat (kondisi dharurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang). Sehingga pemberian salam menjadi hal yang boleh untuk kita lakukan.
Kesimpulan di atas tentu rasanya kurang memuaskan karena mengesankan oportunitas dibanding ketulusan. Pada titik inilah kita membutuhkan lebih dari sekedar kaidah fikih untuk memberikan penjelasan lebih lanjut. Dengan memperhatikan konteks saat hadis tersebut Rasulullah ucapkan.
Maka dapat kita pahami bahwa hadits ini muncul saat umat muslim sedang berperang dan terjadi pengkhianatan oleh kelompok yahudi. Sehingga sudah barang tentu tidak perlu diucapkan salam kepada mereka di kala itu (Hosen, n.d.).
Baik Al-Qur’an maupun hadist terkadang perlu dipahami dengan mengingat kondisi saat diwahyukannya (asbabun nuzul) dan juga kondisi saat periwatannya (asbabul wurud) serta dibandingkan dengan ayat dan hadist lainnya.
Islam Hadir untuk Kemaslahatan
Suatu fatwa/hukum, termasuk fikih Islam juga tidak lahir dalam ruang kosong. Lokasi dan waktu seringkali berpengaruh terhadap hukum yang dirumuskan.
Oleh karenanya, kita tidak perlu kaget jika menemukan suatu pendapat fikih yang rasanya bertentangan dengan rasa keadilan di masa sekarang. Sangat mungkin bukan pendapat fikih tersebut yang tidak adil. Namun kitalah yang belum mampu memahami dengan baik makna di balik lahirnya pendapat tersebut.
Pada prinsipnya, semakin banyak kita membaca dan mengetahu berbagai pendapat dalam fikih, maka seharusnya kita semakin bijak dalam menghadapi perbedaan. Tugas kita adalah untuk terus belajar dan berusaha memahami aturan-aturan tersebut. Sembari mengingat bahwa seharusya hukum Islam hadir untuk kemaslahatan (Kodir, 2019).
Tidak semua muslim diberikan kesempatan dan kemampuan untuk menghafal Al-Qur’an, Hadis dan mempelajari berbagai ilmu dalam disiplin penemuan hukum Islam. Tetapi setiap muslim seyogyanya selalu mengingat bahwa Nabi Muhammad diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak dan membawa agama Islam sebagai rahmat untuk semesta alam.
Oleh karenanya menjadi muslim yang damai memang tidak harus selalu sama dengan menjadi muslim yang ahli fikih, ahli tafsir dan ahli hadits. Menjadi muslim yang damai artinya terus belajar sembari memahami bahwa menebar kemaslahatan ialah salah satu hal yang diajarkan dalam agama Islam. []