• Login
  • Register
Jumat, 31 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Bagaimana Kekerasan terhadap Perempuan Terus Dilanggengkan?

Dalam pacaran terutama, ketika laki-laki sudah mengatur bagaimana perempuan bersikap, berbusana, hingga lingkar pertemanannya, itu sudah masuk dalam kategori kekerasan

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
29/10/2021
in Publik
0
KDRT

KDRT

105
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Membangun hubungan atau relasi yang sehat, harus dimulai dengan memahami dulu karakteristik relasi yang tidak sehat dan dampak-dampaknya. Salah satu karakteristik hubungan yang tidak sehat ialah adanya kekerasan,” jelas Anindya Nastiti Restuviani dalam forum diskusi online yang membahas naiknya angka kekerasan terhadap perempuan pada masa pandemi beberapa waktu lalu.

Sayangnya, dalam banyak kasus, masih banyak kaum hawa yang tidak menyadari dirinya sebagai korban. Padahal jenis kekerasan sendiri sangat beragam, tidak hanya sebatas menyakiti secara fisik, tetapi ada juga kekerasan verbal, mental, digital, dan ekonomi.

Perlakuan negatif yang diterima pasangan malah diterima secara mentah-mentah karena salah dipersepsi sebagai tanda sayang atau sekadar bercanda. Dalam pacaran terutama, ketika laki-laki sudah mengatur bagaimana perempuan bersikap, berbusana, hingga lingkar pertemanannya, itu sudah masuk dalam kategori kekerasan.

Bahkan bila tahapnya sudah harus monitoring dan laporan tiap saat, ini menandakan bahwa relasi yang dijalin sudah tidak sehat. Walau si dia menyampaikan bahwa apa yang ia lakukan tersebut berlandaskan cinta dan kasih sayang. Sebenarnya yang terjadi adalah bentuk manipulasi pikiran terhadap korban yang menandakan bahwa ada relasi kuasa yang timpang dalam hubungan kedua individu.

Tak hanya itu, seringkali karena si laki-laki lebih unggul dalam kondisi fisik, materi, atau strata sosial, ia menempatkan dirinya sebagai ‘pemilik’ perempuan. Konsekuensinya, dalam suatu hubungan keduanya tidak berkedudukan setara sebagai subjek yang bahagia dan membahagiakan, namun sebatas pemenuhan kebutuhan semu, dan ego pribadi yang cenderung mendorong ke arah perilaku negatif.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Luka yang Tidak akan Sembuh: Beban Psikis Korban Kekerasan Seksual dalam Novel Scars and Other Beautiful Things
  • Mitra Sejajar dan Perlawanan terhadap Kekerasan Atas Nama Agama
  • Teladan Bersolidaritas dan Pesan Moral Untuk Masa Depan
  • P2GP dan Belenggu Tradisi yang Tak Berarti

Baca Juga:

Luka yang Tidak akan Sembuh: Beban Psikis Korban Kekerasan Seksual dalam Novel Scars and Other Beautiful Things

Mitra Sejajar dan Perlawanan terhadap Kekerasan Atas Nama Agama

Teladan Bersolidaritas dan Pesan Moral Untuk Masa Depan

P2GP dan Belenggu Tradisi yang Tak Berarti

Hal itu lah yang kemudian ketika sudah berlarut-larut membuat si korban terperdaya dan tak berkutik. Bahkan ketika dari pacaran berubah menjadi relasi pernikahan, konsep kepemilikan seperti barang tadi akan terus dipelihara. Sebab, dalam budaya patriarki, perempuan masih dianggap sebagai objek, barang, yang dengan seenak hati bisa diperlakukan oleh si pemilik.

Tak heran, kenapa muncul fenomena insekuritas kaum adam saat ada perempuan yang berpendidikan tinggi, menjabat posisi politik, hingga aktif dalam lingkungan sosial. Semua prestasi tadi sebenarnya dapat mengacaukan pola relasi yang ia bentuk. Makanya, paradoks-paradoks negatif sengaja diciptakan untuk menghalangi perempuan meraih mimpi-mimpinya: jangan terlalu pintar, nanti susah jodoh; jangan terlalu berprestasi, nanti suamimu minder, dan sebagainya.

Seluruh alasan tadi hanyalah kedok laki-laki untuk tetap berkuasa penuh dalam hubungan yang jalin. Sedangkan, secara ideal hubungan yang mubadalah justru melihat potensi yang dimiliki pasangan adalah berkah yang perlu dimaksimalkan untuk meraih kebaikan seluas-luasnya, bukan untuk dijadikan sumber ketakutan yang tidak berdasar.

Jika keduanya sadar tugas manusia sebagai khalifah, justru menikah, menjalin hubungan orientasinya tidak sempit untuk kesenangan pribadi, tapi justru akan berusaha menjadi pribadi dengan penuh potensi yang mampu membuat dirinya sendiri bahagia dan selanjutnya membahagiakan orang lain.

Tapi, masalahnya kultur toksik masih sangat mengakar pada budaya kita. Berdasarkan data LBH Apik Jakarta tahun 2020, kasus kekerasan selama masa pandemi bertambah hingga 3 kali lipat dan yang paling tinggi ialah kasus kekerasan di dalam rumah tangga (32%), kekerasan digital (29%), serta adanya 7 laporan kasus kekerasan dalam pacaran.

Pun ketika kasus demi kasus kekerasan terus terjadi, kebijakan yang diambil tak mengatasi akar problem: pemberlakuan jam malam, razia Satpol PP, dan sebagainya, sedangkan pengesahan RUU PKS malah tak segera dilakukan. Tak ayal, program-program tadi tak sepenuhnya efektif. Kita justru menemukan bagaimana aparat lah yang kemudian menjadi pelaku kekerasan. Kalau sudah begitu, pihak mana yang bisa diandalkan oleh korban?

Merujuk Fiona Vera Gray, sosiolog dari Durham University, untuk memutus budaya kekerasan pada perempuan, semua pihak harus melihat perempuan sebagai subjek, bukan lagi warga kelas dua. Perlakukan mereka sebagai individu yang punya otoritas penuh terhadap tubuhnya, komunikasikan dua arah, bukan melakukan tindakan paksa berdasar hawa nafsu semata.

Selama ini terlampau sering dunia hanya melihat perempuan sebagai komoditas. Cek saja dunia hiburan kita, bagaimana konten-konten kekerasan seksual terhadap perempuan terus diproduksi. Belum lagi industri pornografi yang mendulang banyak kapital dengan memposisikan perempuan hanya sebagai pemuas nafsu lelaki.

Yang miris, riset di Inggris menunjukkan bahwa konten porno mayoritas ditonton oleh laki-laki sejak ia berada pada masa remaja awal.  Kondisi tadi secara tidak langsung turut berkontribusi pada pelanggengan serta normalisasi kekerasan seksual di seluruh penjuru dunia. []

Tags: Kekerasan berbasis gender onlinekekerasan terhadap perempuanPandemi Covid-19Sahkan RUU PKS
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Konsep Ekoteologi

Konsep Ekoteologi; Upaya Pelestarian Alam

30 Maret 2023
Kasih Sayang Islam

Membangun Kasih Sayang Dalam Relasi Laki-laki dan Perempuan Ala Islam

29 Maret 2023
Ruang Anak Muda

Berikan Ruang Anak Muda Dalam Membangun Kotanya

29 Maret 2023
Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

28 Maret 2023
Tradisi di Bulan Ramadan

Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

28 Maret 2023
Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hikmah Puasa

    Hikmah Puasa dalam Psikologi dan Medis: Gagalnya Memaknai Arti Puasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Goethe Belajar Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hikmah Walimah Pernikahan Dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bulan Puasa: Menahan Nafsu Atau Justru Memicu Food Waste?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja
  • Konsep Ekoteologi; Upaya Pelestarian Alam
  • Nafkah Keluarga Bisa dari Harta Istri dan Suami
  • Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu
  • Hikmah Walimah Pernikahan Dalam Islam

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist