• Login
  • Register
Sabtu, 12 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Melihat Kembali Fenomena Perkawinan Anak hingga KDRT

KDRT juga menjadi isu interseksional dilihat dari proses dan penyebabnya serta dampak yang terjadi

Alfiatul Khairiyah Alfiatul Khairiyah
10/10/2024
in Publik, Rekomendasi
0
Fenomena Perkawinan Anak

Fenomena Perkawinan Anak

730
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id- Ketika mendengar atau membaca berita tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), amarah naik seketika sampai ke ubun-ubun, dada seakan-akan penuh dan sesak, turut sakit hati dan tidak percaya, mengapa hal ini bisa terjadi.

Saya tidak tahu perasaan pembaca bagaimana, tapi saya rasa tidak jauh berbeda atau bahkan ada yang lebih parah. Seperti ketika membaca berita KDRT yang terjadi di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep lalu dan menewaskan korban.

Kejadian ini sungguh menyakiti hati kita semua. Seorang Ibu muda berumur 27 tahun dan memiliki anak berumur 8 bulan meninggal di tangan suaminya. Berdasarkan laporan Radar Madura, korban telah melaporkan tindakan suami pada Juni lalu ke kepolisian.

Namun, kepolisian tidak segera menangani kasus tersebut. Lagi-lagi, kita masih menganggap kejahatan yang tampak di mata kita adalah kejahatan yang sebenarnya. Kejahatan psikis, ekonomi, dan seksual masih dipandang sebelah mata. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga yang kita anggap urusan dapur keluarga.

Pada waktu yang bersamaan, kita diramaikan dengan seremonial pernikahan anak yang dilakukan oleh influencer. Pernikahan mewah dan seakan-akan begitu diidam-idamkan. Dua kejadian ini sungguh bertolak belakang. Dimana, kedua hal ini memiliki kesenjangan yang sangat besar.

Baca Juga:

Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

Surat yang Kukirim pada Malam

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

Hal ini menunjukkan bagaimana pengalaman perempuan antar kelas pun juga sangat berbeda. Namun sayangnya, sensitifitas terhadap perbedaan kelas ini nyaris tidak ada.

Fenomena Perkawinan Anak

Pernikahan antara Zizan (19) dan Syifa (17) yang terjadi kemarin menimbulkan berbagai pro dan kontra. Karena berdasarkan Undang-Undang pernikahan, batas usia minimal pernikahan baik laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Jadi, pernikahan keduanya adalah pernikahan anak. Ada beberapa yang setuju karena beralasan menghindari zina dan kontra karena berpengaruh buruk terhadap perempuan.

Namun, artikel ini tidak ingin membahas bagaimana perdebatan itu berlangsung. Saya ingin melihat bagaimana pernikahan ini berlangsung dari apa yang tampak di permukaan saja. Tapi, desclaimer dulu ya, tulisan ini tidak untuk menormalisasi dan membenarkan praktik pernikahan di atas.

Saya hanya ingin membaca bagaimana kesenjangan terjadi. Pertama, dimulai dari kondisi ekonomi. Keduanya merupakan pasangan pengantin yang lahir dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Dalam hal ini, tentu kemungkinan persoalan ekonomi dalam keluarga akan minim.

Selain ekonomi, pernikahan anak akan berdampak kepada terhambatnya akses pendidikan khususnya terhadap perempuan. Kedua pasangan ini, melalui yang saya lihat, adalah dari keluarga dengan pendidikan yang baik. Ada kemungkinan keduanya dapat mengakses pendidikan meski mungkin terseok-seok karena sudah menikah.

Persoalan kesehatan reproduksi, mental, dan membangun hubungan pernikahan, keduanya adalah generasi Z yang terbuka dan memiliki akses informasi terkait kesehatan mental. Apalagi, mereka melek informasi.

Jadi, selain persoalan agama yang menjadi pembenaran ibu Syifa, kemungkinan beberapa hal ini menjadi pertimbangan. Meski tidak dibenarkan.

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Beralih pada kasus KDRT. Di tahun ini, kasus KDRT masih sering kita dengar. Mulai dari istri menyiram suami dengan air keras, suami memotong kaki istri, suami membuh istri, dan melakukan kekerasan fisik. Dalam data Simfoni 2024, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan bahwa terdapat 12.904 kasus kekerasan yang terjadi di rumah tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga bisa saja terjadi karena faktor ekonomi, budaya patriarki, perselingkuhan, kekeliruan memahami ajaran agama, kurangnya edukasi terhadap masyarakat, dan faktor keluarga. Beberapa hal ini seringkali menjadi suatu penyebab yang kompleks terhadap terjadinya KDRT. Beberapa penyebab berkelindan satu sama lain.

Budaya patriarki, pemahaman laki-laki mengenai perempuan, ekonomi, akses pendidikan, dan pemahaman yang baik mengenai pernikahan akan sulit didapat oleh seseorang ketika menikah di usia anak. Mengingat, kesempatan pendidikan yang minim, akses ekonomi terbatas, pengetahuan mengenai kesetaraan gender dalam keluarga pun masih terbatas. Terkhusus pada pendidikan reproduksi, kesehatan mental, dan dan lainnya.

Dengan kondisi demikian, peluang untuk terjadinya KDRT cukup besar. Meski dalam beberapa kasus, ekonomi dan tingkat pendidikan tidak menjadi penyebab KDRT, tetapi kedua hal ini merupakan elemen penting pernikahan.

Bagaimana Melihat Keduanya

Bagaimana melihat keduanya? Bagi saya kedua kasus ini memiliki benang merah. Glorifikasi fenomena perkawinan anak oleh influencer dengan kondisi akses ekonomi dan pendidikan yang mudah, akan tersebar ke berbagai kalangan masyarakat.

Praktik menikah usia anak yang diglorifikasi apalagi oleh influencer akan menormalisasi pernikahan di usia anak. Banyak orang akan menginternalisasi nilai-nilai pernikahan anak yang mereka lakukan. Sementara, situasi ini sekali lagi bias kelas.

Celakanya, mereka tidak memahami bagaimana pengalaman perempuan lain yang mengalami perjodohan dan pernikahan anak mengalami kesulitan akses ekonomi, pendidikan, informasi, dan kesehatan dengan baik.

Bahwa glorifikasi pernikahan di usia anak ini akan merembet kepada banyak hal terkhusus keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Saya menuliskan ini tidak bermaksud membenarkan praktik pernikahan usia anak pada keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Praktik tersebut tetaplah tidak benar. Hanya saja saya ingin melakukan perbandingan situasi yang harus dipahami oleh kelas atas.

KDRT juga menjadi isu interseksional dari proses dan penyebab serta dampak yang terjadi. Salah satunya oleh normalisasi fenomena perkawinan anak influencer. Praktik ini seperti dentuman keras yang didengar oleh banyak orang. Tentu ada yang mengamini dan ada yang tidak. Tapi, siapa yang bertanggung jawab pada orang-orang yang mengamini dan kemudian hari berpotensi mengalami kerentanan? []

Tags: Kasus KDRTKDRTkekerasan terhadap perempuankeluargaperkawinan anakpernikahan anak
Alfiatul Khairiyah

Alfiatul Khairiyah

Founder Pesantren Perempuan dan Mahasiswa Sosiologi Universitas Gadjah Mada

Terkait Posts

Perempuan dan Pembangunan

Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

12 Juli 2025
Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Negara Inklusi

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

11 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Humor Kepada Difabel

Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

10 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Negara Inklusi

    Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Peran Perempuan dan Perjuangannya dalam Film Sultan Agung

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam dan Persoalan Gender

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas
  • Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara
  • Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID