• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Belajar Menafsirkan Al Qur’an Bersama Buya Husein

Sungguh, betapapun sulitnya proses belajar menafsirkan Al Qur’an ini akan sangat mudah dan menyenangkan jika kita saling berbagi hal positif dalam bentuk energi dan sinergi

Hilyatul Auliya Hilyatul Auliya
09/02/2023
in Personal
1
Belajar Menafsirkan Al Qur'an

Belajar Menafsirkan Al Qur'an

847
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belajar menafsirkan al Qur’an tidaklah mudah. Kita memerlukan seperangkat pengetahuan keagamaan yang banyak dan kriteria yang ketat, demikian biasa kita dengar dan turut yakini.  Namun, di kelas metode tafsir yang Buya Husein Muhammad pandu menjadi sangat mudah. Kengerian dan rasa seram yang dimunculkan seperti lenyap diganti dengan semangat dan kegembiraan yang meluap.

Betapa tidak, suasana kelas sangat asik namun tetap khusyuk, gembira dengan tetap menjaga etika, terkadang lucu namun tetap hangat dan syahdu. Hasilnya materi yang mungkin seharusnya berat terasa ringan. Itulah daya pukau yang saya tangkap di kelas tafsir bersama Buya Husein Muhammad.

“Kegelapan menyebabkan kebodohan dan berkaitan dengan kedzaliman. Untuk itu harus menuju cahaya caranya dengan ilmu pengetahuan dan berkeadilan”. Inilah kutipan favorit saya yang mampu menghentak kesadaran sekaligus melecut semangat untuk belajar Tafsir bersama Buya Husein yang beliau pantik di awal kelas.

Al Qur’an dalam pengertian

Al Qur’an tidak menutup adanya penafsiran penafsiran terhadap ayat-ayat yang dikandungnya. Bahkan Al Qur’an sebagai teks suci akan selalu kontekstual (shahih likulli zaman wa makan) sehingga kebenaran yang ada di dalamnya akan mampu menjawab segala problematika umat. Hanya saja penafsiran dan pemahaman atasnya yang terkadang terbatas, karena keterbatasan pengetahuan manusia itu sendiri.

Demikian pula dalam konteks membaca ayat-ayat terkait relasi laki-laki perempuan. Orang kerap melupakan bagaimana konstruksi berpikir seseorang dalam menafsirkan ayat, senantiasa dipengaruhi oleh supr masi kebudayaan tertentu. Terutama kebudayaan yang membentuk cara pandang seseorang terhadap realitas dan teks yang ada. Termasuk membaca al-Qur’an.

Selain itu, orang juga kerap menafikan bahwa ayat al-Qur’an turun dengan menggunakan bahasa, simbol, dan kebudayaan tertentu (Arab). Tujuannya agar masyarakat tersebut memahaminya. Bukan hanya secara tekstual, namun dari substansi bunyi ayat. Termasuk cara pandang terhadap perempuan yang hanya terbatas pada ruang domestik atau dalam konteks kebudayaan Jawa kita kenal dengan konco wingking. Yakni dengan wilayah kerja dapur, sumur, dan kasur.

Baca Juga:

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Pengalaman Mengikuti Kelas Buya Husein

Padahal sejatinya, setelah beberapa kali mengikuti kelas Buya Husein, dengan jelas beliau memaparkan bahwa perempuan juga manusia, sebagaimana laki-laki. Di mana perempuan juga berhak atas ruang publik. Banyak kewajiban yang terbebankan kepada laki-laki dan perempuan itu, tersebutkan dalam al-Qur’an secara setara dan seimbang. Antara lain al-Quran mewajibkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menggali ilmu pengetahuan dalam menjalani kehidupan. Dengan kewajiban yang sama, bukankah berarti keduanya setara?

Belajar Tafsir al-Qur’an bersama Buya mengajak dan memandu bahwa perempuan memang menerima tuntutan untuk hidup layaknya manusia yang belajar dan bekerja. Bukan merasa pada posisi manusia ke-2. Itu artinya perempuan sama dengan laki-laki. Bukankah Allah menyuruh manusia sebagai salah satu makhluk ciptaannya berbuat amar ma’ruf nahi munkar?.

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]: 104).

Prinsip-prinsip dalam Al Qur’an

Prinsip-prinsip kemanusiaan universal itu antara lain terwujud dalam upaya-upaya penegakan keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kebebasan dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain. Siapa pun dia ini semua berlaku secara universal. Semua orang di mana pun di muka bumi, kapan pun dengan latar belakang apa pun, mencita-citakan hal-hal tersebut. Pernyataan mengenai prinsip-prinsip ini dapat kita jumpai dalam banyak ayat  al Qur’an.

Semua proses menuju cahaya bersumber dari al Qur’an sebagai wahyu Allah yang turun kepada Nabi Muhammad Saw untuk manusia. Di mana ia turun di komunitas/peradaban yang tidak mungkin pada komunitas yang tidak dapat dipahaminya. Al Qur’an bukan turun di ruang hampa karena  kitab suci Islam ini merupakan respon atas kebudayaan yang ada. Sehingga penafsiran terhadapnya pun sangat beragam dan melahirkan keputusan yang tidak seragam. Begitu juga pemaknaan terhadap hadis. Di mana hadis sebagai penafsir al-Qu’an, juga merupakan segala yang bersandar kepada Nabi Muhammad saw memiliki tafsiran yang berbeda-beda.

Al Qur’an dan al Hadis sebagai sentra utama dalam beragama Islam begitu memberikan ruang terhadap pemaknaan. Maka akan sangat terasa perbedaan tafsirnya jika menggunakan perspektif yang berbeda. Perpektif ini sebagai paradigma pemberi makna akan “tanda” yang ada dalam al Qur’an. Akankah tersingkap kemudian melahirkan makna kemanusaian ataukah tersingkap dangan wajah yang garang?

Prinsip Kemanusiaan dalam Al Qur’an

Eksistensi al-Qur’an melingkupi risalah ketuhanan (ikmal ar-Risalah al-illahiyah), abadi (abadiyyah), universal (alamiyyah), kompherensif (syumuliyah), dan utuh /tidak saling bertentangan (‘adam al ta’arudh). Fungsi al-Qur’an sebagi petunjuk dan pelajaran bagi umat manusia (hidayah li an-nas) dan visinya terdiri dari kerahmatan semesta (rahmatan li’ alamin) dan budi pekerti luhur (al Akhlaq al karimah). Sebagai konsekuensi logis dari keesaan Tuhan dan diberikannya manusia ruang untuk kebebasan dengan perangkat akal. Harapannya memiliki kemampuan untuk menggali wahyu Allah tersebut, sehingga sangat nampak bawa al Qur’an mengandung prinsip kemanusiaan seperti tersebut.

Selain itu, ayat al Qur’an juga dapat kita kategorisasi menjadi ayat yang bersifat universal dan partikular. Universal ditujukan kepada manusia, kepada segala tempat dan waktu, dan berisi prinsip-prinsip kehidupan. Kemudian berlaku tetap (tidak berubah), tidak bisa kita batalkan, muhkamat/Qath’iyat, mendasari segala kebijaksanaan dan aturan, yang terkumpul dalam ayat-ayat makiyyah.

Sedangkan yang partikural merupakan ayat saat merespon problem sosial dengan peristiwa dan kasus yang berbeda. Lalu kita maknai berbeda-beda (interpretable), kontekstual dengan kandungan atau pemaknaannya dapat berubah dari waktu ke waktu. Dari tempat ke tempat lain disebut ayat mutasyabihat/dhanniyyat, umumnya dalam ayat-ayat madaniyah.

Sekali lagi perlu kita ingat bahwa al Qur’an turun pada masa jahiliyyah. Di mana chauvinism meraja, ucapan kasar di mana-mana, dan dendam kesumat antar manusia menjadi biasa. Sehingga pada masa itu perempuan kita anggap manusia yang belum selesai, sehingga perlakuannya pun sangat tidak manusiawi. Perempuan menjadi objek seks dan kemarahan. Makanya al Qur’an turun, kemudian ayat-ayatnya menjadi landasan untuk membuat konstitusi yang berprinsip Hak Asasi Manusia.

Al Qur’an untuk Kemanusiaan dan Keadilan

Al Qur’an diturunkan secara bertahap, berangsur dan tidak sekaligus, berjalan sesuai dengan perkembangan social (evolutif), merepon isu dan menawarkan solusi (dialogis-negosiatif), memudahkan (tidak menyulitkan), melakukan perubahan (transformative), dan melakukan pemihakan kepada yang tertindas-teraniya (advokatif). Hal ini dapat kita maknai sebagai strategi dan policy Allah sehingga menjadi Mantiqatul iltiqo’– mantiqatul jisr, ruang pertemuan/kompromi/negosiasi-ruang penyebrangan menuju cita-cita universal.

Kehadiran Nabi Muhammad saw dengan akhlak mulia dan terlibat dalam setiap persoalan umat sehingga memperjelas makna al Qur’an di zamannya. Sebagai pengikutnya tentu kita memiliki pandangan terhadap sang manusia suci dan sang pemberi pelekat keisitimewaan padanya dengan konsep dan fungsinya; kepercayaan pada bentuk metafisis dan eksatologis (‘aqidah/al iman bi al ghaibiyyat), dan redaksi berbentuk berbeda (khabar).

Tuhan dan Nabi sebagai penyampai berita (mukhbir), hubungan manusia dengan Tuhan secara personal (ibadah), bentuk kreasi Tuhan dan atau nabi (ibtikari/kreativistas), tetap Tuhan dan nabi sebagai creator, pencipta (mubtakir), hubungan antar manusia (mu’ammalat). bentuk: kritik (naqdi), Tuhan dan Nabi sebagai kritikus (naqid); dialektis.

Metode Memahami Pesan Al Qur’an

Melihat hubungan antar manusia ini pendekatan dalam bermuammalat adalah dengan tidak mendzalimi (‘adam adh-dhulm), tidak merugikan / menyakiti (‘adam adh-dharar), tidak manipulative/menipu/memanipulasi (‘adam al-gharar), non-diskriminatif (‘adam al-ihtiqar), tidak spekulasi naïf (‘adam al-ihtiqar), saling menerima (‘an tardhi), musyawarah dan kesepakatan (asy-syura wa at-ittifaq), dan kepentingan umum/kebaikan umum (maslahat ‘ammmah).

Maka untuk mengungkap maksud dalam al Qur’an memiliki metode, memahami terhadap teks-teks (ayat-ayat) al Qur’an dengan memahami bahasa (nafs al khitab), memahami situasi/kondisi orang yang menyampaikan dan penerima (mukhatib-mukhatab), memahami latar belakang ayat (asbab an nuzul), memahami tradisi, dan system social, ekonomi, politik dan budaya (al-umur al-kharijiyyah), dan memahami rasionalitas teks (‘illat al hukm).

Masih panjang perjalanan untuk terus belajar untuk menggali firman Tuhan yang dieksternalisasikan untuk umat manusia dalam bentuk al Qur’an. Bagaimanapun tekad akan kemanusiaan dan keadilan menjadi pegangan untuk menafsirkannya. Sungguh, betapapun sulitnya proses belajar menafsirkan al Qur’an ini akan sangat mudah dan menyenangkan jika kita saling berbagi hal positif dalam bentuk energi dan sinergi. Tentunya kita belajar tafsir al Qur’an bersama Buya Husein sebagai salah satu Ulama yang memiliki kapasitas keilmuan, otoritas di masyarakat dan solidaritas terhadap kemanusian menuju peradaban yang berkeadilan. []

Tags: al-quranDKUPKH Husein Muhammadtafsirulama perempuan
Hilyatul Auliya

Hilyatul Auliya

Hilyatul Auliya Dosen, ibun dari 3 putri, penikmat teh tubruk dan kopi 🤠

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version