Al-Fatihah berarti pembuka. Ia menjadi nama surat pertama dalam Mushaf al-Qur’an, sekalipuan bukan yang pertama turun, sebagai pengantar bagi surat-surat lain dalam al-Qur’an. Ia juga merupakan surat yang paling banyak dibaca umat Islam. Jika kita asumsikan hanya 5% dari jumlah total 270 orang Islam Indonesia yang shalat lima waktu, surat ini dibaca sebanyak 229 juta kali dalam sehari. Belum lagi, jika ditambahi kebiasaan tahlil orang-orang NU di Indonesia yang jumlahnya hampir 100 juta, dimana surat al-Fatihah selalu menjadi sisipan bacaan di setiap penggalan tawassul dan doa. Banyak juga orang-orang Islam Indonesia yang mengawali pertemuan formal mereka dengan bacaan surat al-Fatihah.
Di samping kita perlu belajar tentang kandungan surat al-Fatihah, kita juga mungkin perlu belajar fakta lain. Jarang kita disadari, tetapi sangat terang benderang. Yaitu fakta perbedaan-perbedaan di kalangan ulama. Tentang hal-hal terkait surat al-Fatihah. Kita bisa belajar tentang berbaagai perbedaan di kalangan ulama, yang berimbas juga ke orang-orang awam. Jika kita biasa mengenali perbedaan sejak awal, memahaminya sebagai fakta-fakta yang tidak bisa terhindar, kita bisa menerima dan mengelolanya secara baik-baik, tanpa destruksi, caci maki, apalagi konflik dan permusuhan.
Misalnya apakah apakah kalimat Bismillaahir-rahmaanir-rahiim menjadi bagian awal dari surat ini atau tidak? Jika bukan, bolehkah seseorang membacanya sebelum membaca surat al-Fatihah? Jika ya bagian dari surat, apakah perlu dibaca nyaring pada shalat-shalat malam, sebagaimana ayat-ayat al-Fatihah yang lain?
Apakah surat al-Fatihah bisa diganti ayat lain dalam shalat, terutama bagi yang tidak mampu? Jika ya, berapa ayat atau berapa panjang? Apakah dalam shalat jama’ah, para makmum juga wajib membaca surat ini, atau cukup mendengar dan mengikuti bacaan imam saja?
Apakah surat ini diturunkan di Mekkah, atau Madinah, atau turun dua kali di Mekkah dan Madinah? Apakah ta’awwudz (bacaan: a’uudzu billahi mina sy-syaithaani r-rajiim) perlu dibaca setiap membaca surat al-Fatihah ini, atau cukup sekali di awal bacaan saja, ketika kita membacanya berulang-ulang?
Tafsir al-Jaami’ li Ahkaam al-Qur’aan karya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthuby (w. 671 H/1273 M) adalah di antara yang paling lengkap membicarakan perbedaan-perbedaan ulama dalam Surat al-Fatihah ini. Tafsir-tafsir lain, biasanya, merujuk pada kitab 20 jilid ini. Kitab ini biasa dipanggil sebagai Tafsir al-Qurthubi. Merujuk pada nama penulisnya, Imam al-Qurthubi, seorang ulama asketik, yang luas pengetahuannya dalam berbagai bidang, terutama fiqh, tafsir, dan hadits.
Imam al-Qurthubi hidup dan berkarya dalam keluasaan peradaban Islam di Spanyol, tepatnya di Kota Cordova (al-Qurthubah) pada masa Dinasti Mohad (al-Muwahhidun) yang pertama kali didirikan seorang ulama besar Mazhab Maliki, bernama Muhammad bin Tumart (w. 524 H/1130 M). Seorang ulama yang sangat mencintai semua disiplin ilmu pengetahuan. Philip K. Hitti dan banyak sarjana Barat mengakui kebesaran peradaban Cordova di tangan Islam. Suatu masa dimana negara-negara Eropa justru sedang dipenuhi kebodohan dan keterbelakangan. Dalam nuansa kebesaran peradaban dan keluasan ilmu pengetahuan masa Dinasti Mohad ini, Tafsir al-Qurthubi ditulis.
Bagi yang ingin mendalami berbagai perbedaan ulama dalam memaknai al-Qur’an, terutama ayat-ayat hukum, bisa merujuk pada Tafsir al-Qurtubi ini. Untuk surat al-Fatihah saja dibahas dalam 4 bab. Setiap bab terdiri dari lebih dari 20 persoalan. Di sini akan diringkas sebagian kecil saja, sisanya lebih baik merujuk ke Kitab tersebut langsung. Sebagian kecil itu dibahas dalam beberapa poin berikut ini:
Pertama, ulama berbeda pendapat: bolehkah memandang suatu surat dari al-Qur’an, seperti al-Fatihah misalnya, lebih baik dari yang surat-surat yang lain, atau suatu ayat, ayat kursi misalnya, lebih utama dari ayat-ayat yang lain. Banyak ulama mengatakan boleh. Beberapa ulama, di antaranya malah Abu al-Hasan al-Asy’ari, pendiri Mazhab Asy’ariyah, tidak setuju dengan mufaadhalah ini, atau keyakinan bahwa suatu surat atau suatu ayat lebih utama dari surat atau ayat yang lain. Karena semua surat dan semua ayat al-Qur’an adalah baik dan sama-sama utama.
Kedua, yang disepakati ulama mengenai nama surat ini hanya al-Fatihah, yang lain seperti nama Umm al-Kitab atau Umm al-Qur’an, diperselisihkan dengan berbagai argumentasi dan pertimbangan.
Ketiga, status Bismilah sebagai bagian dari surat al-Fatihah diperselisihkan ulama, al-Qur’thubi sendiri memilih pandangan Imam Malik (w. 179 H/795 M) bahwa ia bukan bagian dari al-Fatihah, sehingga tidak perlu dibaca saat shalat. Tetapi Imam Syafi’i (w. 204 H/820 M), murid kesayangan Imam Malik, memandang Bismilah sebagai bagian dari Surat al-Fatihah. Semua pandangan dijelaskan dengan panjang lebar, berikut dalil hadits dan argumentasi masing-masing. Tanpa menghina atau mencaci, sekalipun akhirnya al-Qurthubi sendiri memilih pandangan Imam Malik.
Keempat, status al-Fatihah sebagai bagian dari rukun yang wajib dibaca saat shalat juga diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, tetapi jika ditinggalkan dengan sengaja, lalu menggantinya dengan ayat-ayat lain, shalatnya sah. Ini pandangan Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M), Imam ats-Tsawri (w. 161 H/777 M), dan Imam al-Auza’i (w. 157 H/774 M). Ada yang mengatakan wajib di satu rakaat saja dari shalat, tidak wajib di semua rakaat shalat. Ini pandangan Imam al-Hasan al-Bashri (w. 110 H/728 M) dan Imam al-Mughirah al-Makhzumi. Ada yang bilang wajib dibaca di semua rakaat bagi yang menjadi imam shalat atau shalat sendirian, tetapi tidak wajib bagi yang menjadi makmum shalat yang ikut seorang imam. Ini pandangan Imam Malik. Tetapi juga ada pandangan Imam Syafi’i dan muridnya Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M) pendiri Mazhab Hanbali, yang menyatakan bahwa surat al-Fatihah ini wajib dibaca di setiap rakaat, oleh imam maupun makmum dalam shalat. Pandangan terakhir ini yang menjadi pandangan umum mayoritas umat Islam Indonesia.
Kita Tafsir al-Qurthubi ini kitab otoritatif tentang bagaimana fakta-fakta perbedaan telah terjadi di kalangan ulama-ulama awal Islam, bahkan para Sahabat Nabi Saw. Sehingga usaha menafikan perbedaan-perbedaan ini adalah sia-sia. Apalagi jika dibarengi dengan perbuatan nista, mencaci, menghina, mengajak permusuhan dan pertumpahan darah. Justru malah buruk dan tidak direstui Islam itu sendiri.
Islam adalah agama salaam, yang berarti damai, sejahtera, sehat, tentram, dan bersahabat. Tentu saja kita berhak memilih dan membela pandangan yang dipilih, tetapi harus tetap dengan kesantunan dan penghormatan kepada mereka yang berbeda. Demikianlah adab dari perbedaan yang diajarkan para ulama, sejak kita memulai surat pertama dalam al-Qur’an, yaitu al-Fatihah. Kita bisa belajar banyak hal dari al-Fatihah. Diantaranya adalah mengenali dan menghormati perbedaan.
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian semua, dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbeda-beda bangsa, dan bermacam-maca suku, agar kalian bisa saling mengenal satu sama lain. Di sisi Allah Swt, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa (banyak berbuat kebaikan). Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Memahami”. (QS. Al-Hujurat, 49: 13)
Semoga kita terus menjadi orang mulia di sisi Allah Swt dengan terus bertakwa, beriman, dan berbuat kebaikan untuk semua manusia dan seluruh alam. Amin. Wallahu a’lam .